Lapindo Anggap Pemerintah Kurang Tanggap

Mengaku Telah Keluarkan Uang Rp 7,95 T

Senin, 28 Mei 2012 – 05:35 WIB

PELIKNYA penyelesaian kasus lumpur, PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) menyebut adanya motif politis. Lebih mengherankan, PT MLJ malah membandingkan kasus semburan lumpur panas itu dengan kecelakaan Sukhoi Superjet 100 di Gunung Salak, Bogor, belum lama ini.
 
"Coba kalau itu yang mengalami kecelakaan adalah maskapai penerbangan milik Bakrie, tentu akan lain ceritanya," kata Komisaris Utama PT MLJ Gesang Budiarso. Dengan nada menyindir, Gesang mengatakan, jika yang mengalami kecelakaan adalah maskapai milik Bakrie, bisa-bisa tim SAR yang dikerahkan untuk bergelantungan melakukan evakuasi adalah karyawan Bakrie. 
 
"Kenapa pemerintah langsung tanggap (melakukan evakuasi korban Sukhoi, Red). Membiayai SAR untuk evakuasi dan sebagainya," ucapnya. Gesang mempertanyakan, mengapa pemerintah tidak membuat perpres yang mengharuskan Sukhoi harus membiayai semuanya.
 
Apa maksud Gesang? Dia minta dimaklumi bila sekarang pihaknya sulit membayar ganti rugi. "Per 1 Februari 2012 kami sudah mengeluarkan uang Rp 7,95 triliun," ucapnya. Semuanya, kata dia, dipakai untuk biaya penanggulangan lumpur Lapindo.
 
Gesang juga mempermasalahkan sulitnya mendapatkan kredit. "Kami sudah mengajukan kredit. Tapi, sejumlah otoritas menolak," terang dia.
 
Menurut Gesang, penolakan dari Bank Jatim tersebut sangat disesalkan. "Harusnya yang pertama dilihat itu adalah kemampuan kami membayar. Buktinya, ketika mendapat kredit dari BRI sebesar Rp 1,2 triliun, kami sanggup bayar dalam setahun. Padahal, tenornya dua tahun," ucapnya.
 
Di bagian lain, anggota Komisi E (kesra) DPRD Jatim Achmad Iskandar berharap agar PT MLJ segera menyelesaikan pembayaran sesuai dengan Perpres 14/2007. "Karena keresahan akan semakin meluas. Apalagi, melihat warga lainnya sudah mendapat ganti rugi," tutur pria yang juga ketua Fraksi Demokrat DPRD Jatim tersebut.
 
Yang dimaksud Iskandar adalah warga tiga desa dan 9 RT yang diatur dalam Perpres 48/2008 dan Perpres 68/2011. Pembayaran untuk warga yang diatur dalam Perpres 48/2008 bahkan sudah lunas pada 2011. Sementara itu, ganti rugi untuk warga 9 RT diharapkan sudah lunas tahun ini.

Melihat warga yang diatur dengan perpres belakangan sudah lunas, sedangkan yang sudah enam tahun belum jelas ganti ruginya, tentu saja ada kecemburuan. "Inilah yang harus diantisipasi," tandasnya.
 
Soal alasan PT MLJ belum mendapat kredit, itu juga disesalkan Iskandar. Sebab, bank tentu punya pertimbangan sendiri untuk memutuskan apakah akan mengucurkan kredit atau tidak. "Pemerintah juga tak bisa mengintervensi bank untuk mengucurkan kredit atau tidak," tandasnya.
 
Apalagi, sebenarnya pemerintah sudah memberikan kesempatan dalam skema yang lain. Yakni, melalui dana talangan. Pada 16 Juni 2009 Menteri Keuangan (saat itu) Sri Mulyani membalas surat dari BPLS. Dalam surat balasan bernomor S-358/MK.02/2009 tersebut, Sri Mulyani mengatakan memungkinkan adanya dana talangan dalam APBNP dengan disertai surat perjanjian utang piutang antara pemerintah dan PT Lapindo Brantas.
 
Ketika dikonfirmasi soal itu, Gesang mengatakan bahwa skema dana talangan tersebut telah ditolaknya. "Itu adalah jebakan offside. Seperti nanti kasus Century, ada dana bailout," ucapnya. Menurut Gesang, bila pihaknya menerima dana talangan tersebut, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), polisi, atau kejaksaan akan langsung mengincar. "Kami tak ingin malah terlibat polemik hukum yang akan merugikan," tambahnya.
 
Menurut Gesang, pembayaran ikatan jual beli tersebut dilakukan lebih karena amanat almarhumah Hj Roosniah Achmad Bakrie. Menurut Gesang, kala itu ibunda Aburizal Bakrie tersebut mengatakan tidak peduli kalah atau menang. Yang penting, laksanakan jual beli itu agar rakyat bisa hidup lebih baik. "Padahal, fakta hukum menyebutkan bahwa semburan lumpur tersebut bukan karena kesalahan kami," tandasnya.
 
Namun, ketakutan Gesang itu dipertanyakan Paring Waluyo Utomo, pendamping warga korban lumpur Lapindo. "Ketakutan tersebut sangat aneh dan malah terlihat bahwa sebenarnya Minarak terkesan berusaha menarik ulur," katanya.

Menurut dia, kalau sudah ada surat resmi, ada keputusan resmi dari pemerintah-DPR, dan semuanya resmi, mengapa mereka masih takut permasalahan hukum? "Kalaupun ada apa-apa, yang terkena kan semua. Pemerintah semua, DPR semua, semuanya lah. Alasan itu mengada-ada. Padahal, kalau diterima, sudah selesai masalah ikatan jual beli warga tersebut. Tak perlu berlarut sampai enam tahun seperti ini," terangnya.
 
Selain itu, Paring mempertanyakan klaim Lapindo yang sudah menghabiskan dana Rp 7,95 triliun tersebut. Berdasar rekapan data yang dimilikinya, paling banyak Lapindo hanya mengeluarkan Rp 5,4 triliun. "Data tersebut saya kompilasi dari pernyataan sejumlah pejabat Lapindo. Di antaranya, Yuniwati Teryana (mantan humas Lapindo, Red)," terangnya.
 
Perinciannya adalah biaya penghentian semburan lumpur sebesar Rp 800 miliar. Kemudian, biaya menanggulangi dan mengalirkan lumpur ke laut melalui Kali Porong pada 2006 yang menghabiskan uang Rp 1,4 triliun. Lalu, biaya bantuan sosial Rp 373 miliar serta biaya jual beli lahan dan bangunan korban Rp 2,9 triliun. Total, paling banter hanya Rp 5,473 triliun.
 
Menurut Paring, sangat mungkin uang sekitar Rp 2 triliun sisanya itu dipakai untuk biaya hukum, keamanan, dan sebagainya. "Tapi, itu biaya-biaya yang di luar skema penyelesaian. Maksud saya, bila Lapindo fokus untuk membayar sesuai dengan Perpres 14/2007, tak perlu sampai berlarut sampai enam tahun," tandasnya.
 
Untuk itu, Paring menantang PT MLJ agar blak-blakan mengenai perincian penggunaan dana Rp 7,95 triliun tersebut. Namun, Gesang tak menanggapinya. "Itu tak signifikan. Toh, nantinya diaudit. Soal perinciannya, banyak lah. Pokoknya ya untuk penanggulangan biaya lumpur," ujarnya.
 
Apa pun perdebatan yang terjadi, yang tetap sulit hidupnya adalah warga dalam peta terdampak yang tercantum di Perpres 14/2007. "Kami tak mau tahu. Harapan kami adalah segera mendapatkan penyelesaian," kata Hartoyoso, salah seorang korban lumpur Lapindo yang berjaga di tanggul.

Dia mengatakan, dengan cara pembayaran yang diincrit-incrit seperti saat ini, pihaknya sangat dirugikan. Dia mencontohkan warga yang sudah mendapat 20 persen pembayaran. Tentu, uang tersebut sudah habis dan tak cukup untuk membiayai hidup selama enam tahun.
 
Apalagi, kemungkinan untuk mendapatkan pelunasan pada 2012 ini masih gelap. Sejauh ini PT MLJ hanya menjanjikan ketersediaan dana Rp 400 miliar pada Juni mendatang.

Sedangkan sisanya yang sekitar lebih dari Rp 500 miliar masih belum jelas. "Doakan kami dapat rezeki atau kami dapat pinjaman," kata Gesang.

Dengan prospek seperti itu, tampaknya, Hartoyoso dan warga lain yang senasib tetap akan cemburu dan terus melakukan blokade ketika ganti rugi tetangga-tetangga mereka yang dibayar oleh APBN dipenuhi. (ano/c10/nw)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Laporan Keuangan Buruk, Pemda Diminta Gandeng BPKP


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler