jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengatakan pemahaman masyarakat terkait kesetaraan gender sangat mempengaruhi sikap sejumlah pihak terhadap Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Dia menilai upaya peningkatan pemahaman kesetaraan gender dapat diwujudkan lewat pencapain target Sustainable Development Goals (SDGs).
BACA JUGA: Lestari: Data Tidak Memadai, Pengambilan Keputusan Salah
"Tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) harus dilihat secara holistik, sehingga sejumlah target, termasuk kesetaraan gender, dapat segera dicapai," kata Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertajuk Kesetaraan Gender Sebagai Bagian dari Cita-Cita Pembangunan Berkelanjutan, yang digelar oleh Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (4/8).
Diskusi yang dimoderatori oleh Arimbi Heroepoetri (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Komisioner KPI Pusat Mimah Susanti, Pakar dan Aktivis Gender Sugiarti, dan Akademisi - Dosen Hukum Pidana Elsa R.M Toule sebagai pembicara.
BACA JUGA: Masinton Berani Menohok Luhut Panjaitan, Menyebut Nama Kiai Said Aqil
Menurut Lestari, berbagai upaya harus dilakukan oleh para pemangku kepentingan dan segenap lapisan masyarakat dalam meningkatkan pemahaman masyarakat tentang kesetaraan gender.
"Apalagi, pemahaman kesetaraan gender di masyarakat Indonesia terbilang rendah," ucap Rerie -sapaan akrab Lestari.
BACA JUGA: Ruhut Bongkar Fakta Masinton Pernah Ditegur Pak Luhut, Effendi Simbolon Pengin jadi Menteri
Hal itu menurutnya diindikasikan dengan berlarut-larutnya proses pembahasan RUU PKS yang salah satu soal yang dipertentangkan terkait dengan permasalahan gender.
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu berharap negara berkomitmen kuat dalam mewujudkan peningkatan pemahaman masyarakat terkait kesetaraan gender yang merupakan bagian dari SDGs.
Oleh karena, Rerie mengajak semua pihak tanpa melihat sekat partai politik, golongan, dan agama untuk bahu membahu melalui gerakan peningkatan pemahaman kesetaraan gender di masyarakat.
Selain itu, mendorong segera lahir Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual untuk melindungi bangsa ini dari ancaman kekerasan seksual yang terus meningkat di tanah air.
Sementara itu, pakar hukum pidana Universitas Pattimura, Ambon, Dr Elsa R.M Toule berpendapat mekanisme perlindungan terhadap kekerasan seksual bisa diberikan dalam berbagai upaya yaitu preemtif, preventif dan represif.
Upaya preemtif bertujuan untuk meminimalkan faktor kriminogen, terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan, misalnya didorong oleh faktor penyebab, yaitu sosio-budaya yang belum memahami kesetaraan gender, penegakan hukum yang belum memadai.
BACA JUGA: PPATK Mengecek Rekening Keluarga Akidi Tio soal Donasi Rp 2 T, Hasilnya Mengejutkan
"Faktor pemicunya adalah kemiskinan, pengangguran, tayangan di media massa dan faktor pelestari kekerasan seksual terhadap perempuan adalah ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan," ujar Elsa.
Sementara upaya preventif, kata Elsa, bisa melalui aturan perundangan-undangan untuk melindungi warga negara dari ancaman kekerasan seksual. Sedangkan upaya represif lewat hukuman pidana.
Wakil Ketua DPP Garnita Malahayati NasDem yang juga Inisiator RUU PKS, Ammy A.F Surya berpendapat kehadiran UU PKS merupakan salah satu cara negara untuk mewujudkan kesetaraan gender.
Dia menyebut cepat atau lambatnya RUU PKS disahkan menjadi undang-undang, sangat tergantung pada political will dari fraksi-fraksi di parlemen yang merupakan kepanjangan partai politik, untuk mewujudkannya. (*/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam