Larasati Suliantoro Sulaiman; Abdikan Hidup untuk Batik

Berdayakan Perajin, Pilih Buatan Tangan

Kamis, 08 Agustus 2013 – 17:47 WIB

jpnn.com - Larasati Suliantoro Sulaiman, 78, tak pernah lelah menularkan kecintaan batik kepada generasi muda. Sebagai apresiasi atas sepak terjangnya dalam melestarikan batik, berbagai penghargaan telah dia terima.

UMA NADHIF KHOLIFATIN, Jogjakarta

BACA JUGA: Pisang Songgolangit, Primadona Baru di Lumajang yang Akan Dipatenkan

MALAM semakin larut. Jam menunjukkan pukul 22.00. Namun, Larasati Suliantoro Sulaiman masih sibuk beraktivitas. Saat ditemui di rumahnya pekan lalu, dia sedang menjamu tamu di kebun samping hotel miliknya, Mustokoweni Heritage Hotel, Jogjakarta.

"Kebetulan hari ini ada acara buka bersama dengan teman-teman pencinta batik sekaligus seniman-seniman dan ahli batik di Jogja. Setelah itu, dilanjutkan rapat reguler paguyuban," tutur ketua Paguyuban Pencinta Batik Sekar Jagad tersebut.

BACA JUGA: Pet Shop, Jasa Penitipan Binatang yang Untung Dua Kali Lipat saat Lebaran

Perempuan yang akrab disapa Suli itu memang sangat cinta dan peduli pada batik. Bahkan, dia mengaku tidak pernah menang­galkan batik dari tubuhnya sejak 60 tahun lalu. Semua pakaian rumah, baik formal maupun nonformal, berbahan batik. Bukan batik cap dan printing yang biasa dijual di pasar, tapi batik tulis atau jumput buatan tangan. Suli tidak peduli dengan harganya yang mahal. Sebab, baginya, mengenakan batik dapat membantu perekonomian pembatik-pembatik di desa.

Itu berbeda dengan batik cap atau printing yang baginya tidak memberi nilai tambah bagi pembatik tradisional yang saat ini jumlahnya semakin sedikit. Yang dilakukan Suli bukanlah tanpa alasan. Ada cerita yang dialaminya terkait batik.

BACA JUGA: Ketika Guru Besar IAIN Sunan Ampel Jadi Imam dan Penceramah Ramadan di Tokyo

Bisa dibilang, dia merupakan saksi sejarah, mulai batik yang dijadikan sebagai harta kekayaan hingga batik yang dianggap sebagai kebutuhan sandang belaka. Suli dibesarkan dalam lingkungan pembatik. Ibu dan neneknya merupakan pembatik.

Dulu dia merupakan anak seorang wakil gubernur di Pekalongan (saat itu masih berbentuk karesidenan). Pekalongan merupakan salah satu pusat batik di Indonesia. Mata pencaharian utama masyarakat Pekalongan, selain bertani, membatik.

Jabatan ayahnya tersebut membuatnya sering blusukan ke pasar atau sentra-sentra batik. Dia tidak pernah absen dalam kegiatan itu sejak kecil. Dia belajar mengenai pembuatan warna, proses membatik, dan jenis-jenis motif batik.

"Dulu batik berharga sekali. Bahkan, saat perang gerilya 1948, harta yang diselamatkan, selain perhiasan, adalah kain batik," ucap perempuan kelahiran Bumiayu, 27 November 1934, itu.

Lalu, suatu ketika pada 1950, Presiden Indonesia Soekarno menasionalisasikan perusahaan-perusahaan asing. Keputusan itu membuat Belanda marah. Mereka menghentikan ekspor kain mori sebagai bahan baku batik ke Indonesia. Pekalongan pun lumpuh. Masyarakat beralih profesi menjadi petani. Krisis batik terjadi. Tidak hanya di Pekalongan, tapi di seluruh Jawa.

Untuk menyelesaikan krisis batik tersebut, sang ayah sampai harus mengirim perajin batik ke Malaysia. Di sana para perajin itu membuat batik, lalu hasilnya dikirim ke Indonesia. Itu dilakukan bertahap sampai Presiden Soekarno pada 1958 memutuskan membangun pabrik kain mori di Pekalongan. Setelah pembangunan tersebut, krisis batik di Indonesia berakhir.

"Waktu krisis itu, saya sudah SMA. Jadi, saya ingat betul kejadian tersebut. Melihat perjuangan bapak, sejak itu saya berjanji pada diri saya sendiri akan menggunakan batik seumur hidup. Saya tidak tertarik dengan pakaian impor seperti yang dikenakan teman-teman saya," terang Suli yang malam itu mengenakan sack dress batik jumput hitam dari Solo lengkap dengan scarf di lehernya.

Saat krisis batik usai, Suli telah menjadi mahasiswa semester III di Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM). Kendati mengambil jurusan pertanian, kegiatan Suli untuk melestarikan batik tidak usai. Dia masih terus memakai batik dalam kesehariannya dan menularkan kecintaannya kepada orang lain. Lalu, pada 1970, dia merasa krisis batik kembali terulang.

Kali ini masalahnya bukan bahan baku mori, tapi serbuan batik cap dan printing. Banyak pembatik yang gulung tikar karena tidak kuat bersaing dengan batik cap dan printing. Dia langsung bergerilya mencari sisa-sisa pembatik yang masih ada. Dia menyemangati mereka untuk terus membatik. Dia berjanji batik itu akan dibeli untuk dijual kembali.

"Kalau di pasar, mereka pasti kalah. Lalu, saya bantu jual ke kalangan-kalangan terbatas. Alhamdulillah, sampai sekarang terus berlangsung," ungkap pemilik Griya Batik Jawa tersebut. Dia pun mengajarkan kepada mereka teknik pencelupan warna indigo (biru). Warna indigo dibuat dari daun nila sehingga yang dihasilkan perajin tidak hanya berwarna tanah.

Ilmu Suli mengenai batik didukung ilmu filsafat estetika yang didapatnya. Pada 1978, dia mengambil program pascasarjana di Fakultas Filsafat UGM. Setelah menyelesaikan kuliahnya selama dua tahun, dia kemudian menjadi dosen filsafat estetika di UGM. Dari situ, dia berupaya menularkan kecintaan batik kepada mahasiswanya.

Selain mahasiswanya, Suli dalam melestarikan batik juga ditemani teman-teman sejawatnya. Hingga pada 1999, dia membentuk Paguyuban Pencinta Batik Sekar Jagad. Paguyuban Sekar Jagad itu turut andil dalam menyukseskan pengakuan UNESCO akan batik Indonesia.

"Anak-anak saya pun mulai mengikuti tanpa saya suruh. Mereka juga menyukai batik. Bahkan, saat ini dua putri saya, Laretna T. Adishakti dan Nita Kenzo, membantu memamerkan batik indigo hingga ke luar negeri. Seperti di Tokyo, Milan, dan Seoul," ucapnya.

Pengabdian Suli itu mengantarkannya mendapat sejumlah penghargaan. Beberapa di antaranya penghargaan Kalpataru Kategori Pembina Lingkungan 1997 dan Anugerah Kehati Award 2006, yang merupakan penghargaan tertinggi untuk pelestarian keragaman hayati dari Kementerian Lingkungan Hidup. Selain itu, penghargaan dari media Jepang The Nikkei Asia Prizes 2009.

Sayangnya, sekeras apa pun menjaga kelestarian batik, dia tetap tidak bisa membendung era globalisasi. Masyarakat saat ini lebih menyukai baju-baju impor dan anak-anak mudanya suka sekali dengan celana jins. Hal itu sangat bertolak belakang dengan sikap orang asing. Setiap kali menggelar pameran di luar negeri, dia selalu melihat decak kagum orang-orang asing karena keindahan motif batik. Dalam hati, Suli merasa miris. Tapi, dia tidak bisa menyalahkan generasi muda yang tidak akrab dengan batik.

Dia pun mengkritisi pemahaman masyarakat tentang batik yang mulai bergeser. Saat ini, batik diartikan sebagai corak. Padahal, jika dilihat dari sejarahnya, batik merupakan proses atau kegiatan yang dilakukan perempuan-perempuan Jawa. Itu sama seperti budaya menyulam para perempuan di Eropa. "Saat ini, banyak literatur yang ditulis orang lokal dan asing mengenai batik. Tapi, di sana banyak yang keliru. Mereka menitikberatkan pada produk yang dihasilkan, bukan prosesnya," tuturnya.

Corak batik merupakan hasil kreasi yang diciptakan pembatik. Sama seperti pelukis yang membuat lukisan-lukisan. Perbedaannya, pembatik tidak pernah memproteksi corak yang diciptakan. Mereka senang jika corak yang dihasilkan ditiru pembatik lainnya. Mereka menganggap itu sebagai apresiasi yang diberikan terhadap kreasi yang dihasilkan. Berbeda dengan jenis seni lainnya yang ketika karyanya ditiru, mereka pasti marah.

Dia mengatakan, saat ini banyak orang yang mendukungnya untuk membuat buku tentang batik. Tapi, hingga saat ini dia belum berani. Puluhan tahun mempelajari batik, dia merasa masih banyak yang belum diketahui. "Semakin banyak tahu akan semakin merasa tidak tahu," ucapnya. Dia berkata, banyak cerita, sejarah, dan budaya yang tersembunyi di sana.

Selain itu, membuat buku literatur tidak mudah. Literatur merupakan sebuah sintesis. "Kalau saya punya suatu sintesis, tidak bisa langsung saya membuat buku. Sintesis itu harus saya bandingkan dengan sintesis lainnya sehingga menjadi sintesis baru. Saat ini, saya masih dalam proses mencari sintesis baru itu," ucapnya. (*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Hanya Bupati dan Juru Kunci Boleh Masuk di Ruang Koleksi Rahasia


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler