MATARAM-Pembangunan berbagai infrastruktur di kawasan Lingkar Selatan Kota Mataram, terutama permukiman baru seolah tak terbendung. Kondisi ini mengancam keberadaan sawah sebagai penghasil tanaman pangan. Bahkan, lahan produktif kelas satu di kawasan tersebut diperkirakan akan habis dalam beberapa tahun ke depan.
Kondisi ini mendapat perhatian serius dari World Wildlife Fund (WWF) Indonesia wilayah NTB. Pasalnya, kawasan Lingkar Selatan Kota Mataram merupakan salah satu daerah resapan air dan menjadi kawasan hijau yang juga berfungsi sebagai paru-paru kota. ’’Kalau alih fungsi lahan di kawasan selatan ini tidak dikendalikan, ya pasti akan habis,’’ kata Koordinator WWF Indonesia wilayah NTB M Ridha Hakim, Minggu (21/4).
Menurutnya, sah-sah saja Pemkot Mataram memberikan izin pembangunan permukiman baru. Namun harus tetap mengacu pada Perda RTRW yang sudah disahkan. Wali Kota Mataram juga harus berani mempertahankan sebagian lahan produktif agar ibu kota provinsi ini tetap memiliki sawah produktif meskipun luasnya relatif terbatas.
Kota Mataram juga harus punya ciri meskipun sudah berkembang dari sisi ekonomi dan pertumbuhan penduduk. Salah satu ciri itu adalah masih memiliki lahan produktif dan ruang terbuka hijau. ’’Jadi tidak semua lahan harus dihabiskan untuk infrastruktur. Wali Kota harus berani untuk membuat kebijakan dalam rangka mempertahankan lahan produktif,’’ tegasnya.
Sementara itu, Kabag Humas Pemkot Mataram Cukup Wibowo menjelaskan, alih fungsi lahan tidak bisa dihindari, seiring berkembangnya ekonomi dan jumlah penduduk yang terus bertambah setiap tahun. Perkembangan itu tentu harus diikuti dengan peningkatan berbagai infrastruktur dengan memanfaatkan lahan produktif.
Meski demikian, Pemkot Mataram tetap berkomitmen untuk mempertahankan ruang terbuka hijau sebagai daerah resapan air. Salah satu buktinya, kawasan hutan kota di Jalan Udayana, dan ruang terbuka hijau di kawasan Abian Tubuh, Cakranegara.
Upaya intervensi terhadap alih fungsi lahan, khususnya untuk pembangunan pemukiman baru juga tetap dilakukan. Hal ini dilakukan melalui intervensi perizinan bagi para pengembang. Namun bukan berarti mempersulit para pengembang untuk menyediakan perumahan bagi masyarakat yang membutuhkan. ’’Lahan yang dijadikan permukiman itu juga bukan milik pemerintah. Jadi pemerintah hanya bisa intervensi dari sisi perizinan. Apalagi, lahan itu dijual oleh pemiliknya untuk memenuhi kebutuhan akan pendidikan anak-anaknya dan kebutuhan hidup lainnya,’’ tegas Cukup Wibowo. (cr-wal)
Kondisi ini mendapat perhatian serius dari World Wildlife Fund (WWF) Indonesia wilayah NTB. Pasalnya, kawasan Lingkar Selatan Kota Mataram merupakan salah satu daerah resapan air dan menjadi kawasan hijau yang juga berfungsi sebagai paru-paru kota. ’’Kalau alih fungsi lahan di kawasan selatan ini tidak dikendalikan, ya pasti akan habis,’’ kata Koordinator WWF Indonesia wilayah NTB M Ridha Hakim, Minggu (21/4).
Menurutnya, sah-sah saja Pemkot Mataram memberikan izin pembangunan permukiman baru. Namun harus tetap mengacu pada Perda RTRW yang sudah disahkan. Wali Kota Mataram juga harus berani mempertahankan sebagian lahan produktif agar ibu kota provinsi ini tetap memiliki sawah produktif meskipun luasnya relatif terbatas.
Kota Mataram juga harus punya ciri meskipun sudah berkembang dari sisi ekonomi dan pertumbuhan penduduk. Salah satu ciri itu adalah masih memiliki lahan produktif dan ruang terbuka hijau. ’’Jadi tidak semua lahan harus dihabiskan untuk infrastruktur. Wali Kota harus berani untuk membuat kebijakan dalam rangka mempertahankan lahan produktif,’’ tegasnya.
Sementara itu, Kabag Humas Pemkot Mataram Cukup Wibowo menjelaskan, alih fungsi lahan tidak bisa dihindari, seiring berkembangnya ekonomi dan jumlah penduduk yang terus bertambah setiap tahun. Perkembangan itu tentu harus diikuti dengan peningkatan berbagai infrastruktur dengan memanfaatkan lahan produktif.
Meski demikian, Pemkot Mataram tetap berkomitmen untuk mempertahankan ruang terbuka hijau sebagai daerah resapan air. Salah satu buktinya, kawasan hutan kota di Jalan Udayana, dan ruang terbuka hijau di kawasan Abian Tubuh, Cakranegara.
Upaya intervensi terhadap alih fungsi lahan, khususnya untuk pembangunan pemukiman baru juga tetap dilakukan. Hal ini dilakukan melalui intervensi perizinan bagi para pengembang. Namun bukan berarti mempersulit para pengembang untuk menyediakan perumahan bagi masyarakat yang membutuhkan. ’’Lahan yang dijadikan permukiman itu juga bukan milik pemerintah. Jadi pemerintah hanya bisa intervensi dari sisi perizinan. Apalagi, lahan itu dijual oleh pemiliknya untuk memenuhi kebutuhan akan pendidikan anak-anaknya dan kebutuhan hidup lainnya,’’ tegas Cukup Wibowo. (cr-wal)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Hiu Tutul Terdampar di Pakisjaya
Redaktur : Tim Redaksi