JAKARTA- Dasar hukum pengenaan pajak terhadap alat-alat berat mengandung kelemahan atau cacat hukum. Hal itu diakui para ahli yang diajukan pemerintah dalam sidang uji materi Pasal 1 angka 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (4), dan Pasal 12 ayat (2) UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terkait pengenaan pajak terhadap alat-alat besar dan alat-alat berat di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (17/4).
Ahli pemerintah dari Prof. Robert Simanjuntak dalam sidang di MK, kemarin, mengatakan kalaupun ada masalah dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 terkait pengenaan pajak atas alat-alat besar dan alat-alat berat, hal itu dikarenakan masalah nomenklatur semata. Namun, bukan pada persoalan perlunya pengenaan pajak terhadap alat-alat berat.
“Kalaupun ada masalah dalam UU itu, itu hanya masalah nomenklatur saja, bukan pajak kendaraan bermotor, tapi pajak alat berat,” kata Robert Simanjuntak.
Ahli pemerintah lainnya, Hefrizal Handra mengatakan sesungguhnya pengenaan pajak terhadap alat-alat berat tidak melanggar konstitusi. Aturan terkait pengenaan pajak alat-alat berat oleh UU Nomor 28 Tahun 2009 sudah sesuai dengan prinsip-prinsip perpajakan. Namun, hanya aspek keadilan horizontal yang terganggu akibat pengenaan pajak tersebut. Hal itu tidak terlepas dari adanya penyerahan kewenangan dari pusat kepada daerah untuk mengatur sendiri pengenaan pajak alat-alat berat seiring perkembangan otonomi daerah. “Hanya aspek keadilan horizontal yang terganggu,” katanya.
Menanggapi keterangan kedua ahli pemerintah ini, kuasa hukum pemohon, Ali Nurdin mengatakan sesungguhnya keterangan kedua saksi pemerintah semakin menegaskan bahwa ada persoalan terkait dasar hukum pengenaan pajak terhadap alat-alat berat dan alat-alat besar yang dimasukkan dalam kategori kendaraan bermotor.
Meski keduanya tetap berpandangan bahwa pajak terhadap alat-alat berat tetap diperlukan. Dan, para pemohon sesungguhnya tidak masalah jika alat-alat berat dan alat-alat besar dikenakan pajak.
“Pada prinsipnya kami dari para pemohon, pemilik alat berat, tidak ada masalah adanya penarikan pajak dalam hal apapun, hanya aturan mainnya harus benar, dasarnya harus benar. Jangan sampai dasarnya tidak ada,” kata Ali Nurdin.
Menyoal keterangan ahli pemerintah Hefrizal Handra terkait adanya gangguan terhadap keadilan horizontal atas wajib pajak alat-alat berat, Ali Nurdin menegaskan sesungguhnya hal itu semakin menunjukkan bahwa UU Nomor 28 Tahun 2009 sudah tidak menjamin perlakuan yang sama, keadilan, serta kepastian hukum terhadap para wajib pajak.
Secara teknis, penarikan pajak alat berat telah mengakibat perlakuan yang berbeda kepada para pemilik alat berat di satu daerah dengan daerah lainnya. Begitu pula perlakuan berbeda antara pemilik alat berat di sektor pertambangan dengan pemilik alat berat di sektor jasa konstruksi.
“Prinsipnya, aturan ini bertentangan dengan konstitusi. Jangan lupa, kita punya konstitusi, kita punya jaminan perlakuan yang sama, jaminan keadilan, dan kepastian hukum. Mengganggu keadilan horizontal itu kan tetap ketidakpastian hukum namanya. Itu kan membuktikan adanya ketidakpastian hukum, kalau ada kepastian kan tidak ada gangguan,” katanya.
Terpisah, Kepala Cabang III PT PP (Persero) Tbk. Hadjar Seti Adji selaku ahli pemohon mengatakan akan terjadi ekonomi biaya tinggi apabila alat berat dikenakan pajak kendaraan bermotor. Pengenaan pajak baru pada alat berat tentu akan menaikkan biaya konstruksi. Hal tersebut kemudian dipastikan akan menaikkan biaya investasi yang berdampak pada menurunnya kapasitas pembangunan infrastruktur.
Di sisi lain, dalam Prioritas Pembangunan Infrastruktur dan Energi 2012, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BPPN) mencatat kebutuhan infrastruktur sebesar Rp 1,423 triliun. Sedangkan, kemampuan pemerintah hanya Rp 451 triliun atau 31 persen saja. Sehingga, ada gap sebesar Rp 978 triliun atau 69 persen yang diharapkan dapat didanai melalui investasi oleh swasta atau pengusaha.
“Pengenaan pajak terhadap alat berat sangat tidak mendukung jasa konstruksi yang kini menjadi konsern pemerintah. Pajak ini tentu akan menaikkan jasa konstruksi, menaikkan biaya investasi, yang nantinya tentu akan berdampak pada penurunan kapasitas pembangunan secara nasional,” ujarnya. (sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Garam Ditarget 907 Ribu Ton
Redaktur : Tim Redaksi