jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat menyampaikan, RUU Masyarakat Hukum Adat sudah dibahas di Badan Legislasi (Baleg) DPR sejak September 2020, dan disepakati untuk dilanjutkan ke paripurna sebagai usulan DPR.
Keberadaan UU Masyarakat Hukum Adat merupakan pengakuan secara menyeluruh terhadap masyarakat adat sebagai bagian utuh dari kehidupan berbangsa.
BACA JUGA: Lestari Moerdijat: Empat Pilar Terbukti Mampu jadi Perekat Bangsa
"Tetapi hingga kini para pimpinan DPR belum juga merealisasikannya," kata Lestari Moerdijat saat membuka diskusi secara daring bertema Masyarakat Adat Indonesia Belum Merdeka yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (15/9).
Diskusi yang dimoderatori Drs. Luthfi A. Mutty, M.Si (Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI) itu dihadiri oleh Willy Aditya (Wakil Ketua Baleg DPR RI), Arimbi Heroepoetri, (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI), Abetnego Tarigan (Deputi II Kantor Staf Presiden) dan Kunthi Tridewiyanti (Wakil Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Adat) sebagai narasumber.
BACA JUGA: Lestari Moerdijat: Kedepankan Dialog untuk Solusi Konflik di Papua
Hadir juga RA Yani WSS Kuswodidjoyo (Sekjen Majelis Adat Kerajaan Nusantara/Pengageng Kesultanan Sumenep), Erasmus Cahyadi (Deputi Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara/AMAN) dan Atang Irawan (Pakar Hukum Tata Negara) sebagai penanggap.
Lestari menegaskan, konstitusi UUD 1945 secara jelas memuat, salah satu tujuan bernegara adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
BACA JUGA: Lestari Moerdijat: Bersatu Itu Penting untuk Hadapi Pandemi Covid-19
Sayangnya, lanjut dia, hingga kini masyarakat adat masih mengalami kesulitan dan keterbatasan dalam menjaga, mengelola dan mendapatkan wilayah adat mereka.
Tumpang tindihnya permasalahan keseharian yang dihadapi masyarakat adat, menurut anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, semakin menunjukkan urgensi RUU Masyarakat Hukum Adat untuk segera menjadi undang-undang.
Dia berharap, semua pihak, termasuk para pimpinan di parlemen, bergerak bersama untuk mewujudkan undang-undang masyarakat adat, sebagai upaya negara mewujudkan perlindungan bagi setiap warga negara Indonesia.
Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI Arimbi Heroepoetri mengungkapkan, konstitusi mengakui eksistensi masyarakat adat, terutama pada pasal 18 dan pasal 28 UUD 1945.
Amanat dalam konstitusi itu, jelas Arimbi, membutuhkan aturan turunan setingkat undang-undang yang mampu menerjemahkan mandat dari konstitusi tersebut.
Saat ini, kata Arimbi, masih ada istilah yang tumpang tindih terkait makna dari masyarakat adat itu sendiri.
Selain itu, tidak ada lembaga negara yang secara khusus menangani masyarakat adat. Kewenangan terkait pengaturan masyarkat adat bahkan tersebar di 13 lembaga negara.
Menurut Arimbi, pengakuan perlindungan hak-hak masyarakat adat diharapkan tidak datang dari negara semata, tetapi juga dari lembaga non-negara, seperti korporasi lembaga swasta lainnya.
Deputi II Kantor Staf Presiden Abetnego Tarigan berpendapat, banyak isu terkait masyarakat adat mencakup, seperti hak wilayah, spiritual, perempuan dan anak.
Sejumlah isu tersebut, ungkap Abetnego, banyak berkaitan dengan kepastian sosial dan ekonomi dari para pihak yang bersengketa dengan masyarakat adat.
Menurut Abetnego, saat pemerintah terus berupaya untuk memberi bantuan mengatasi berbagai masalah yang dihadapi masyarakat adat.
"Namun upaya-upaya yang dilakukan pemerintah itu hanya sebatas menghilangkan sumbatan-sumbatan di lapangan," ujarnya.
Abetnego menyampaikan, hingga saat ini presiden tidak memberi arahan untuk tidak membahas RUU Masyarakat Hukum Adat, sehingga dia berkesimpulan bahwa pemerintah mendukung pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat.
Wakil Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Adat Kunthi Tridewiyanti menegaskan, pihaknya sangat berkepentingan agar RUU Masyarakat Hukum Adat segera disahkan sebagai undang-undang.
Kehadiran undang-undang yang melindungi hak-hak masyarakat adat sangat penting, ujar Kunthi, karena ketidakadilan terhadap masyarakat adat terus terjadi dalam bentuk konflik horisontal dan vertikal.
Kunthi mengharapkan, kehadiran undang-undang masyarakat hukum adat menjadi payung hukum yang berkeadilan dan tidak justru mengukuhkan diskriminasi.
Wakil Ketua Baleg DPR RI Willy Aditya mengungkapkan, hambatan yang terjadi dalam proses pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat saat ini diduga disebabkan ada informasi yang disampaikan kepada presiden, bahwa UU Masyarakat Hukum Adat bertentangan dengan UU Cipta Kerja.
Dinamika politik dalam menghadirkan UU Masyarakat Hukum Adat, menurut Willy, memang tidak semudah kita melontarkan protes di jalan.
Jurnalis senior Saur Hutabarat berpendapat, ada dua hal yang menyebabkan RUU Masyarakat Adat tidak kunjung dibahas.
Pertama karena tiga surat yang disampaikan Baleg untuk meminta pimpinan DPR menggelar sidang paripurna mengesahkan RUU Masyarakat Hukum Adat sebagai usulan DPR, tidak pernah dijawab pimpinan DPR.
Kedua karena presiden tidak memberi arahan untuk tidak membahas.
"Dalam kaitan RUU Masyarakat Adat sejauh ini perintah konstitusi tidak dilaksanakan oleh DPR dan presiden," kata Saur. (mar1/jpnn)
Video Terpopuler Hari ini:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mbak Ririe Dorong Aplikasi PeduliLindungi Mampu Lacak Orang Terpapar Covid-19
Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Tim Redaksi, Sutresno Wahyudi