jpnn.com - PASURUAN - Ketua DPD RI LaNyalla Mahmud Mattalitti mengutip pernyataan Kiai Haji As’ad Syamsul Arifin -tokoh yang berperan penting dalam lahirnya Nahdlatul Ulama, yang menyebut umat Islam wajib membela Pancasila.
"Seandainya Pancasila dirusak, maka NU harus bertanggung jawab. Umat Islam wajib membela Pancasila. Karena itu konsensus para ulama," tutur LaNyalla saat menghadiri Haul ke-8 KH Abu Bakar Cholil, di Ponpes Metal Muslim Alhidayah, Pasuruan, Jawa Timur, Senin (2/1).
BACA JUGA: LaNyalla: Indonesia Butuh SDM Unggul Berideologi Pancasila
LaNyalla menjelaskan hal tersebut sangat wajar mengingat sangat banyak pendiri bangsa yang berlatar belakang ulama.
"Mereka bukan orang sembarangan. Jiwa dan pikiran luhur merekalah yang mengantarkan bangsa ini memilih sistem demokrasi Pancasila dan sistem ekonomi Pancasila," kata pria kelahiran Jakarta, 10 Mei 1959 itu.
BACA JUGA: Meski Terbaring di RSPAD, Try Sutrisno Masih Berikan Amanah buat LaNyalla
LaNyalla prihatin lantaran saat ini Pancasila cenderung sudah ditinggalkan, Indonesia terjebak dalam demokrasi liberal dengan sistem ekonomi pasar yang kapitalistik.
"Oleh karena itu, saya menawarkan road map untuk mengembalikan kedaulatan dan kesejahteraan rakyat. Kembali ke Pancasila, kembalikan Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli, untuk kemudian disempurnakan kelemahannya dengan cara yang benar, melalui teknik adendum. Bukan diubah total menjadi konstitusi baru," ujar LaNyalla.
BACA JUGA: Jayapura Diguncang Gempa M 5,5, Warga Panik Tak Berani Masuk Rumah
Dia menjelaskan demokrasi Pancasila adalah sistem politik yang paling cocok bagi Indonesia. Demokrasi Pancasila merupakan sistem syuro, dengan lembaga tertinggi negara sebagai perwakilan dan penjelmaan seluruh rakyat.
"Begitu pula dengan sistem ekonomi Pancasila, yang pada hakikatnya adalah negara harus berkuasa penuh atas bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya," katanya.
"Ekonomi Indonesia dijalankan dengan tiga pilar utama. Koperasi atau usaha rakyat. Lalu perusahaan negara. Kemudian swasta, baik swasta nasional maupun asing. Posisi pembagiannya tegas, antara wilayah public goods, yang mutlak harus dikuasai negara, dan wilayah commercial goods untuk swasta, serta irisan di antara keduanya yang menggabungkan kerja bersama. Sehingga terjadi proses usaha bersama," imbuh LaNyalla.
Menurutnya, konsepsi ini sama dan sebangun dengan konsepsi Islam dalam memandang sumber daya alam.
"Dalam Islam, komoditas kepemilikan publik atau public goods ini dikategorikan dalam tiga sektor strategis, yaitu air, ladang atau hutan, dan api atau energi. Ketiganya harus dikuasai negara," tutur LaNyalla.
"Dalam hadis riwayat Ahmad, diharamkan harganya. Artinya tidak boleh dikomersialkan menjadi commercial goods. Umat Islam itu sama-sama membutuhkan berserikat atas tiga hal, yaitu air, ladang, dan api dan atas ketiganya diharamkan harganya."
LaNyalla mengatakan, sudah seharusnya umat Islam yang memiliki andil besar dalam lahirnya negara ini kritis melihat dan mengamati arah perjalanan bangsa.
"Itulah mengapa saya menawarkan gagasan untuk mengingat dan membaca kembali pikiran para pendiri bangsa. Harus kembali kepada Pancasila. Agar tidak menjadi bangsa yang durhaka kepada para pendiri bangsa, agar tidak menjadi bangsa yang tercerabut dari akar bangsa dan tidak menjadi bangsa yang kehilangan jati diri dan karakter," ujar alumnus Universitas Brawijaya Malang itu.
LaNyalla berharap bangsa ini tidak mengulangi praktik penyimpangan yang terjadi pada Orde Lama dan Orde Baru.
"Sudah seharusnya Indonesia kembali berdaulat, berdikari, dan mandiri. Negara yang menjadi harapan hidup penduduk bumi. Karena Indonesia sangat mungkin untuk menjadi lumbung pangan dunia, sekaligus penghasil oksigen dunia," katanya.
Pengasuh Ponpes Metal Muslim Al Hidayah Kiai Haji Nur Kholis Al Maulani memuji kepedulian LaNyalla terhadap pesantren.
"Saya kagum dengan Pak LaNyalla karena selalu dekat dengan pesantren. Pak LaNyalla selalu peduli dengan pesantren. Terima kasih Pak LaNyalla atas perhatiannya. Doakan kami bisa terus membangun pesantren," tuturnya. (*/jpnn)
Redaktur & Reporter : Mufthia Ridwan