Populasi vertebrata termasuk gajah Afrika, harimau Sumatra, dan hewan khas Australia Quoll, telah mengalami penurunan hampir 60 persen dalam 40 tahun terakhir.
Laporan World Wildlife Fund (WWF) bertajuk Living Planet Report menyebutkan, kondisi lingkungan dunia menyebabkan penurunan populasi vertebrata ini.
BACA JUGA: Sapi Raksasa di Australia Ini Tidak Jadi Dipotong Karena Terlalu Besar
Laporan itu mengamati tren populasi dari 4.000 spesies hewan berdasarkan data dari Zoological Society of London, International Union for the Conservation of Nature dan lainnya.
Pembukaan lahan untuk peternakan dan pertanian disebut sebagai penyebab utama. Mencakup wilayah pesisir timur Australia, Amazon, Lembah Kongo, Sumatra dan New Guinea.
BACA JUGA: Pemegang Paspor Australia Akan Dimudahkan Masuk ke Inggris
Menurut CEO WWF Dermot O'Gorman, meningkatnya pembukaan lahan di Australia menyebabkan koala terancam punah di New South Wales dalam waktu 30 tahun.
Menurut dia, kita tidak akan menyangka Australia masuk 11 besar deforestasi di dunia. "Nasib koala merupakan salah satu konsekuensinya," ujar O'Gorman.
BACA JUGA: Baru Terbang 2 Bulan, Pesawat JT 610 Diduga Alami Masalah Teknis
Pembukaan lahan kini meningkat juga di Queensland sejak UU tahun 2013 membolehkan. Tercatat sedikitnya 1 juta hektar lahan telah dibuka sejak itu.
Menurut Dr Valentina Mella dari University of Sydney, faktor kemarau dan penyakit turut mempengaruhi populasi koala.
"Saya tidak terlalu optimis dengan masa depan koala," ujarnya.Membalikkan keadaan Photo: Hewan seperti Harimau Sumatra mampu berkembang biak jika "dibiarkan" oleh manusia. (Supplied: Matthew Scott Luskin )
Laporan WWF mencatat bahwa terjadinya penurunan 83 persen populasi air tawar sejak tahun 1970. Daerah tropis merupakan wilayah paling terpukul.
Untuk membalikkan keadaan, O'Gorman menyarankan perlunya kita menghargai sumber daya alam.
"Kita telah kehilangan 20 persen Amazon dalam 50 tahun terakhir," kata O'Gorman.
Selain itu, katanya, lebih dari 50 persen karang air dangkal telah menghilang dalam 30 tahun.
WWF mencatat sekitar 22 persen habitat hewan telah menghilang sejak tahun 1970.
Selain itu, diperkirakan 90 persen burung-burung laut memiliki serpihan plastik dalam perut mereka.
Dikatakan, populasi lima kelompok taksonomi, yaitu burung, mamalia, amfibi, karang dan sikas mengalami penurunan.
Namun kabar baiknya, kata O'Gorman, yaitu kita mengetahui adanya ancaman tersebut dan ada solusi yang bisa dilakukan.
"Kita melihat di Nepal misalnya, jumlah meningkat harimau hampir dua kali lipat melalui upaya pemerintah dan masyarakat dalam melindungi mereka," katanya.
WWF mencatat hilangnya habitat, eksploitasi berlebihan, perubahan iklim, polusi, dan spesies invasif merupakan ancaman utama hilangnya hutan dan keanekaragaman hayati.
Khusus di daerah tropis, penebangan hutan untuk perkebunan sawit telah menghilangkan habitat besar hewan di Asia Tenggara.
Namun program pembangunan yang terpadu juga merupakan ancaman bagi lingkungan.
Proyek ambisius "Belt and Road" dari China melibatkan konstruksi infrastruktur besar-besaran di Eropa, Asia dan Afrika.
Proyek ini mengembangkan jalur perdagangan laut dan darat dari China melalui negara-negara yang mencakup sekitar separuh populasi dunia.
Chian menyebut proyek infrastruktur berbiaya 5 triliun dolar ini dilaksanakan menurut standar ekologis yang ketat.
Namun kritikus menuding proyek infrastruktur China ini hanya akan merusak lingkungan.
Sebagai contoh, pembangunan Bendungan PLTA di Sumatra - proyek yang didukung China - diperkirakan akan membanjiri habitat orangutan yang nyaris punah.
Hal itu disimpulkan dari penelitian Bill Laurance dari James Cook University.
Diterbitkan oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC Australia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tony Abbott Klaim Nauru Tempat Yang Sangat Menyenangkan Bagi Pencari Suaka