Ahmadullah mengaku pasukan Taliban telah membunuh pacar gaynya pada saat Kota Kabul jatuh ke tangan mereka.

"Kami sedang makan pagi di restoran saat mendengar tentang kedatangan Taliban," ujarnya kepada ABC.

BACA JUGA: Taliban Kuasai Afghanistan, Mobil Tempur Tinggalan AS Berkonvoi ke Iran

"Saya suruh dia segera pulang ke rumah dan menelepon kalau sudah sampai. Saya tak pernah menerima teleponnya," tambah Ahmadullah.

PERINGATAN: Artikel ini memuat foto dan deskripsi yang mungkin mengerikan bagi pembaca

BACA JUGA: Yudi Purnomo Sebut Stigma Taliban Hancurkan Semangat Pegawai KPK

Belakangan pada tanggal 15 Agustus itu, Ahmadullah mengaku menerima informasi bahwa pacarnya telah diseret dari rumah, dipukuli dan dipenggal kepalanya di jalanan.

Ahmadullah (26 tahun), yang namanya sengaja disamarkan, telah bersembunyi sejak saat itu.

BACA JUGA: Buya Syafii Sebut Taliban Masa Lalu Citra Buruk Terhadap Islam

Kepada ABC dia mengungkapkan pengalaman mengerikan yang dialaminya di jalan-jalan Kota Kabul, termasuk saat dia ditikam oleh seorang pria yang tak dikenalnya.

"Mereka terus mengejar saya. Saya tidak ingin mati konyol," katanya.

Ahmadullah akhirnya terdaftar sebagai salah satu dari 700-an LGBT Afghanistan yang akan dievakuasi oleh sekelompok profesional dari Australia dan negara lain.

Di dalam kelompok ini termasuk penulis terkemuka Amerika keturunan Afghanistan dan aktivis LGBT, Nemat Sadat.

Menurut Nemat, saat masyarakat internasional berusaha menyelamatkan mantan penerjemah, jurnalis, wanita, dan kaum minoritas, tidak banyak perhatian yang diberikan kepada orang LGBT, yang menurutnya justru merupakan kelompok paling rentan.

Dia membantu 325 orang untuk melarikan diri, termasuk Ahmadullah, dengan mengajukan petisi kepada pemerintah AS untuk menerima mereka semua. Menyelamatkan diri di Kota Kabul

Ahmadullah mengaku telah beberapa minggu bersembunyi, dalam upaya mencapai Bandara Kabul untuk bisa naik pesawat dengan bantuan Nemat.

Keduanya terus melakukan kontak melalui pesan teks dan foto-foto.

"Saya sangat ketakutan. Kamu satu-satunya harapan saya. Tolong jangan tinggalkan saya sendirian," demikian salah satu pesan Ahmadullah ke Nemat.

Selama mereka melakukan kontak, tergambar upaya Ahmadullah melewati jalan-jalan Kota Kabul, bersembunyi di selokan, semak-semak, atau di rumah yang tak berpenghuni. 

Terkadang dia berada hanya beberapa meter dari pasukan Taliban.

Dia juga mengaku sangat lemah dan kelaparan.

Pada satu ketika, Ahmadullah menceritakan bagaimana seorang pria yang tak dikenalnya menyeretnya dari tempat persembunyian "di ruangan gelap di bawah meja".

Saat dia melawan, pria itu mencoba menikamnya. Untung saja dia sempat menepis serangan itu dengan lengannya.

"Saya mendorongnya sangat keras sampai dia jatuh. Saya lari dan tidak menoleh lagi ke belakang," tulis Ahmadullah dalam salah satu pesannya.

"Saya mendengarnya berteriak, 'Dia ada di sini. Dia ada di sini.' Saya hanya terus berlari," tambahnya.

Ahmadullah mengabadikan luka di lengannya setelah berhasil bersembunyi di gedung kosong lainnya.

"Saya takut bila tidak berhasil keluar, Kalau kamu tidak mendengar kabar dari saya, artinya saya tak hidup lagi.  Tolong bantu yang lain," tulisnya.

Beberapa menit kemudian Ahmadullah kembali mengirim pesan: "Mereka semakin dekat, saya bisa mendengar dua orang dari mereka. Saya harus lari."

Dengan tenggat waktu evakuasi (31 Agustus) yang semakin dekat, Ahmadullah mencoba berulang kali untuk mencapai bandara. Nemat pun berusaha menyiapkan dokumen untuknya.

Namun, setelah tiba di gerbang bandara dengan surat-suratnya yang dibutuhkan, Ahmadullah mengaku didorong kembali ke parit oleh pasukan asing dan disuruh bubar atau akan ditembak.

Sekarang pasukan asing telah ditarik semua, kesempatan untuk melarikan diri pun telah tertutup baginya.

Namun Ahmadullah mengaku berhasil melarikan diri dari Kota Kabul pada Selasa (31/08).

"Saya terpaksa menunggu dan mencari cara lain. Saya berharap bisa selamat," katanya. 'LGBT sama dengan hukuman mati'

Seperti apa pemerintahan baru Afghanistan dan hukum yang akan diberlakukan masih belum jelas.

Taliban berjanji "memaafkan" musuh mereka, menghormati hak-hak perempuan dan minoritas. Namun hal ini  tidak banyak membantu meredakan ketakutan sebagian warga.

Bagi komunitas LGBT, tak ada keraguan tentang bahaya yang mereka hadapi di bawah sistem Islam fundamentalis.

"Mereka akan membunuh perempuan jika melakukan perzinahan. Tapi bagi komunitas LGBTQ, keberadaan mereka saja sudah sama dengan hukuman mati," kata Nemat Sadat.

Laporan surat kabar Jerman, Bild, pada Juli lalu menyebutkan seorang hakim Taliban bersumpah akan menghukum mati pria gay dengan cara dirajam atau dihancurkan dengan tembok setinggi tiga meter.

Ketika Taliban berkuasa di tahun 1990-an, homoseksualitas sudah disembunyikan dan pembunuhan atas nama kehormatan keluarga sering dilakukan terhadap orang LGBT.

Tidak banyak laporan tentang apa yang terjadi pada orang LGBT setelah Taliban mengambilalih kekuasaan, tetapi "sodomi" dan seks di luar pernikahan dapat dihukum mati.

"Mereka menganggap kami sampah," kata Ahmadullah.

"Saya berharap dunia bisa mendengar dan membantu. Kami mati satu per satu," tambahnya.

Sementara banyak negara, termasuk Australia, menjanjikan ribuan tempat baru untuk pengungsi Afghanistan, hanya sedikit yang menetapkan bahwa orang LGBT dari negara itu akan memenuhi syarat.

Salah satu negara tersebut adalah Kanada, yang berjanji memberi tempatuntuk 20.000 warga Afghanistan, dan secara eksplisit menyertakan orang LGBT.

Media Irlandia melaporkan bahwa orang LGBT juga termasuk di antara 150 pengungsi Afghanistan yang dibawa ke negara itu.

Ketika ABC menanyakan hal ini ke Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT), mereka merujuk ke Departemen Dalam Negeri (DHA).

Seorang juru bicara DHA menjelaskan, "Semua klaim perlindungan dinilai kasus per kasus berdasarkan kasusnya sendiri", termasuk kondisi di negara tempat mereka mencari perlindungan.

"Prioritas khusus akan diberikan kepada minoritas yang teraniaya, perempuan dan anak-anak dan mereka yang memiliki hubungan dengan Australia," katanya.

"Departemen ini mengakui bahwa orang yang mengidentifikasi diri sebagai lesbian, gay, biseksual, transgender, interseks atau queer (LGBTIQ+) dapat mengalami penganiayaan tertentu, kerugian signifikan dan diskriminasi khusus untuk, dan karena, orientasi seksual dan/atau identitas gender mereka," tambahnya.

"Departemen juga mengakui bahwa klaim terkait dengan orientasi seksual atau identitas gender cukup rumit untuk dinilai karena sifatnya yang sangat personal," katanya.

Seorang arkeolog di Sydney yang tak ingin disebutkan namanya dan terlibat dalam upaya evakuasi orang LGBT Aghanistan, mengatakan hanya sekitar 50 hingga 100 orang LGBT yang sejauh ini dapat melarikan diri dari sana.

"Mereka meninggalkan kami," kata Ahmadullah.

"Menjadi gay bukanlah kejahatan. Kami juga manusia. Kami juga punya perasaan." 'Direbut dalam sekejap'

Di bawah pemerintahan sebelumnya di Afghanistan, homoseksualitas tetap dipandang sebagai kejahatan dan dapat dihukum penjara hingga dua tahun.

Orang-orang LGBT juga menghadapi permusuhan dari keluarga dan masyarakat. Sering ada laporan pemukulan, pemerkosaan, dan bahkan pembunuhan atas nama kehormatan keluarga di beberapa daerah.

Ahmadullah mengaku merahasiakan orientasi seksualnya dari semua orang kecuali sekelompok kecil teman-teman LGBT-nya sendiri.

Dia menyebut beberapa di antara mereka pernah dipenjara, dipukuli dan bahkan diperkosa oleh oknum polisi.

Namun komunitas rahasia LGBT ini berkembang sebelum Taliban mengambil alih kekuasaan.

Arkeolog di Sydney itu, yang juga seorang gay dan telah bertahun-tahun bekerja di Afghanistan, mengatakan anak muda Afghanistan dari komunitas LGBT mulai menyewa rumah bersama sehingga mereka bisa hidup dalam "relatif bebas" di kota-kota besar.

"Tidak berbeda dengan situasi orang LGBT di negara-negara Barat sebelum dekriminalisasi," katanya, seraya menambahkan bahwa ada gerakan yang lambat tapi pasti menuju "kebebasan sosial".

Nemat Sadat sependapat. Ia mengatakan beberapa tahun terakhir hak-hak gay mulai tumbuh pesat dan pasangan pria mulai tinggal bersama di beberapa kota.

Dia sendiri meninggalkan tanah kelahirannya saat masih kecik dan dibesarkan di Amerika Serikat sebelum pulang untuk mengajar di Kabul selama beberapa tahun.

Nemat adalah salah satu orang Afghanistan pertama yang terbuka mengaku sebagai gay dan berkampanye untuk hak-hak LGBT.

"Anak-anak muda mengubah Afghanistan menjadi negara Eropa. Sekarang direbut dari kami dalam sekejap," katanya.

Baik Nemat maupun arkeolog di Sydney itu terus menerima email dan pesan, sebagian di antaranya mereka bagikan kepada ABC, yang berisi permohonan bantuan.

"Ini seperti titik balik. Dunia bisa menyerukan, kita tak akan tinggal diam, kita harus berbuat agar hal ini agar tidak terjadi," katanya.

ABC telah menghubungi pejabat Taliban untuk memberikan tanggapannya.

Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News.

 

Simak! Video Pilihan Redaksi:

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bakal Ada Pengumuman Besar, Semua Petinggi Taliban Berkumpul di Kabul

Berita Terkait