jpnn.com - Sudirman menghidupkan mesin perahu saat subuh baru saja usai. Unggas laut mulai sibuk, suaranya sahut-sahutan. Laut teduh. Sudirman berdoa, dapat banyak kepiting untuk biaya hidup Ramadan dan lebaran nanti.
Zalyan Shodiqin Abdi, Pulau Laut
BACA JUGA: Catat, Polisi Bakal Hentikan Mobil Bak Terbuka untuk Pemudik
Sudirman lelaki paruh baya. Tinggal persis di atas pantai Desa Tanjung Pelayar Kecamatan Pulau Laut Tanjung Selayar, Kabupaten Kotabaru, Kalsel. Desa yang indah itu, berjarak sekitar 130 kilometer dari pusat kota dihuni mayoritas nelayan suku Mandar.
Sudah sebulan lebih nelayan di Tanjung Pelayar tidak lagi ke bagang. Angin saat sore dan malam hari kencang. Ikan teri menjauh, bagang banyak rusak.
BACA JUGA: Beginilah Persiapan Pertamina demi Pemudik di Tol Fungsional
Uang hasil bagang sudah habis. Utang masih menumpuk di tengkulak. Itulah yang dirasakan Sudirman dan istrinya Agustina.
Sementara lebaran tinggal sebentar. Tidak ada pilihan, Sudirman dan nelayan lainnya tetap melaut. Menangkap kepiting dan udang memakai jaring.
BACA JUGA: Ini Imbauan Pak Kapolda untuk Pemudik Sebelum Pulang Kampung
Usai salat Subuh, Sudirman pergi ke laut lepas. Dia memeriksa jaring yang dipasang di tengah laut. Kepiting dan udang yang terjerat dinaikkan ke atas kapal. Jaring yang masih bagus dimasukkan kembali, yang rusak dibawa pulang diperbaiki.
"Tidak tentu. Kadang dapat satu kilo kepiting. Kadang cuma tiga ons udang," katanya Jumat (1/6) sore didampingi istrinya, dan sahabatnya Pa'galari.
Sambil bercerita, jemarinya cekatan menganyam jaring yang rusak. Harga sekilo kepiting katanya Rp50 ribu. Kalau udang ukuran C harganya Rp30 ribu per ons. Semua dijual ke tengkulak atau pengepul.
"Yang bisa naik haji di sini cuma bos ikan. Kalau kami makan saja syukur," kata Pa'galari, seraya menambahkan kopiah haji yang dikenakannya hanya hiasan.
Bulan Ramadan jelang lebaran kebutuhan hidup mereka meningkat. "Makanya kami tidak ada libur. Habis cari ikan, kerja yang lain juga," aku Pa'galari.
Musim bagang selama tujuh bulan tadi, dua pria itu meraup laba kotor belasan juta rupiah. Sayang sekarang uangnya sudah habis. Pakai makan dan bayar hutang. "Mana bisa kaya. Kami gali lubang tutup lubang kerjanya," kata Agustina.
Laut mereka memang kaya. Itu dibenarkan Agustina. Sayang nelayan kecil kesulitan modal. Hasil tangkap mesti dijual cepat tanpa diolah. Makanya harganya murah.
Sebagai gambaran. Sekali melaut Sudirman membutuhkan lima liter solar. Satu liter Rp7.500, biaya melaut total Rp37.500. Hasil kepiting dan udang rata-rata Rp100 ribu. Dalam sehari laba nelayan Rp65.500.
Belum hitung biaya perbaikan jaring. Mesin yang rusak. "Makanya. Cukup makan saja. Hutang tidak lunas-lunas," kata Sudirman tertawa. Tawanya lepas, seolah ikhlas dengan kondisi itu.
Kehidupan nelayan kata Pa'galari dato tahun ke tahun semakin susah. Solar terus naik. Harga peralatan tangkap ikan dan mesin ikut naik. "Semua naik. Bensin, listrik semua."
Andai katanya biaya hidup itu bisa ditekan pemerintah, nelayan tidak terlalu kelabakan. Kondisi itu bukan mengada-ngada. Mayoritas rumah nelayan di sana sederhana. Kayu, bahkan ada yang jendela depannya tidak berpenutup. Tidak sedikit rumah yang sebenarnya adalah gubuk.
Edy Rahmat warga yang punya lahan dekat objek wisata pantai di sana mengatakan. Dari dulu kehidupan nelayan tidak berubah. Padahal kekayaan alam melimpah. "Ada yang salah memang. Karena bos ikan yang menjual dengan cara sederhana berkali-kali bisa naik haji," ujarnya.
Dia berharap pemerintah mau serius membantu nelayan. Tidak sulit kata dia. Bisa dengan cara membuat pengolahan ikan. Atau tempat penampungan ikan. "Intinya nelayan itu perlu makan. Mereka terpaksa jual ikan murah. Padahal ikan itu banyak yang ekspor ke luar daerah."(by/ran)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Awas, Ini Potensi Titik Macet di Tol Gratis Pejagan-Pemalang
Redaktur & Reporter : Soetomo