JAKARTA - Pemerintah sebenarnya bisa menempuh jalan lebih sederhana dalam menekan pembengkakan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Menaikkan harga premium adalah langkah paling mudah dibandingkan membatasi konsumsi BBM bersubsidi. Namun, pemerintah selalu ragu dan tidak pernah mau menempuh risiko politik dari kenaikan harga BBM.
"Kalau mau lebih sederhana, naikkan saja premium menjadi Rp 5.500 atau Rp 6.000 per liter," kata Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) A. Erani Yustika kemarin.
Erani mengatakan, menaikkan harga BBM tidak menguntungkan pemerintah secara politis. Padahal, pembatasan BBM dengan melarang mobil pribadi menggunakan premium, pada dasarnya juga membebankan harga lebih tinggi dengan peralihan ke Pertamax. "Ini kelihatan sekali bahwa pilihan ini (pembatasan BBM bersubsidi) bukan pilihan terbaik," kata doktor lulusan University of G"ngen Jerman itu.
Mulai 1 April mendatang, pemerintah melarang pengguna mobil pribadi di Jawa dan Bali menggunakan premium. Sebagai gantinya, pengguna premium harus membeli Pertamax. Alternatif lain adalah menggunakan bahan bakar gas dengan terlebih dulu memasangi mobil dengan converter kit yang harga per unitnya di atas Rp 10 juta.
Larangan penggunaan premium untuk kendaraan roda empat berpelat hitam juga diberlakukan di Pulau Sumatera dan Kalimantan mulai 2013. Sementara pelaksanaan di Pulau Sulawesi dan wilayah Papua masing-masing akan dilakukan pada Januari dan Juli 2014. Larangan penggunaan solar bagi mobil pribadi di Jawa dan Bali, baru akan dimulai pertengahan 2013.
Konsumsi BBM bersubsidi (premium, solar, dan minyak tanah) tahun lalu menembus 43 juta kilo liter. Tahun lalu, konsumsi premium di Jawa Bali setiap bulannya menembus 1 juta kilo liter atau satu miliar liter. Sebanyak 53 persen dari itu, disedot oleh mobil pribadi yang dimiliki masyarakat mampu.
Program pembatasan BBM bersubsidi juga rawan kebocoran. "Potensi kebocoran bisa mencapai 25-30 persen," kata Erani. Ia mengatakan, konsumsi BBM bersubsidi tetap tidak bisa ditekan secara drastis. Jatah BBM bersubsidi tahun ini adalah 40 juta kilo liter. Dalam APBN 2012, subsidi BBM dianggarkan Rp 123,559 triliun.
BUMN Siap Produksi Converter Kit BBG
Sementara itu, prospek naiknya permintaan converter kit bahan bakar gas (BBG) seiring program pembatasan konsumsi BBM subsidi, sudah mulai dilirik oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kali ini, PT Dirgantara Indonesia (DI) yang biasa memproduksi pesawat terbang, siap melebarkan sayap bisnisnya untuk memproduksi converter kit, alat yang dipasang di kendaraan bermotor yang ingin menggunakan bahan bakar gas (BBG).
Menteri BUMN Dahlan Iskan mengatakan, dirinya akan segera meminta informasi terkait kesiapan PT DI dalam proses produksi converter kit. "Kalau memang tidak mengganggu program pembuatan pesawat, saya mendukung PT DI untuk masuk (memproduksi converter kit)," ujarnya akhir pekan lalu.
Menurut Dahlan, jika memang PT DI sanggup memproduksi converter kit dan ternyata desain serta pembuatannya tidak terlalu sulit, maka BUMN lain seperti PT Boma Bisma Indra pun bisa ikut memproduksi converter kit. "Kalau memang bisa diproduksi di dalam negeri, lebih baik dihindarkan dari impor," katanya.
Sebagaimana diketahui, pemerintah berencana menggulirkan program pengalihan konsumsi BBM ke BBG, seiring dengan rencana pemberlakuan pembatasan konsumsi BBM subsidi mulai 1 April nanti.
Dalam roadmap pemerintah, selain untuk kendaraan angkutan umum, converter kit juga akan didorong agar digunakan oleh pemilik mobil pribadi. Untuk tahap awal, diperkirakan akabn dibutuhkan sekitar 2,5 juta converter kit. Berhubung produksi dalam negeri belum siap, Menteri Perindustrian M.S. Hidayat mengungkapkan ada rencana impor converter kit sebanyak 250.000 unit dari Eropa pada Februari nanti.
Jika PT DI siap memproduksi converter kit, Pertamina sebagai BUMN sektor energi siap menyatakan siap menyediakan BBG untuk angkutan umum maupun mobil pribadi.
VP Komunikasi PT Pertamina Mochamad Harun mengatakan, Pertamina siap menjadi lead atau memimpin program penggunaan BBG di Indonesia. "Kalau ditunjuk sebagai leader, kami akan all out," ujarnya.
Harun mengakui, selama ini jumlah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) sempat mencapai 33 buah. Namun, karena minimnya konsumsi BBG, 27 diantaranya terpaksa tidak beroperasi, sehingga kini hanya tersisa 6 SPBG. "Kalau pemerintah ingin menggulirkan BBG seiring dengan program pembatasan BBM, maka akan sangat pas," katanya.
Menurut Harun, saat ini Pertamina sudah memiliki strategi baru dalam penyediaan BBG. Sebelumnya, penyediaan BBG membutuhkan infrastruktur pipa untuk penyalurannya. Tapi, kini Pertamina sudah mengembangkan konsep mother daughter dengan cara pengangkutan melalui tanki. "Nantinya, tanki BBG tinggal ditempatkan di SPBU dan ditambah dispenser saja, jadi tidak terlalu sulit," terangnya.
Namun, Harun mengakui, sukses tidaknya BBG memang akan sangat tergantung pada ketersediaan converter kit, dan hal itu berada di luar jangkauan Pertamina yang tuganya memang hanya menyediakan BBG. "Karena itu, kalau pemerintah ingin memberi insentif, itu bisa dalam bentuk converter kit, agar produknya mudah didapat dan harganya terjangkau," jelasnya. (sof/owi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Batas Barang Bawaan Maksimal RM 600
Redaktur : Tim Redaksi