jpnn.com - JAKARTA – Makin banyak lembaga survei merilis opini publik yang diambil berdasarkan metodologi akademis sebagai alat ukur. Cara itu dilakukan agar hasil survei dinilai tepat untuk mengetahui tingkat popularitas figur tertentu dan parpol di mata masyarakat.
Namun pengamat politik dari Universitas Jayabaya, Igor Dirgantara, menyayangkan pemaparan hasil survei berbagai lembaga itu yang terkesan menggiring opini publik. "Ada semacam hegemoni opini, bahwa figur tertentu adalah layak dan pasti menang, dan figur lainnya tidak layak dan pasti kalah," ujar Igor saat berbincang dengan wartawan di Jakarta, Selasa (24/12).
Dia menambahkan, tak ada satu pun lembaga survei mau mengungkapkan berasal dari mana dana yang mereka peroleh dalam melaksanakan dan mempublish hasil survei tersebut. "Artinya, kurangnya tranparansi lembaga survei terkait penerimaan dana riset masih menjadi masalah utama objektivitas hasil survei tersebut," kata Igor.
Menurutnya, mereka biasanya berlindung di balik prinsip anonimitas sehingga lembaga survei tak bisa memberitahu kepada publik siapa penyandang dananya. "Hal ini mirip dengan profesi kedokteran yang melindungi kerahasiaan pasiennya," tukasnya.
Selain itu, penggiringan opini publik terkait hasil survei bisa dilakukan mengingat adanya bandwagon effect . Ini bisa mengarah figur-figur tertentu yang selalu menempati posisi nomer satu dari hasil-hasil survei terakhir.
"Celakanya ada lembaga survei melakukan dua kaki. Kaki yang satu untuk menggelar survei beneran, dan kaki yang lain untuk pendampingan (konsultan) pemenangan. Dari sini sudah terlihat bahwa ada beberapa lembaga survei yang tidak mengedepankan independensinya," ungkap Igor yang juga dosen FISIP Universitas Jayabaya itu.
Padahal, kata Igor, pertarungan dalam Pemilu 2014, lebih merupakan pertarungan antara para elite politik di belakang layar, ketimbang hasil survei semata. Dengan kata lain, manuver, strategi, dan pilihan elite-elite partai sering lebih menentukan pasca Pemilu Legislatif atau jelang pemilu presiden yang akan menembus batas atas sekat-sekat hasil survei.
"Para elit partai bahkan meluaskan dukungannya lewat praktek money politic. Biasanya manuver elite politik ini sangat fleksibel, terbuka, dan variatif tergantung kebutuhan dan kepentingannnya," pungkasnya. (ind)
BACA JUGA: KPU Luncurkan Sistem Informasi Logistik Pemilu
BACA JUGA: Jelang Pipres, Lembaga Survei jadi Alat Politik
BACA JUGA: RUU Pemekaran Inisiatif DPR Bertambah, Total 87
BACA ARTIKEL LAINNYA... Manfaatkan Masa Reses untuk Sosialisasikan UU Desa
Redaktur : Tim Redaksi