Bagi olahraga yang membutuhkan akurasi pukulan dan sasaran, rasanya mustahil melatih golf kepada tunanetra. Namun, Yi Cong Gi alias Leo membuktikan, jika ada niat kuat, semua bisa dilakukan. Dia bahkan siap melatih secara sukarela.
---------------------------------------------------
RIDLWAN HABIB, Jakarta
-------------------------------------
"PEGANG pinggang saya. Jangan aragu-aragu," kata Leo dengan bahasa Indonesia yang masih terbata-bata. Yang dimaksud aragu-aragu tentu kata ragu-ragu. Saat ditemui Jawa Pos Rabu (26/6), dia sedang melatih. Tangannya memegang stik golf dan siap memukul bola.
Yang diperintahnya adalah Aria Indrawati, seorang gadis tunanetra yang dengan bersemangat lantas menuruti aba-aba. "Nah, rasakan ya, lalu sekarang pegang kepala, leher ya, leher," kata Leo lagi. Dia sengaja belum memukul dan hanya berayun-ayun. Aria lalu meraba-raba gerakan leher Leo.
"Oke, sekarang mundur ya. Saya akan pukul," perintah Leo. Aria mundur dua langkah dan wuuts, ayunan stik Leo mantap menyasar bola. Suaranya keras dan begitu terkena screen golf langsung otomatis terbaca kecepatannya, jarak dan akurasinya.
Begitulah cara Leo mendidik Aria dan Juwita, dua muridnya dari Yayasan Mitra Netra. Dengan instruksi suara sekaligus kontak tubuh langsung. Setelah memberi contoh, dia meminta Aria memukul.
Tanpa segan tangan Leo membengkok-bengkokkan pinggang Aria. Kakinya sesekali menendang telapak sepatu untuk memastikan lebar jarak yang tepat. Kepala Aria juga harus rela diputar-putar Leo. "Oke, yang lemas. Sekarang ayun dan pukul!" perintahnya.
"Cetakk!" Pukulan Aria mantap juga. Bola melambung cukup keras. Di layar terbaca kecepatannya 90 meter per detik, tapi arahnya masih melenceng dari lubang sasaran. "Tidak apa-apa, yang penting back swing-nya sudah benar. Ayunan pinggang," kata Leo sembari menggoyang-goyang pinggang.
Leo sudah dua tahun bermukim di Indonesia. Dia mendirikan Power Golf Academy di Ruko Pinangsia, Karawaci, sekitar 40 menit di barat daya Jakarta. Murid Leo berasal dari para profesional, terutama jejaring ekspatriat asal Korea Selatan yang tinggal di Jakarta. Nah, khusus hari Rabu dia meluangkan waktu sehari penuh untuk melatih Aria dan Juwita. "Ada satu lagi teman kami, namanya Deni, tapi hari ini sedang sakit," kata Aria sembari mengelap keringat yang bercucuran di mukanya.
Aria sudah tujuh bulan dilatih Leo. Mulai nul putul. "Saya memegang stik dan bola golf ya baru di tempat Pak Leo ini," kata alumnus Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Solo itu.
Awalnya Yayasan Mitra Netra tempat para tunanetra mengembangkan diri kedatangan tamu bernama Lee sekitar akhir November 2012. Dia adalah kenalan salah seorang aktivis di Mitra Netra. "Rupanya, Pak Lee ini diminta Pak Leo mencari murid tunanetra yang mau dilatih golf," kata Aria yang juga menjabat public relation manager di Mitra Netra.
Sebelum ke Mitra Netra, Leo dan Lee sudah berkeliling ke mana-mana mencari murid. Tapi, tak ada yang mau. "Beberapa organisasi tunanetra sudah diajak, tapi banyak yang takut. Juga mereka mengira harus membayar. Golf kan kesannya elite dan mahal," beber Aria.
Setelah diyakinkan Lee, Aria pun mau mencoba-coba. Apalagi setelah tahu mereka berlatih menggunakan golf simulator dalam ruangan dan tidak langsung menjajal lapangan rumput. "Saya awalnya juga takut, nanti kalau stiknya patah bagaimana," katanya disambut tawa Leo.
Leo sudah mengajar golf profesional di Seoul, Korea Selatan, selama belasan tahun. Pada 2005 dia menjadi pemandu mendaki gunung bagi tunanetra di Seoul. "Saya lalu ajak mereka main golf. Tapi, banyak yang tarakut-tarakut (takut-takut) ya," kata Leo yang kosakata bahasa Indonesianya masih terbatas.
Setelah diyakinkan, 12 orang bersedia belajar. Hebatnya, belum sampai dua bulan berlatih, mereka sudah berani ikut kompetisi blind golf di Jepang dan meraih piala sebagai runner-up. "Waktu itu di Korea belum ada golf untuk orang buta. Jadi harus ke Jepang kalau bertanding," ungkapnya.
Kemenangan tersebut menjadi sarana promosi Leo menggaet lebih banyak murid. "Saat saya pergi ke Indonesia, murid di sana ada 60 orang. Sekarang masih berlatih," katanya.
Menurut Leo, golf bisa dimainkan siapa saja. Termasuk mereka yang sama sekali tak bisa melihat. "Sendi manusia ada sekitar 256 buah. Sama, orang normal dan orang buta. Jadi, golf ini soal keterampilan sendi," paparnya sambil memutar-mutar pergelangan tangan seperti penari.
Leo memang ekspresif dan ramah. Suaranya keras dan kalau tertawa lepas. "Kalau melatih tunanetra, suara harus keras. Mereka bisa tahu dari perintah suara," jelasnya.
Kunci sukses main golf, lanjut Leo, adalah pinggang yang lentur, ayunan tangan yang tepat, dan posisi kepala yang benar. Kombinasi pinggang, tangan, dan kepala yang baik akan menghasilkan pukulan yang mantap. Soal akurasi ke arah lubang target (hole), kata Leo, seiring dengan jam terbang akan menyesuaikan. "Kuncinya harus lemas ya, lemas, lemas," katanya, lagi-lagi sambil berdiri dan mengayun-ayun pinggang.
Menurut Aria, latihan kali pertama memang tak langsung memukul. Tapi hanya memutar-mutar pinggang, siku, dan pergelangan tangan. "Kalau postur sudah benar, nanti pukulan mengikuti," ucapnya.
Jika orang normal bisa tahu arah bola dan hasil pukulannya, bagi tunanetra, itu dideteksi dari suara. "Saya bisa tahu bagus atau tidak pukulannya dari suara ayunan stik bertemu bola dan saat bola kena screen," terangnya.
Leo selalu memotivasi muridnya agar tak patah semangat berlatih golf. "Tidak ada kata tidak bisa. Harus bisa ya," tutur pria yang putranya berkuliah di Universitas Pelita Harapan itu. Istri Leo tinggal di Batam, sedangkan anak bungsunya masih di Seoul.
Kenapa Leo mau susah-susah melatih tunanetra bermain golf" Dia tampak kebingungan menjawab. Rupanya, dia sedang mencari kata yang pas dari bahasa Korea ke bahasa Indonesia. Tangannya merogoh kamus elektronik di laci meja kerja. "Ah" charity.. charity," ujarnya.
Aria langsung menyambar. "Mungkin maksud Pak Leo pengabdian ya, semacam amal atau melayani dengan ikhlas," ucapnya. Leo mengangguk-angguk. "Ya, melayani itu tujuan saya," katanya.
Leo mengungkapkan, bisnis pemasangan alat simulator golf dalam ruangan sudah mencukupi untuk hidup di Indonesia. Dia juga mendapatkan fee dari melatih golf profesional. "Jadi, saya ingin menyenangkan tunanetra," tegasnya disambut senyum Aria dan Juwita.
Leo punya ambisi membentuk tim golf profesional dari kaum tunanetra di Indonesia. "Kalau bisa ada sepuluh orang," terang dia, "kita bisa ikut kompetisi dunia."
Bahkan, jika ada sponsor, Leo bermaksud membawa murid-muridnya ke Jepang untuk berlatih langsung di lapangan golf khusus bagi tunanetra. "Di Indonesia masih belum ada yang khusus untuk tunanetra. Tapi, nanti kami cari dulu murid-murid yang banyak," ucapnya.
Aria mengakui, minat teman-temannya untuk berlatih golf masih minim. "Memang ada beberapa lagi yang mau coba berlatih. Ya, kami akan coba ajak pelan-pelan."
Secara personal Aria mengaku banyak mendapatkan manfaat dari latihan yang dibimbing Leo. "Saya merasa lebih percaya diri," ungkapnya. Menurut Leo, wajah Aria juga tampak lebih segar. "Sekarang mereka ini ceria, tujuh bulan lalu tidak ceria," ujarnya lalu tertawa. (*/c9/kim)
---------------------------------------------------
RIDLWAN HABIB, Jakarta
-------------------------------------
"PEGANG pinggang saya. Jangan aragu-aragu," kata Leo dengan bahasa Indonesia yang masih terbata-bata. Yang dimaksud aragu-aragu tentu kata ragu-ragu. Saat ditemui Jawa Pos Rabu (26/6), dia sedang melatih. Tangannya memegang stik golf dan siap memukul bola.
Yang diperintahnya adalah Aria Indrawati, seorang gadis tunanetra yang dengan bersemangat lantas menuruti aba-aba. "Nah, rasakan ya, lalu sekarang pegang kepala, leher ya, leher," kata Leo lagi. Dia sengaja belum memukul dan hanya berayun-ayun. Aria lalu meraba-raba gerakan leher Leo.
"Oke, sekarang mundur ya. Saya akan pukul," perintah Leo. Aria mundur dua langkah dan wuuts, ayunan stik Leo mantap menyasar bola. Suaranya keras dan begitu terkena screen golf langsung otomatis terbaca kecepatannya, jarak dan akurasinya.
Begitulah cara Leo mendidik Aria dan Juwita, dua muridnya dari Yayasan Mitra Netra. Dengan instruksi suara sekaligus kontak tubuh langsung. Setelah memberi contoh, dia meminta Aria memukul.
Tanpa segan tangan Leo membengkok-bengkokkan pinggang Aria. Kakinya sesekali menendang telapak sepatu untuk memastikan lebar jarak yang tepat. Kepala Aria juga harus rela diputar-putar Leo. "Oke, yang lemas. Sekarang ayun dan pukul!" perintahnya.
"Cetakk!" Pukulan Aria mantap juga. Bola melambung cukup keras. Di layar terbaca kecepatannya 90 meter per detik, tapi arahnya masih melenceng dari lubang sasaran. "Tidak apa-apa, yang penting back swing-nya sudah benar. Ayunan pinggang," kata Leo sembari menggoyang-goyang pinggang.
Leo sudah dua tahun bermukim di Indonesia. Dia mendirikan Power Golf Academy di Ruko Pinangsia, Karawaci, sekitar 40 menit di barat daya Jakarta. Murid Leo berasal dari para profesional, terutama jejaring ekspatriat asal Korea Selatan yang tinggal di Jakarta. Nah, khusus hari Rabu dia meluangkan waktu sehari penuh untuk melatih Aria dan Juwita. "Ada satu lagi teman kami, namanya Deni, tapi hari ini sedang sakit," kata Aria sembari mengelap keringat yang bercucuran di mukanya.
Aria sudah tujuh bulan dilatih Leo. Mulai nul putul. "Saya memegang stik dan bola golf ya baru di tempat Pak Leo ini," kata alumnus Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Solo itu.
Awalnya Yayasan Mitra Netra tempat para tunanetra mengembangkan diri kedatangan tamu bernama Lee sekitar akhir November 2012. Dia adalah kenalan salah seorang aktivis di Mitra Netra. "Rupanya, Pak Lee ini diminta Pak Leo mencari murid tunanetra yang mau dilatih golf," kata Aria yang juga menjabat public relation manager di Mitra Netra.
Sebelum ke Mitra Netra, Leo dan Lee sudah berkeliling ke mana-mana mencari murid. Tapi, tak ada yang mau. "Beberapa organisasi tunanetra sudah diajak, tapi banyak yang takut. Juga mereka mengira harus membayar. Golf kan kesannya elite dan mahal," beber Aria.
Setelah diyakinkan Lee, Aria pun mau mencoba-coba. Apalagi setelah tahu mereka berlatih menggunakan golf simulator dalam ruangan dan tidak langsung menjajal lapangan rumput. "Saya awalnya juga takut, nanti kalau stiknya patah bagaimana," katanya disambut tawa Leo.
Leo sudah mengajar golf profesional di Seoul, Korea Selatan, selama belasan tahun. Pada 2005 dia menjadi pemandu mendaki gunung bagi tunanetra di Seoul. "Saya lalu ajak mereka main golf. Tapi, banyak yang tarakut-tarakut (takut-takut) ya," kata Leo yang kosakata bahasa Indonesianya masih terbatas.
Setelah diyakinkan, 12 orang bersedia belajar. Hebatnya, belum sampai dua bulan berlatih, mereka sudah berani ikut kompetisi blind golf di Jepang dan meraih piala sebagai runner-up. "Waktu itu di Korea belum ada golf untuk orang buta. Jadi harus ke Jepang kalau bertanding," ungkapnya.
Kemenangan tersebut menjadi sarana promosi Leo menggaet lebih banyak murid. "Saat saya pergi ke Indonesia, murid di sana ada 60 orang. Sekarang masih berlatih," katanya.
Menurut Leo, golf bisa dimainkan siapa saja. Termasuk mereka yang sama sekali tak bisa melihat. "Sendi manusia ada sekitar 256 buah. Sama, orang normal dan orang buta. Jadi, golf ini soal keterampilan sendi," paparnya sambil memutar-mutar pergelangan tangan seperti penari.
Leo memang ekspresif dan ramah. Suaranya keras dan kalau tertawa lepas. "Kalau melatih tunanetra, suara harus keras. Mereka bisa tahu dari perintah suara," jelasnya.
Kunci sukses main golf, lanjut Leo, adalah pinggang yang lentur, ayunan tangan yang tepat, dan posisi kepala yang benar. Kombinasi pinggang, tangan, dan kepala yang baik akan menghasilkan pukulan yang mantap. Soal akurasi ke arah lubang target (hole), kata Leo, seiring dengan jam terbang akan menyesuaikan. "Kuncinya harus lemas ya, lemas, lemas," katanya, lagi-lagi sambil berdiri dan mengayun-ayun pinggang.
Menurut Aria, latihan kali pertama memang tak langsung memukul. Tapi hanya memutar-mutar pinggang, siku, dan pergelangan tangan. "Kalau postur sudah benar, nanti pukulan mengikuti," ucapnya.
Jika orang normal bisa tahu arah bola dan hasil pukulannya, bagi tunanetra, itu dideteksi dari suara. "Saya bisa tahu bagus atau tidak pukulannya dari suara ayunan stik bertemu bola dan saat bola kena screen," terangnya.
Leo selalu memotivasi muridnya agar tak patah semangat berlatih golf. "Tidak ada kata tidak bisa. Harus bisa ya," tutur pria yang putranya berkuliah di Universitas Pelita Harapan itu. Istri Leo tinggal di Batam, sedangkan anak bungsunya masih di Seoul.
Kenapa Leo mau susah-susah melatih tunanetra bermain golf" Dia tampak kebingungan menjawab. Rupanya, dia sedang mencari kata yang pas dari bahasa Korea ke bahasa Indonesia. Tangannya merogoh kamus elektronik di laci meja kerja. "Ah" charity.. charity," ujarnya.
Aria langsung menyambar. "Mungkin maksud Pak Leo pengabdian ya, semacam amal atau melayani dengan ikhlas," ucapnya. Leo mengangguk-angguk. "Ya, melayani itu tujuan saya," katanya.
Leo mengungkapkan, bisnis pemasangan alat simulator golf dalam ruangan sudah mencukupi untuk hidup di Indonesia. Dia juga mendapatkan fee dari melatih golf profesional. "Jadi, saya ingin menyenangkan tunanetra," tegasnya disambut senyum Aria dan Juwita.
Leo punya ambisi membentuk tim golf profesional dari kaum tunanetra di Indonesia. "Kalau bisa ada sepuluh orang," terang dia, "kita bisa ikut kompetisi dunia."
Bahkan, jika ada sponsor, Leo bermaksud membawa murid-muridnya ke Jepang untuk berlatih langsung di lapangan golf khusus bagi tunanetra. "Di Indonesia masih belum ada yang khusus untuk tunanetra. Tapi, nanti kami cari dulu murid-murid yang banyak," ucapnya.
Aria mengakui, minat teman-temannya untuk berlatih golf masih minim. "Memang ada beberapa lagi yang mau coba berlatih. Ya, kami akan coba ajak pelan-pelan."
Secara personal Aria mengaku banyak mendapatkan manfaat dari latihan yang dibimbing Leo. "Saya merasa lebih percaya diri," ungkapnya. Menurut Leo, wajah Aria juga tampak lebih segar. "Sekarang mereka ini ceria, tujuh bulan lalu tidak ceria," ujarnya lalu tertawa. (*/c9/kim)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Berbahasa Jawa, Ganti Njur Ngopo Jadi So What
Redaktur : Tim Redaksi