jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto minta PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengedepankan pendekatan permintaan pasar (demand driven) dalam penyusunan strategi kelistrikan nasional dalam dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang saat ini tengah digodog.
"PLN harus total dan fokus melaksanakan program-program pemerataan listrik untuk menghapus ketimpangan listrik nasional," kata Mulyanto dalam keterangan resminya di Jakarta, Senin (22/3).
BACA JUGA: PLN Siap Optimalkan Pemanfaatan FABA untuk Ciptakan Peluang Bagi UMKM
Dia menyebutkan, pemerataan listrik ini adalah soal keadilan sosial. Mulyanto mengingatkan, negara harus menegakkan keadilan listrik bagi seluruh rakyat Indonesia, sesuai dengan fungsi negara yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.
"Yakni melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum sebagai wujud dari keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," jelas Mulyanto.
BACA JUGA: PLN Suplai Satu Juta Volt untuk Sentra Vaksinasi Bersama
Wakil Ketua FPKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan itu meminta pemerintah bersungguh-sungguh menuntaskan masalah keadilan pasokan dan permintaan listrik ini.
Dia menilai sangat tidak adil, pada usia 75 tahun kemerdekaan, namun masih ada ratusan desa yang gelap-gulita, bahkan kita masih mengimpor listrik dari negeri tetangga. Padahal, lanjut Mulyanto, terjadi kelebihan pasokan listrik lebih dari 30 persen.
BACA JUGA: Siap-siap! 6,1 Juta Pelanggan PLN Jabar Segera Terima Keringanan Tarif Listrik
"Seperti pepatah, tikus mati di lumbung padi. Ini adalah sebuah ironi, yang memprihatinkan," singgung politisi senior PKS itu.
Mulyanto menyayangkan saat ini masih ada pihak yang ngotot meneruskan proyek pembangkit 35 ribu MW. Dia menilai harusnya ada renegosiasi dan menghentikan program pembangunan pembangkit 35 ribu MW.
"Program tersebut menyedot anggaran PLN dan tidak diperlukan," papar dia.
Mulyanto mendorong pemerintah dan PLN mengalihkan sumber daya yang ada untuk fokus pada program peningkatan elektrifikasi nasional, khususnya di wilayah Indonesia Timur.
Dia mengatakan juga berbagai program penambahan pembangkit, transmisi, distribusi termasuk subsidi bagi pemasangan listrik untuk pelanggan rumah tangga baru harus menjadi fokus prioritas untuk menggenjot program ini.
"Jangan membiarkan jurang ketimpangan listrik ini semakin menganga dalam dan melukai rasa keadilan nasional kita," tegas Mulyanto.
Untuk diketahui, di Jawa-Bali misalnya, ungkap Mulyanto, tingkat elektrifikasi sudah mendekati angka 100 persen. Namun, di wilayah Indonesia bagian Timur seperti Papua, Papua Barat, Maluku, Nusa Tenggara Timur (NTT), Kalimantan Barat dan banyak daerah lainnya tingkat elektrifikasi ini masih jauh di bawah angka 90 persen.
Menukil laporan Dirjen Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI kata dia, sedikitnya ada 433 desa yang masih belum teraliri listrik.
Rumah Tangga (RT) yang sudah teraliri listrik sebanyak 74,5 juta RT atau 97 persen dari total RT secara nasional, yang sejumlah 77 juta RT.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020 menyebutkan, ada 98,9 persen rumah tangga secara nasional menggunakan listrik, baik dari PLN atau non-PLN. Sedangkan di Papua rasio penggunaan listrik di tingkat rumah tangga adalah yang terendah, hanya 73.8 persen.
“Artinya, masih banyak rumah tangga dan saudara-saudara kita di daerah itu yang tidak dapat menikmati listrik," tukas Mulyanto.
Padahal PLN berjanji bahwa 17 Agustus 2020, tingkat elektrifikasi secara nasional akan mencapai angka 100 persen. “Namun, nyatanya sampai hari ini, lebih dari setengah tahun, janji itu masih tinggal janji,” kata Mulyanto.
Mulyanto mendesak pemerintah, pada 17 Agustus 2021 atau selambat-lambatnya 2021 harus dijadikan momentum untuk mendeklarasikan, bahwa bumi Indonesia merdeka dari kegelapan listrik. (mcr10/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robia