Laporan Keuangan 9 Parpol Tak Standar

Kamis, 05 April 2012 – 05:14 WIB

JAKARTA - LSM Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai laporan keuangan yang dibuat 9 partai politik di Indonesia belum sesuai standar laporan keuangan pada umumnya seperti yang sudah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No.24 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah No.5 tahun 2009.

Hal tersebut disampaikan peneliti pada Divisi Korupsi Politik ICW, Apung Widadi dalam jumpa pers di kantor ICW di Jakarta, Rabu (4/4). Apung mengatakan, bahkan 3 parpol di antaranya itu juga tidak menganggarkan biaya untuk pendidikan partai politik.

Kesembilan parpol itu adalah Partai Demokrat, Partai Golkar, PDI Perjuangan, PKS, PPP, PAN, PKB, Partai Hanura dan Partai Gerindra. Sedangkan 3 partai yang juga tidak menganggarkan biaya untuk pendidikan politik adalah Partai Golkar, PDIP dan PPP.

”Peraturan Mendagri Nomor 24 tahun 2009 itu berisi bantuan keuangan untuk partai politik digunakan sebagai dana penunjang pendidikan politik dan operasional partai politik. Nah, sudah seharusnya berdasarkan Permendagri itu partai-partai menganggarkan untuk biaya pendidikan politik,” terang Apung.

Dilanjutkan Apung, dalam Permendagri dan PP No.24 tahun 2009 itu berisi Pedoman Tata Cara Penghitungan Penganggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pengajuan, Penyaluran, dan Laporan Pertanggungjawaban Penggunaan Bantuan Keuangan Partai Politik.

”Kesimpulan tidak standarnya laporan keuangan 9 parpol itu setelah ICW melakukan uji akses informasi terhadap laporan pengelolaan keuangan 9 parpol yang bersumber dari uang negara. Pada 28 Juni 2011, ICW sudah mengirim surat permohonan informasi kepada 9 parpol itu, namun tidak mendapat respons,” ujar Apung.

Namun karena surat permohonan itu tidak kunjung direspons, akhirnya  pada 22 Januari 2012 ICW mengajukan sengketa informasi ke Komisi Informasi Pusat pada 22 Januari 2012 sehingga baru mendapat respons.

”Nah, dari 9 parpol itu, Partai Hanura satu-satunya partai yang hingga saat ini belum juga menyerahkan laporan keuangan mereka, sedangkan respons paling cepat ditunjukkan PKB,” ungkapnya.

Dari laporan keuangan itu parpol-parpol itu, ICW menilai parpol yang kualitas laporan keuangannya dinilai mendekati standar Permendagri adalah Partai Gerindra. ”Di bawah Gerindra berturut-turut PKB, PKS, PAN, Golkar, dan PPP. Tiga terbawah untuk peringkat kualitas laporan adalah Partai Demokrat, PDIP, dan Partai Hanura,” ungkap Apung lagi.

Menurutnya, belum terbukanya sebagian besar parpol itu untuk memberikan laporan keuangannya lantaran belum memiliki petugas pelaksana informasi daerah dan memiliki standar pencatatan keuangan yang minimalis, serta belum sesuai standar akuntansi.

”Yang juga memprihatinkan, sebagian besar subsidi APBN dihabiskan untuk operasional partai, seperti pembayaran listrik, gaji pegawai, dan pengarsipan. Sedangkan pendidikan politik yang seharusnya jadi pos yang diberi anggaran paling besar justru cenderung diabaikan,” lanjut Apung.

Dia mengungkapkan,  kalau PDIP, Golkar,  dan PPP sama sekali tidak menganggarkan dana partai dari APBN 2010 itu untuk pendidikan politik.

Sedangkan PAN hanya melaporkan pengeluaran sebesar Rp 540 juta, padahal PAN sendiri memperoleh anggaran Rp 677 juta dari APBN 2010 yang artinya ada Rp 130 juta yang tidak dilaporkan penggunaannya.

Sedangkan PPP sebaliknya, melaporkan Rp 800 juta anggaran yang terpakai, padahal dari biaya APBN 2010 itu, PPP hanya menerima Rp 598 juta. Gerindra melaporkan Rp 504 juta sebagai pengeluaran mereka padahal yang diterimanya dari APBN 2010 sebesar Rp 517 juta yang berarti Rp 13 juta lagi tidak dilaporkan.

PDIP sendiri mendapat dana dari APBN sebesar Rp1,574 miliar, Golkar mendapat Rp1,623 miliar, Demokrat sebesar Rp 2,338 miliar, PKS Rp 886 juta, PAN Rp 677 juta, PKB Rp 556 juta, Gerindra Rp 517 juta, dan Partai Hanura Rp 501 juta.

”Dari Rp 1,574 miliar yang diterima PDIP, terpakai untuk biaya telepon dan listrik sebesar Rp 387,836 juta. PPP menghabiskan dana terbesar untuk langganan daya dan jasa dan gaji Rp 378,427 juta. Golkar menggunakan dana untuk biaya telpon dan listriknya  Rp 771,883 juta,” urainya.

Sedangkan, anggaran untuk pendidikan politik yang seharusnya mendapat porsi paling besar justru hanya kecil saja digunakan parpol-parpol itu. Misalnya, Demokrat  hanya Rp 44 juta dari Rp 2,338 miliar yang diterimanya, PKS hanya Rp 42,2 juta dari Rp 886 juta yang diterimanya, PAN menganggarkan Rp 67 juta dari Rp 677 juta yang diterimanya, PKB Rp 22,9 juta dari Rp 556 juta yang diterimanya, dan Gerindra Rp 22,7 juta dari Rp 517 juta yang diterimanya. (ind)
BACA ARTIKEL LAINNYA... PKS: Pernyataan Setgab Masih Mengambang


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler