JAKARTA - Kalangan praktisi kesehatan menyorot dunia obat yang dijalankan pemerintah. Sorotan tertuju pada keterjangkauan masyarakat membeli obat. Ketersediaan obat generik sebagai obat publik dengan harga terjangkau masih sekitar 34 persen dari total kebutuhan masyarakat. Selain itu tingginya margin harga jual obat generik dengan non generik, membuat kualitas obat generik diragukan.
Ketua Lembaga Kajian Pembangunan dan Kesehatan (LKPK) Amir Hamzah Pane di Jakarta menjelaskan konsumen obat tahun ini masih cukup tinggi. Diantaranya adalah 76,4 juta penduduk miskin dan tidak mampu. Sayangnya, anggaran pembiayaan kesehatan yang mencapai Rp 6,3 triliun menurunya masih belum menyentuh pengadaan obat untuk masyarakat.
Pane menuturkan, anggaran pemerintah yang besar masih fokus untuk pengadaan alat-alat kesehatan, pembangunan rumah sakti, serta pembangunan puskesmas. Terkait dengan masyarakat yang masuk dalam kelompok jampersal (jaminan persalinan) dan jamkesmas (jaminan kesehatan masyarakat), Pane mengatakan subsidi obat masih sekitar 40 persen dari yang dibutuhkan. "Akhirnya masyarakat tetap menanggung biaya out of pocket (membeli dengan kantong sendiri, Red) untuk obat," tuturnya.
Di lingkungan masyarakat sendiri, pemerintah melalui obat generik sudah memberikan pilihan obat yang terjangkau. Namun dalam kasus obat generik ini, Pane masih meragukan kualitasnya.
Diantara yang membuatnya ragu terhadap kualitas obat generik adalah perbedaan harga jual yang mencolok dengan obat-obat umum yang di jual di pasaran."Kita memang belum melakukan riset mendalam. Tapi perbedaan yang mencolok ini bisa mempengaruhi proses produksinya," timpal Pane.
Pane menuturkan, masyarakat miskin dan kurang sampai saat ini masih belum total menggunakan obat generik. Ini artinya, pemerintah perlu membantu sosialisasi penggunaan obat generik oleh masyarakat. Sehingga, beban masyarakat miskin untuk menutup anggaran obat dengan uangnya sendiri bisa ditekan.
Selain urusan kualitas meragukan dan daya serap obat generik yang dinilai masih kurang, Pane menyebutkan persoalan obat untuk masyarakat miskin berikutnya adalah ketersediaan. Dari kajiannya, secara keseluruhan ketersediaan obat publik yang yang harganya murah masih sekitar 34 persen dari total kebutuhan di masyarakat. Dia khawatir prosentase obat untuk masyarakat miskin yang masih rendah itu memicu keterlangkaan obat dengan harga terjangkau.
Dia mengatakan, meskipun pemerintah akhirnya gencar melakukan kampanya obat murah tetapi ketersediannya terbatas, sama dengan bohong. Ujung-ujungnya, masyarakat miskin terpaksa membeli obat non generik yang ada di pasaran meskipun harganya tinggi. Pane juga mengatakan, obat terjangkau untuk masyarakat kategorinya cuma itu-itu saja. "Kalau tidak paracetamol ya amoxilin," katanya. (wan)
BACA ARTIKEL LAINNYA... ANRI Dianggap tak Bisa Simpan Dokumen Negara
Redaktur : Tim Redaksi