jpnn.com - SURABAYA – Pemerintah pusat menginstruksikan pengadaan rapat yang dibiayai APBD tidak dilakukan di hotel. Tujuannya adalah efisiensi atau hemat anggaran.
Instruksi itu dituangkan dalam surat edaran (SE) Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara Reformasi dan Birokrasi (KemenpanRB) No. 11 Tahun 2014 tentang pembatasan kegiatan pertemuan dan rapat di luar kantor.
BACA JUGA: Inilah Peran Tersangka Lain di Kasus BW
Anehnya, instruksi itu kini bakal tidak berlaku. Pemerintah akan merevisi kebijakan yang melarang pegawai negeri sipil (PNS) untuk menggelar rapat di hotel.
Gubernur Jatim Soekarwo mengatakan bahwa kebijakan untuk merevisi itu kini sedang dikaji. Menurut dia, usulan perubahan itu bukan murni dari Pemprov Jatim, melainkan usulan pemerintah pusat.
BACA JUGA: Polri Siapkan 130 Penembak Terpidana Mati
”Saya mengetahui itu waktu saya memiliki agenda bertemu dengan Mendagri di Maluku pada 27 Februari,” kata Soekarwo seperti yang dilansir Radar Surabaya (Grup JPNN.com), Rabu (4/3).
Jadi, nantinya rapat yang dibiayai APBD kembali boleh dilakukan di hotel-hotel. Tetapi, sejumlah syarat harus dipenuhi.
BACA JUGA: Persiapan Eksekusi Mati Sudah 95 Persen, Jokowi: Lakukan Saja!
Soekarwo memaparkan, rapat boleh diadakan di hotel, asalkan jumlah pesertanya banyak atau jika kapasitas ruang rapat yang dimiliki oleh gedung milik pemerintah tidak mampu untuk menampung jumlah peserta rapat.
Selain itu, pengadaan rapat di hotel tersebut juga harus memiliki izin. Izin itu diajukan kepada gubernur.
”Kalau semua syarat itu telah terpenuhi, mereka diperbolehkan untuk menggelar rapat di hotel,” lanjutnya.
Politikus yang akrab dipanggil Pakde Karwo ini menambahkan, sejak awal, kebijakan pemerintah melarang rapat di hotel menimbulkan prokontra.
Sebab, pelarangan itu tidak memberikan dampak bagi efisiensi anggaran. Bahkan, di beberapa satuan kerja perangkat daerah (SKPD), pelarangan itu justru membuat anggaran rapat makin membengkak.
Contohnya, apabila Pemprov Jatim akan mengadakan rapat di luar hotel, mereka harus menyewa tempat kosong terlebih dahulu. Lalu, para pejabat itu juga harus menyewa tenda dan pendingin ruangan atau AC.
”Makanya, biaya yang dikeluarkan pun juga bisa membengkak dan semangat efisiensinya juga tidak berdampak,” tegasnya.
Secara terpisah, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Muhammad Soleh, menjelaskan bahwa selama pemberlakukan aturan itu, omzet para pengusaha hotel di Jatim menurun drastis.
Penurunan itu menembus angka 50 persen. ”Bahkan, saat awal Desember 2014 hingga Januari 2015, penuruannya menembus 70 persen,” bebernya.
Untuk menyiasati hal itu, mereka kemudian melakukan sejumlah langkah. Mereka melakukan PHK kepada para karyawan mereka.
”Jumlah karyawan yang kami PHK atau kami rumahkan hingga 50 ribu orang,” urai Soleh.
Soleh berharap, revisi larangan itu membuat pendapatan pengusaha hotel kembali meningkat. ”Di Jatim ini, sebagian hotel memiliki segmentasi untuk kegiatan pemerintahan atau PNS,” pungkasnya. (jan/jee/awa/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Informasi BIN, 16 WNI Berangkat ke Turki Gabung ISIS
Redaktur : Tim Redaksi