LBH Sebut Demokrasi Saat Ini Telah Dikooptasi Penguasa

Jumat, 01 Desember 2023 – 22:30 WIB
Pemilu 2024. Ilustrasi. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Direktur LBH Jakarta Arief Maulana mengatakan demokrasi yang dijalankan hari ini sangat jauh dari kata ideal dan cenderung digunakan atau dikooptasi oleh penguasa untuk mencapai tujuannya.

“Dalam sebuah negara demokrasi, kebebasan berpendapat juga berbicara dari rakyat sangat penting karena prinsip demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Dia berhak bicara agar kepentingannya didengar dan kebutuhannya dipenuhi oleh penguasa,” ujar Arief pada Jumat (1/12/2023).

BACA JUGA: Saat Ribuan Mahasiswa NTT Angkat 3 Jari dan Mengharapkan Ganjar Memperbaiki Demokrasi

Menurut Arief, sejatinya kebebasan berpendapat itu dijamin, dilindungi sebagai fondasi dari demokrasi.

Namun, kata dia, kenyataan hari ini, sikap-sikap aparat, Undang-Undang yang berlaku seperti UU ITE, UU KUHP justru membelenggu suara rakyat.

BACA JUGA: Ribuan Mahasiswa Sumut Gelar Mimbar Demokrasi, Ini Kata Mereka soal Dinasti Jokowi

“Jika membaca hasil dari Indikator Politik, 60-70 persen masyarakat Indonesia mereka takut untuk berpendapat. Tidak percaya pemerintah bisa menerima kritik. Wajar kalau indeks demokrasi di Indonesia terjun bebas,” ujar Arif.

Intimidasi dan tekanan diterima oleh orang-orang yang mengkritisi pemerintah.

BACA JUGA: Mahasiswa Turun ke Jalan, Kecam Demokrasi Buruk Era Jokowi

“Represi bukan hanya fisik, tetapi bisa juga di-bully, offline-online, akunnya bisa dibajak. Lebih besar ancamannya. Dan, ini tidak sesuai dengan prinsip demokrasi,“ tegas Arif lagi.

Arief juga menyoroti soal penegakan hukum dan aparat penegak hukum.

Dia menilai sekarang ini hukum justru dijadikan alat untuk melegitimasi praktik penyalahgunaan wewenang.

Arief mencontohkan penggunaan aparat pemerintah seperti ASN, TNI-Polri, termasuk aparat desa beberapa waktu lalu dalam kampanye.

“Padahal mereka tidak boleh ikut politik praktis, berkampanye. Ketika kemudian mereka dimanfaatkan untuk menabrak aturan, itu jelas penyalahgunaan wewenang, tidak sesuai prinsip demokrasi. Tidak fair,” ungkap Arif.

Dengan begitu lanjut dia, banyak penyelewengan sehingga sulit untuk percaya bahwa Pemilu ke depan akan berlangsung jujur dan adil.

Sementara itu, Direktur Imparsial Gufron Mabruri menilai suasana kebatinan masyarakat tengah sensitif dengan isu demokrasi.

Hal itu muncul ketika ada berbagai pelarangan yang menghambat kebebasan masyarakat sipil untuk bersuara dan menyampaikan pendapat.

"Saya kira ini suasana kebatinan yang dirasakan oleh masyarakat sipil, misalnya ada kasus pelarangan diskusi, pencegahan beberapa orang yang ingin diskusi di kampus karena ada intervensi kekuasaan. Kemudian beberapa kawan yang mengkritik pejabat publik dilaporkan ke polisi, bahkan ada yang menghadapi proses hukum,” ujar Gufron.

Gufron menyoroti beberapa kasus yang terjadi seperti Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti yang kini berhadapan dengan hukum dalam kasus dugaan pencemaran nama baik.

Terbaru, Ketua BEM UI Melki Sedek Huang juga dikabarkan menerima intimidassi akibat mengkritik Putusan MK Nomor 90.

“Saya kira itu beberapa tanda yang dirasakan masyarakat dari menurunnya kebebasan sebagai cerminan dari demokrasi yang mengalami regresi," ujar Gufron.

Berbagai kejadian itu juga dinilai menjadi potret yang secara induktif menggambarkan situasi umum hari ini. Kebebasan di ruang publik untuk kritis, berekspresi, berorganisasi, berdiskusi itu menghadapi dinamika politik elite yang anti terhadap kebebasan.

Politik Dinasti

Gufron menilai kondisi dan situasi demokrasi di Indonesia tengah mengalami kemunduran serius, terutama di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Menurut dia, kemunduran demokrasi Indonesia semakin nyata saat Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 90 terkait batas usia capres dan cawapres yang dinilai melanggengkan politik dinasti.

“Demokrasi Indonesia mengalami de-konsolidasi, regresi. Indikatornya banyak. Puncak dari kemunduran itu salah satunya ditandai dengan politik dinasti yang dimuluskan lewat Putusan MK No.90," tegasnya.

Bahkan jauh sebelum Putusan MK muncul, publik juga sudah dihantui ketakutan untuk berbicara kritis di ruang publik.

"Sebelumnya kan sudah banyak yang secara kritis menyoroti situasi kebebasan di ruang publik yang menurun. Orang takut untuk bicara, menyuarakan pandangan kritisnya ke pemerintah, presiden, DPR, dan elite politik. Beberapa di antaranya ada yang dilaporkan ke polisi, dikriminalisasi," kata Gufron.

Oleh karena itu, Gufron menyayangkan penguasa saat ini yang muncul dari mekanisme demokrasi justru menyerang demokrasi.

“Padahal mereka misalnya presiden, elite politik lain yang duduk dalam kekuasaan kan mereka muncul dari mekanisme politik demokrasi, tetapi justru mereka menjadi aktor yang menyerang demokrasi, kebebasan. Tentu itu menjadi sebuah ironi,” ujar Gufron.(fri/jpnn)

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
Lbh   Lbh Jakarta   Demokrasi   penguasa  

Terpopuler