BANDUNG - Ketua Komisi D DPRD Kota Bandung Achmad Nugraha mengaku kerap menerima keluhan orangtua murid terkait pungutan liar di tingkat sekolah dasar dan SMP. Modusnya macam-macam, mulai biaya fotokopi soal ujian hingga biaya tambahan belajar di luar jam sekolah (les).
“Belajar tambahan di luar jadwal sekolah pun ini harus jadi pengawasan. Masalahnya, setiap kegiatan tersebut pasti dimintai uang,” kata Achmad seperti diberitakan Bandung Ekspres (Grup JPNN).
Ia pun mengaku tidak habis pikir, sebab persoalan pungutan liar sudah dibahas antara DPRD dengan Dinas Pendidikan Kota Bandung. “Disdik bersama para kepala sekolah dan guru-guru harus melakukan evaluasi secara matang untuk menghilangkan kebiasaan melakukan pengutan liar yang menyengsarakan masyarakat kecil itu,” tegasnya.
“Namun, bila Disdik Kota Bandung tidak mampu mengatasi ini, kami yang akan mengevaluasi kinerja para kepala sekolah,” tambahnya.
Sebelumnya, ia juga menyoroti penjualan lembar kerja siswa (LKS) di setiap sekolah. Disinyalir, setiap sekolah di Kota Bandung melakukan praktik jual beli LKS terselubung. "Banyak masyarakat yang mengadu kepada kami terkait hal ini. Saya jamin hampir semua sekolah mempraktikan jual beli LKS," katanya.
Ahmad mengaku, tidak merinci sekolah-sekolah yang melakukan praktik jual beli LKS karena takut ditindak tidak mengakuinya. "Disdik harus secepatnya melakukan pengontrolan. Kita juga akan memanggil perwakilan kepala sekolah agar melaksanakan aturan secara baik," jelas Ahmad.
Menurut Ahmad, seharusnya guru lebih kreatif dalam membuat LKS sendiri. Jadi, setiap kegiatan belajar, guru bisa mempresentasikannya kepada siswa tanpa harus membelinya. "Ya, kalau satu atau dua lembar di foto kopi tidak jadi masalah," ujarnya.
Orangtua murid yang enggan dikorankan namanya mengaku, anaknya dipaksa membeli LKS oleh wali kelasnya. Ironisnya lagi, sang guru yang mengajar di Kecamatan Regol ini, menunjuk kan salah satu koperesi tempat membeli LKS.
“Ya kita diberitahunya beli LKS di koperasi yang ditunjukkan. Karena harga terbilang mahal, saya mencari ke toko lain hingga toko buku di Palasari tapi anehnya tidak ada seorang pedagang pun yang menjual LSK yang dimaksud,” ungkapnya.
Ia pun curiga, ada kongkalikong antara guru dengan pengurus koperasi yang ditunjuk sebagai penjual LKS. “Saya pun terpaksa membeli karena takuk ada diskriminasi guru kepada anak saya. Sebab, ketika anak saya motokopi LSK malah dimarahin dan wajib beli LKS asli di koperasi yang ditunjuk,” geramnya. (hen/adi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Nuh Tegaskan Uji Kompetensi Guru tak Tabrak Aturan
Redaktur : Tim Redaksi