Langkah Warga Meninggalkan Merkuri Diapresiasi

Rabu, 04 Oktober 2017 – 23:17 WIB
Ilustrasi pertambangan. Foto: Jawa Pos.Com/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Perubahan pola perilaku masyarakat penambang emas di Kabupaten Poboya, Palu, Sulawesi Tengah, diapresiasi karena tidak lagi menggunakan merkuri. Dosen Agroteknologi Universitas Tadulako Isrun Muh Nur mengatakan, jika warga tidak menggunakan merkuri di area penambangan emas kondisi lingkungan pasti membaik.

“Jadi kalau tidak ada lagi penggunaan merkuri, maka akan signifikan penurunan pencemarannya. Jadi penghentian pemakaian merkuri ini dampaknya besar sekali,” terang Isrun, Selasa (3/10).

BACA JUGA: 12 Ribu Kemasan Kosmetik Mengandung Merkuri

Ketika melakukan penelitian bersama universitas asal Jepang selama dua tahun hingga 2013, Isrun mengamati mayoritas penambang tradisional di Toboya punya kebiasaan menggunakan bahan merkuri. Hasil penelitiannya yang menggunakan empat media yakni tanah, tanaman, air dan udara, diketahui pencemaran limbah kerap terjadi lewat sekitar belasan ribu mesin tromol atau gelundung, yang setiap digunakan masing-masing memakai hingga 150 mililiter bahan merkuri.

Sedangkan area yang telah tercemar butuh proses yang tidak dapat diprediksi. Namun, Isrun berujar, bukan tidak mungkin keadaannya dapat terus menurun di masa-masa selanjutnya. Bahan merkuri dapat menguap dalam temperatur panas. Kondisi lingkungan, dengan demikian bisa kembali baik.

BACA JUGA: Menteri LHK: Perlu Terobosan Untuk Mengintegrasikan Konsep Kewarganegaraan dan Kewirausahaan

Akademisi Universitas Tadolako Sandy Purnawan yang pernah meneliti konsentrasi merkuri dalam sedimen di sekitar muara Sungai Poboya 2012 menilai pola perilaku masyarakat penambang positif.

Menurut dia, perubahan perilaku akan semakin memberi dampak positif bagi lingkungan di Poboya. Sandy bersama dua rekannya yang melakukan penelitian berjudul ‘Distribusi Logam Merkuri Pada Sedimen Laut Di Sekitar Muara Sungai Poboya’ itu menceritakan, temuannya menunjukkan konsentrasi merkuri dalam sedimen di sekitar muara Sungai Poboya berkisar antara 0,0103 mg/kg – 0,185 mg/kg.

BACA JUGA: Aher Sampaikan Program Unggulan Jawa Barat

Nilai yang masih berada di bawah ambang batas yang diizinkan ini, terjadi di tengah kondisi maraknya penggunaan merkuri di kawasan tambang emas Poboya saat itu. Selain itu, Sandy dan teman-temannya kala itu juga mendapati akumulasi logam Hg dalam sedimen di sekitar muara Sungai Poboya juga tak mengalami penambahan yang signifikan dengan bertambahnya waktu. Dia meyakini, dengan langkah warga meninggalkan penggunaan merkuri, kondisi lingkungan akan makin baik.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengaku tengah menyiapkan proyek percontohan bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk mengganti penggunaan merkuri dengan sianida. Salah satu lokasi percontohannya adalah di Poboya.

“Kini merkuri sudah ditinggalkan warga,” kata Kepala Subdirektorat Penerapan Konvensi Bahan Berbahaya Beracun KLHK Purwasto Saroprayogi, pada kesempatan berbeda.

Adzis mengatakan, perubahan ini terjadi berkat sosialisasi panjang dan terus-menerus yang dilakukan sejak tahun tahun 2016 lalu oleh berbagai pihak di antaranya Pemda, Polri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan lainnya. Dia meyakini pencemaran tak lagi terjadi.(boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Risma: Lingkungan Surabaya Membaik, Perekonomian Warga Naik


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler