Lebih Bangga Murid Sukses daripada Manggung Bareng Queen

Sabtu, 16 Agustus 2014 – 13:00 WIB
ESTAFET ILMU: Heidi Awuy (tengah) bersama dua muridnya, Felicia Liviani Tandiono (kiri) dan Shienny Kurniawaty. Panji Dwi Anggara/Jawa Pos/JPNN.com

jpnn.com - Usianya tak lagi muda. Sudah lebih dari setengah abad. Namun, bila sedang memegang harpa, jari-jemari lentik plus penghayatan dan tenaganya tidak berbeda jauh dengan murid-muridnya yang masih muda-muda.


Laporan Panji Dwi Anggara, Jakarta
============================

BACA JUGA: Biaya Rp 3 Juta, Tak Kalah dengan Yang Rp 300 Juta


Perempuan blasteran Indonesia-Prancis itu bernama Heidi Awuy. Kepiawaiannya memainkan harpa jangan ditanya lagi. Bahkan, beberapa kali dia tampil dalam pertunjukan-pertunjukan musik bergengsi di luar negeri. Pada usia yang menginjak 52 tahun, selain tetap cantik, Heidi belum mau gantung harpa. Dia masih ingin menularkan ilmunya yang langka itu.

Sejak umur 3 tahun, Heidi mengenal berbagai alat musik klasik milik orang tuanya. Dia tumbuh dalam keluarga yang percaya bahwa musik adalah pintu untuk menikmati keindahan.

BACA JUGA: Kuda Chosen One Berharga Rp 800 Juta

Pada usia 5 tahun, pemilik nama lengkap Heidi Elizabeth Evelyne Estelle Awuy Tumbelaka tersebut sudah mahir memainkan piano. Setahun kemudian, giliran biola yang dikuasai. Dua alat musik itu menjadi teman sejatinya melewati masa kecil di Jerman.

Namun, semua berubah saat Heidi pulang ke negara kelahirannya, Swiss. Oleh ayahnya yang seorang diplomat senior Kementerian Luar Negeri Indonesia, Heidi lalu dikenalkan pada harpa. Suara dentingannya yang magis dan menyentuh hati membuat Heidi langsung jatuh hati.

BACA JUGA: Novela Garang di Sidang, Lembut di Facebook

’’Sayangnya, ketika itu papi tidak mau membelikan harpa. Katanya, alat itu terlalu sulit. Apalagi buat anak kecil seperti saya,’’ kenang Heidi ketika ditemui di rumahnya, kawasan Jakarta Selatan, kemarin (15/8).

Diam-diam, tanpa sepengetahuan sang ayah yang meragukan kemampuan bermusiknya, perempuan kelahiran 23 Oktober 1962 itu berlatih harpa di sekolah, tempat dirinya menimba ilmu. Karena sudah passion, ibu empat anak itu tidak butuh waktu lama untuk menguasai alat musik yang diilustrasikan sebagai malaikat tersebut.

Ketika ayahnya ditugaskan ke Bangkok, Thailand, 1979, hasrat Heidi untuk memiliki harpa tidak bisa dicegah lagi. ’’Selama enam bulan saya merengek minta dibelikan harpa. Papi baru mau membelikan setelah melihat kemampuan dan kesungguhan saya bermain harpa,’’ ujarnya sembari melentikkan jari dengan anggun di harpa pertamanya tersebut.

Setelah memiliki harpa sendiri, semangat berlatih Heidi semakin besar. Hampir tiap hari dia harus memetik harpa kesayangannya itu. Apalagi setelah keluarganya boyongan pulang ke tanah air. Heidi tambah tekun belajar dan berlatih.

’’Tahu nggak saat saya merengek-rengek ke papi. Saya bilang bahwa di Indonesia belum ada seorang pun harpis (pemain harpa, Red). Biarlah saya yang belajar dan berjanji mengharumkan nama bangsa lewat alat musik ini,’’ katanya menirukan ucapannya puluhan tahun silam.

Ternyata, ucapan itu terbukti. Tak berselang lama sejak menetap di Jakarta, Heidi tiba-tiba dihubungi manajemen band Queen yang akan konser di Indonesia pada 1983. Mereka meminta kesediaan Heidi untuk tampil mengiringi Freddie Mercury dkk.

’’Tentu surprised sekali. Saat itu, penampilan kami menarik perhatian banyak media. Termasuk media asing,’’ jelas istri Glenn Tumbelaka itu.

Setelah menikmati euforia tampil sepanggung dengan band asal Inggris tersebut, alumnus Institut de Musique Jaques Dalcroze, Jenewa, Swiss, itu memutuskan untuk membuka sekolah musik di Indonesia pada 1984. Fokusnya, tentu pembelajaran harpa.

Memang, tidak mudah mewujudkan sekolah musik itu. Sebab, selain masih sangat jarang orang yang memiliki harpa, harganya terbilang mahal.

’’Sekarang sudah tidak begitu mahal. Karena itu, alat musik ini harus terus dipopulerkan,’’ tegasnya.

Tidak ingin ilmunya dangkal, sebelum memutuskan membuka sekolah harpa, Heidi menimba ilmu kepada para musisi harpa dunia. Antara lain, Sebastien Lipman, Maria Rosa Calvo Manzano, Alexandre Bonnet, dan Lieve van Oudhesdem.

’’Saya tidak ingin mengajar sembarangan. Saya tidak ingin apa adanya,’’ tuturnya.

Kini sudah 30 tahun Heidi mengenalkan alat musik yang suaranya mirip dengan piano klasik itu di Indonesia. Sudah banyak muridnya yang ’’sukses’’ dengan harpanya. Salah seorang di antara mereka adalah harpis cantik Maya Hasan.

’’Maya belajar selama enam tahun. Ketekunannya luar biasa,’’ kata Heidi.

Tidak hanya harpis asal Jakarta yang menimba ilmu kepada Heidi. Beberapa muridnya berasal dari luar kota. Mereka belajar secara privat sehari penuh kepada Heidi. Setelah itu, mereka pulang. Minggu depannya belajar lagi. Padahal, mereka datang dari kota yang jauh dan harus ditempuh dengan mengguankan pesawat.

Di antara murid Heidi yang berlatih secara ekstrem itu adalah Shienny Kurniawaty dan Felicia Liviani Tandiono. Keduanya asal Surabaya. Shienny mulai belajar pada 2010. Setiap jadwal privatnya tiba, dia terbang ke Jakarta dengan menggunakan first flight dan pulang ke Surabaya menggunakan penerbangan terakhir. Hal itu kemudian dicontoh Felicia yang mulai berlatih di sekolah Heidi pada 2012.

Namun, sejak 2014, giliran Heidi yang terbang Jakarta–Surabaya PP untuk menemui murid-muridnya. Apalagi, muridnya di Surabaya terus bertambah.

’’Sekarang gantian saya yang pergi pagi dan pulang malam naik pesawat. Waktu seharian di Surabaya benar-benar hanya untuk mengajar. Kalau mau tidur, ya pas di pesawat,’’ katanya.

Menurut perempuan yang perform di Kongres Ke-8 Harpa Sedunia di Swiss pada 2002 itu, Surabaya merupakan salah satu kota dengan perkembangan musik klasik tertinggi di Indonesia.

’’Dua jempol untuk kota ini. Makanya, dalam konser 30 tahun perjalanan karir musik saya, saya memilih tampil di Jakarta dan Surabaya,’’ bebernya.

Konser yang diberi tajuk Harp Ensemble in Concert itu dilangsungkan di Usmar Ismail Hall, Kuningan, Jakarta, 5 Juli lalu. Dalam konser tersebut, dia tampil bersama 23 harpis didikannya. Sedangkan di Surabaya, konser diadakan di Accademia Musicale Armonika, Pajajaran, tempatnya mengajar harpa, pada 24 Agustus mendatang.

Dalam konsernya di momen spesial itu, Heidi dibantu enam harpis asal Surabaya. Termasuk Shienny dan Felicia. Mereka akan membawakan repertoar Flower Fairies, Water Sprites, Fairy Ring, Tylwyth Teg, serta Jimaninos karya Kathryn Cater. Selain itu, Blue Planet dan The Minstrel Adieu.

’’Kebanggaan terbesar saya saat ini bukan tampil bareng bintang dunia, melainkan calon-calon bintang dunia dari Indonesia. Siapa mereka? Ya, murid-murid saya itu. Di tangan mereka regenerasi harpa dipertaruhkan. Ingat, harpa ini alat musik seksi yang mampu membuat pemainnya terlihat cantik,’’ kata musisi yang gemar mengonsumsi sayur dan buah-buahan untuk menjaga kecantikannya itu. (*/c4/ari)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Anak PSK Dolly yang Jadi Relawan Bapemas KB


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler