Lemsaneg: Pejabat Tak Mau Pakai Telepon Aman

Sabtu, 23 November 2013 – 06:08 WIB

jpnn.com - JAKARTA-Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) mengaku telah membagikan pesawat telepon yang telah dilengkapi dengan enkripsi untuk komunikasi dinas pada seluruh pejabat negara, mulai presiden, menteri, dirjen, hingga gubernur dan bupati. Namun, banyak pejabat yang tidak mau menggunakan telepon tersebut dengan alasan tidak nyaman atau malas.

"Ada kepala kejaksaan tinggi yang telepon amannya justru disimpan di dalam kotak dan digembok. Padahal, di telepon itu hanya butuh menekan satu tombol saja untuk masuk ke jaringan yang aman dan kembali ke mode biasa," kata Kepala Lemsaneg Mayjen TNI Djoko Setiadi di kantornya kemarin (22/11).

BACA JUGA: Kubu Machfud Siap Ajukan Pembuktian Terbalik

Terkait keluhan Menkominfo Tifatul Sembiring yang menyatakan tidak semua pejabat mendapatkan telepon aman, Djoko mengakui Lemsaneg sedang melakukan inventarisasi telepon aman di seluruh kantor pemerintahan.

"Kalau anggarannya mencukupi, seluruh istri pejabat juga bisa saja diberikan fasilitas telepon aman. Tapi silakan tanya dulu, telepon amannya dipakai enggak?" katanya.

BACA JUGA: Hanya 20 Persen PNS Berkualitas

Pokok permasalahan sebenarnya pada rendahnya pemahaman terhadap keamanan informasi yang belum dipahami seluruh pejabat negara. Padahal, sebelum menduduki jabatannya, seluruh pejabat pasti mendapat pengarahan tentang pentingnya keamanan informasi yang terkait dengan jabatannya.

"Ada calon dubes yang menolak datang ke Lemsaneg untuk briefing pengamanan data. Setelah menjabat, rumahnya kecurian, uangnya utuh tapi laptopnya hilang,"  terang Djoko.

BACA JUGA: Machfud Minta KPK Cabut Pemblokiran Hartanya

Lemsaneg sejak pendiriannya juga melakukan pengamanan informasi di seluruh kedutaan besar dan kantor perwakilan di luar negeri. Secara rutin, Lemsaneg melakukan eksaminasi terhadap benda-benda yang dapat digunakan untuk menyadap pembicaraan di gedung kedutaan besar.

Dalam eksaminasi tersebut, kerap ditemukan alat-alat yang sepertinya biasa, namun ternyata dipasangi transmitter sehingga dapat memancarkan pembicaraan di dalam gedung kedutaan.

Dia mencontohkan, ada gedung kedutaan di negara yang transmitter-nya dipasang di alarm pemadam kebakaran. Ada pula transmitter yang dipasang di handle pintu ruang kerja duta besar, saklar listrik, ditanam di dalam meja kayu, hingga ditanam dalam plafon beton di atas meja kerja duta besar.

"Untuk handle pintu itu, kita beli alat yang sama, kita timbang ternyata beratnya beda. Setelah kita bongkar, ketahuan ada transmitter kecil. Namun, kita tidak tahu siapa yang memasang, siapa yang mengoperasikan, karena bisa saja bukan negara tuan rumah kedutaan yang memasang alat-alat penyadap itu," terangnya.

Upaya untuk memasang alat-alat penyadapan tersebut juga bermacam-macam. Salah satu insiden yang terkenal adalah pengiriman serbuk yang tidak diketahui ke gedung kedutaan besar Indonesia di suatu negara di bagian selatan Indonesia. Serbuk tersebut dikhawatirkan bom kertas, sehingga otoritas keamanan negara tersebut meminta seluruh pegawai kedutaan keluar dari gedung kedutaan.

Setelah kejadian itu, Lemsaneg menemukan transmitter baru yang dipasang di dalam komplek kedutaan. "Praktek penyadapan memang lumrah terjadi dalam tata krama diplomatik. Ibaratnya, silakan mencuri asal tidak ketahuan, sebab kalau ketahuan tanggung sendiri risikonya," kata Djoko.

Lemsaneg juga mengimbau lembaga-lembaga yang menerima hibah alat-alat yang memancarkan sinyal elektronik atau terhubung dengan internet meminta bantuan Lemsaneg untuk memeriksa apakah ada program yang yang digunakan pihak donor untuk mengorek informasi rahasia.

Dia mencontohkan komputer hibah dari satu negara di Eropa untuk pemerintah Jogjakarta dan komputer bantuan sebuah negara di Asia untuk pusat kendali data terorisme di Batam ditengarai tidak bersih.

"Kita punya kemampuan untuk mengetahui apakah ada program back door di dalam alat-alat hibah itu. Tujuan hibah bisa saja membantu, tapi ada program back door yang memantau pergerakan alat tersebut," terangnya.

Djoko menegaskan, tugas pengamanan data di kedutaan besar di luar negeri dilakukan oleh sandiman tingkat tiga yang keahlian dan kesetiaannya tidak diragukan lagi. Kendalanya, Lembaga Sandi Negara hanya mampu merekrut maksimal 40 orang setiap tahun untuk dididik menjadi sandiman.

"Jumlah itu belum termasuk yang dikeluarkan di tiap semester karena indeks prestasi kumulatifnya tidak memenuhi ketentuan yang ditetapkan," terangnya.

Selain menanggulangi penyadapan suara, teks, gambar, dan video, Lemsaneg juga memperkuat kunci-kunci enkripsi dalam pengiriman data. Bisa saja pesan yang sudah dienkripsi tersebut disadap, namun butuh waktu minimal 3 bulan untuk memecahkan kodenya.

Ketika itu, informasi tersebut mungkin sudah tidak penting lagi. Sementara, pada saat yang sama, Lemsaneg sudah mengganti kunci enkripsi sehingga kembali tidak bisa dipecahkan dengan kunci kode yang sudah diketahui lawan. (noe)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemda Desak Menteri Loloskan Seluruh Honorer K2


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler