jpnn.com, DHAKA - Maimuna tak bisa membendung air mata saat ditanya apakah ingin pulang atau tidak. Dia galau. Di satu sisi, dia ingin sekali pulang ke kampung halamannya di Myanmar.
Tapi, di pihak lain, perempuan 50-an tahun itu juga takut luar biasa menghadapi kekejian tentara Myanmar.
BACA JUGA: Ke Sri Lanka, Jokowi Awali Lawatan ke 5 Negara Asia Selatan
Karena itu, saat ini dia hanya bisa pasrah. Jika diikutkan gelombang repatriasi, dia ikut pulang. Tapi, jika tidak, dia tetap tinggal di kamp pengungsian Bangladesh.
’’Saya sangat ingin kembali ke Myanmar hanya jika di sana ada kedamaian,’’ terangnya sebagaimana dilansir Reuters.
BACA JUGA: Pengungsi Rohingya Ngotot Menolak Dipulangkan ke Myanmar
Belum diketahui kapan repatriasi atau pemulangan kembali itu terlaksana. Pemerintah Bangladesh belum menentukan tanggal setelah kegagalan pemulangan gelombang pertama Selasa (23/1).
Tapi, tetap saja, ada atau tidak ada tanggal yang pasti, kata repatriasi itu sudah membuat pengungsi Rohingya ketir-ketir.
BACA JUGA: Rakhine Kembali Panas, Tujuh Demonstran Tewas Didor Aparat
Badan Pengungsi PBB UNHCR dan beberapa lembaga HAM lainnya mendesak pemerintah Myanmar dan Bangladesh meninjau ulang keputusan untuk merepatriasi para pengungsi. Sebab, peluang penduduk dipulangkan paksa cukup besar.
Pergolakan kini terjadi di kamp-kamp pengungsian. Beberapa penduduk menyatakan mendapat ancaman dari tentara Bangladesh jika tak mau dipulangkan. Yaitu, kartu yang diberikan oleh Badan Pangan PBB (WFP) untuk mengambil jatah bantuan pangan akan disita.
Bukan hanya itu, dua pemimpin Rohingya di kamp-kamp pengungsian juga diserang. Salah satunya Mohammad Yusuf yang tewas ditembus peluru akhir pekan lalu. Pria 35 tahun tersebut diserang oleh orang yang menentang repatriasi.
Kepala UNHCR Filippo Grandi menegaskan, banyak masalah yang seharusnya dibahas dan selesai sebelum repatriasi dilakukan. Salah satunya kepastian bahwa penduduk bakal mendapat kewarganegaraan.
Mereka juga ingin mendapatkan akses sebesar-besarnya untuk memantau proses repatriasi. Saat ini pergerakan UNHCR, media, dan berbagai lembaga kemanusiaan internasional di Myanmar sangat dibatasi sehingga tidak mungkin melakukan pengawasan.
Hal senada dipaparkan utusan khusus PBB untuk masalah HAM Yanghee Lee. Kepastian tempat tinggal bagi pengungsi yang direpatriasi itu belum ada.
’’Mereka seharusnya tidak disuruh tinggal di lokasi yang mirip kamp lagi,’’ terang Lee saat diwawancarai Al Jazeera.
Saat pulang ke Myanmar, mereka memang akan ditempatkan di kamp-kamp sementara dulu sembari menunggu pembangunan permukiman.
Nah, membangun ulang permukiman itu bukan hal kecil yang bisa dilakukan satu atau dua bulan. Banyak pihak yang menilai penundaan repatriasi pengungsi adalah hal baik.
Human Rights Watch (HRW) bahkan menginginkan repatriasi dihentikan secara keseluruhan karena mengancam keamanan pengungsi. Setali tiga uang, pemerintah Amerika Serikat (AS) berpendapat serupa.
’’Orang tidak boleh dipaksa pulang ketika mereka merasa tidak aman,’’ tegas Juru Bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Heather Nauert.
Beberapa pengamat menilai, Bangladesh tergesa-gesa memulangkan para pengungsi karena merasa terbebani. Jika ditotal secara keseluruhan, pengungsi Rohingya di Bangladesh sekitar satu juta orang.
Mereka tentu saja membebani pemerintah. Sebab, bantuan dari berbagai lembaga internasional hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar para pengungsi. Sedangkan pengobatan, infrastruktur, dan berbagai hal lainnya harus ditanggung sendiri oleh Bangladesh. (sha/c19/dos)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Myanmar Bakal Tampung Rohingya di Kamp Repatriasi
Redaktur & Reporter : Adil