JAKARTA - Media berbasis internet dengan daya jangkaunya yang sangat luas menjadi media kampanye wacana yang efektif. Sayangnya, seringkali media juga digunakan untuk menyiarkan hal-hal negatif seperti pornografi, radikalisme, bahkan kekerasan atas nama agama.
Lazuardi Birru , LSM yang memiliki perhatian pada isu radikalisme dan terorisme serta menentang segala bentuk kekerasan atas nama agama dan fokus mengampanyekan Islam cinta damai, kebhinnekaan, dan toleransi sangat berkepentingan dengan media berbasis internet dan pemuda.
Menurut Dhyah Madya, Ketua Lazuardi Birru, pemuda sangat akrab dengan internet sehingga mereka disebut sebagai generasi digital native lantaran lahir dan hidup saat semua teknologi sudah serba digital. Di situlah mereka bisa menjadi agen kampanye yang efektif jika dibekali keterampilan jurnalistik.
Untuk membekali itu, Lazuardi Birru bekerja sama dengan Lembaga Pendidikan Jurnalistik Antara (LPJA) dan Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) menggelar Pelatihan Jurnalistik untuk mahasiswa/i se-Jabodetabek dengan tema “Mewujudkan Islam Cinta Damai Melalui Jurnalisme Berbasis Pemuda”.
“Kegiatan ini berdurasi 3 bulan dari 06 Mei 2012 sampai 29 Juli 2012 dengan total 13 kali tatap muka di kelas. Pertemuan berlangsung setiap hari Minggu pukul 10.00-13.00 WIB, di LPJA, Jalan Antara 59 Pasar Baru Jakarta Pusat,” terang Dhyah dalam keteran persnya yang dikirim ke JPNN.
Ia menjelaskan, pelatihan dibuka oleh Asro Kamal Rokan, Ketua Dewan Pengawas Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara, pada Minggu pagi, 06 Mei 2012 di LPJA, dan dilanjutkan dengan Diskusi Panel bertema “Peran Mahasiswa dalam Kampanye Antikekerasan Atas Nama Agama”.
Narasumber dalam Diskusi Panel adalah Asro Kamal Rokan (Pemimpin Redaksi Jurnal Nasional), Dhyah Madya (Ketua Lazuardi Birru), dan Nasir Abas (Pengamat Radikalisme-Terorisme dan Mantan Ketua Mantiqi III Jamaah Islamiyah).
Dhyah menuturkan pelatihan ini digelar secara gratis untuk memberikan keterampilan jurnalistik kepada generasi muda, baik dalam bidang tulis menulis maupun fotografi. Lebih dari itu juga untuk menumbuhkan kepekaan pemuda akan kebhinnekaan bangsa Indonesia.
“Diharapkan mereka dapat menjadi agen kampanye Islam cinta damai melalui weblog pribadi, jejaring sosial, media massa online, dan terutama melalui portal lazuardibirru.org,” terangnya.
Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu menjelaskan, target pelatihan ini adalah melahirkan jurnalis warga (citizen journalist) yang aktif mengampanyekan perdamaian.
“Jurnalisme warga menjadi tren baru lantaran semua orang bisa menginformasikan dan mengampanyekan hal apapun tanpa harus menjadi jurnalis profesional. Publikasinya tidak hanya berskala lokal melainkan global. Ini kesempatan baik yang harus kita manfaatkan,” ujar Dhyah.
Pelatihan ini, lanjut Dhyah, menggunakan kurikulum jurnalistik terpadu dengan dilengkapi tambahan materi Islam dan keindonesiaan sebagai fokus utama program kampanye Lazuardi Birru. Materi pelatihan meliputi materi umum, materi keahlian tulis dan fotografi.
“Usai kegiatan ini digelar, para peserta akan terus didampingi oleh tim Lazuardi Birru untuk memantau sejauh mana keaktifan mereka dalam mengampanyekan isu-isu perdamaian,” sambungnya.
Sementara itu Nasir Abas melihat bahwa event ini cukup efektif untuk menanamkan ideologi Islam rahmatan lil alamin karena digelar secara intensif dalam rentang waktu cukup panjang.
Menurut dia, di tengah gempuran pelbagai media yang mengobarkan dan membenarkan alasan untuk melakukan kekerasan atas nama agama, generasi muda khususnya mahasiswa, dengan semangatnya yang masih meluap-luap harus tampil untuk melakukan counter wacana.
“Mereka bisa aktif menyuarakan bahwa Islam tidak menghalalkan aksi-aksi kekerasan seperti terorisme dan main hakim sendiri. Sekarang media untuk mengampanyekan isu tersebut sangat banyak dan berbiaya murah seperti blog-blog,” tandas Mantan Ketua Mantiqi III Jamaah Islamiyah itu.
Dukungan senada datang dari Asro Kamal Rokan, mantan Pemimpin Redaksi LKBN Antara dan Republika ini. Dalam hemat dia, generasi muda harus bisa memanfaatkan media.
Lebih jauh ia mengingatkan, media massa harus dapat menjadi agen perdamaian yang berpihak pada masyarakat sebagai korban konflik dan radikalisme, bukan pada parapihak yang konflik.
“Dalam konflik dan kekerasan di tengah masyarakat, kekerasan karena politik, radikalisasi atas nama agama dan suku, media semestinya membawa air dalam percikan api, bukan membawa bensin,” tegas Asro. (*/sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kemenakertrans Garap Food Estate 30 Ribu Hektar
Redaktur : Tim Redaksi