Laporan terbaru menyebut Pemerintah Tiongkok telah melanggar setiap ketentuan yang tercantum dalam Konvensi Genosida PBB, dengan "berniat memusnahkan" etnis Uighur di Xinjiang.

Laporan yang dirilis oleh lembaga Newlines Institute for Strategy and Policy yang berbasis di Amerika Serikat merupakan tinjauan independen pertama dari Konvensi Genosida 1948 terhadap perlakuan yang dialami warga Uighur di Tiongkok.

BACA JUGA: Kami Bukan Keluarga Rasis: Pangeran William Belum Bicara dengan Pangeran Harry

Tinjauan ini menuduh Pemerintahan Partai Komunis Tiongkok (PKC) dengan jelas menunjukkan niat untuk memusnahkan, secara keseluruhan atau sebagian, bangsa, etnis, ras atau kelompok agama, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Konvensi Genosida.

Tiongkok telah berulang kali membantah tindakan mereka di Xinjiang sebagai genosida.

BACA JUGA: Terlalu Panas, Beberapa Kota di Australia Terancam Jadi Tak Layak Huni

Tapi laporan tersebut menyatakan Pemerintah Tiongkok telah melanggar "setiap tindakan" yang dilarang dalam Pasal 2.

Bukti yang disajikan antara lain adanya penahanan massal, pencegahan massal atas kelahiran, pemindahan anak-anak secara paksa, kerja paksa, pemberantasan identitas orang Uighur, serta target terhadap kaum intelektual dan tokoh masyarakat.

BACA JUGA: Harga Komoditas Pangan Dunia Meningkat 50 Persen Sejak Pertengahan 2020

Investigasi kantor berita Associated Press yang dirilis pada Juni 2020 menemukan pihak berwenang Tiongkok menerapkan kebijakan aborsi secara paksa, pemasangan alat kontrasepsi dan sterilisasi terhadap kaum perempuan Uighur. Laporan menyebutkan kaum perempuan Uighur dipaksa melakukan sterilisasi.

Reuters: Murad Sezer Mengapa Australia tidak menyebutnya sebagai genosida?

Seorang warga Australia keturunan Uighur, Ramila Chanisheff, adalah salah satu penyintas yang pindah ke Australia sekitar 40 tahun lalu.

Seringkali dia mengalami kesulitan tidur dan sakit karena memikirkan keadaan keluarganya yang masih tinggal di Xinjiang.

Dia belum mendengar kabar mengenai dua orang sepupunya di Xinjiang dalam dua tahun ini.

"Saya tidak tahu di mana mereka. Terakhir saya dengar dia meninggalkan pesan melalui sepupu lain. Jangan lupakan saya, katanya," ujar Ramila kepada ABC.

Ia mengaku frustrasi, sedih, dan tak berdaya.

Sebagai ketua Asosiasi Perempuan Uighur Tangritagh Australia (AUTWA), Ramila telah mengorganisir berbagai kegiatan untuk meningkatkan kesadaran mengenai nasib warga Uighur.

"Seberapa lama lagi kita merasakan kengerian ini sebelum mengambil tindakan atas jutaan orang yang hilang, ketika kejadian seperti Holocaust terulang kembali?" kata Ramila.

Sejumlah negara termasuk Amerika Serikat dan Kanada, telah menetapkan penindasan terhadap orang Uighur sebagai genosida.

Tapi Australia belum melakukan hal itu. Menlu Marise Payne menyatakan Australia berbeda dengan Kanada dalam menetapkan status genosida.

ABC News: Nick Haggarty

Pada 1 Maret lalu, Menteri Luar Negeri Australia, Marise Payne mengindikasikan Australia tak akan turut serta menetapkan kebijakan Tiongkok di Xinjiang sebagai genosida.

"Kami memiliki pendekatan yang agak berbeda untuk kata genosida tersebut. Inggris dan Kanada memiliki mekanisme berbeda untuk membuat deklarasi seperti itu," katanya.

AUTWA telah meminta Pemerintah Australia untuk menunjukkan tanggung jawab moral atas permasalahan ini dan menetang penindasan yang dilakukan Tiongkok terhadap orang Uighur.

"Perlahan-lahan kami sudah kehilangan identitas kami," kata Ramila.

"Setiap kali ada laporan baru, kami di sini mengalami trauma, depresi atau kecemasan. Ada orang yang belum pernah melihat keluarganya selama 20 tahun karena mereka tidak diizinkan untuk kembali," ucap Ramila lagi. Tanggapan dari Tiongkok soal tuduhan genosida Aparat keamanan Uighur berpatroli di dekat masjid Id Kah di Kota Kashgar, Xinjiang.

AP: Han Guan

Pada hari Minggu, Menteri Luar Negeri Tiongkok, Wang Yi menyebut tuduhan genosida sangat tidak masuk akal dan hanya suatu kebohongan semata.

"Apa yang disebut genosida di Xinjiang sangat tidak masuk akal. Itu rumor dengan motif tersembunyi dan kebohongan semata," katanya seperti dikutip kantor berita Reuters.

"Ketika berbicara tentang genosida, umumnya orang berpikir tentang penduduk asli Amerika Utara di abad ke-16, budak Afrika di abad ke-19, Yahudi di abad ke-20, dan Penduduk Asli Australia yang masih berjuang hingga hari ini," ujar Menlu Wang.

Kedutaan Besar Tiongkok di Australia menambahkan tuduhan genosida merupakan lelucon tak masuk akal yang bertujuan mencoreng dan memfitnah Pemerintah Tiongkok.

"Tuduhan dan serangan tak berdasar ini hanya merupakan rencana politik buruk yang akan berakhir di keranjang sampah sejarah," kata pernyataan Kedubes Tiongkok.

Namun laporan Newlines Institute for Strategy and Policy menyebut dalih Tiongkok atas kebijakannya di Xinjiang sebagai perang melawan terorisme atau separatisme tidak membebaskan tanggung jawab negara itu atas genosida.

Organisasi global termasuk Proyek Hak Asasi Manusia Uighur (UHRP) mendukung laporan tersebut.

"Pemerintah Tiongkok berada di jalur cepat untuk menghancurkan rakyat kami seluruhnya," kata direktur eksekutif UHRP Omer Kanat.

"Siapapun yang selamat dari kekejaman ini akan terluka selamanya. Dengan semakin sedikit bayi yang lahir dari orangtua Uighur, tanah air kami akan kosong dari kehidupan Uighur hanya dalam satu generasi," tambahnya.

Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Seorang Pejabat di Australia Minta Mahasiswa Internasional Segera Didatangkan

Berita Terkait