LHK Hadir untuk Sentani, Kawal Perbaikan Tata Ruang

Minggu, 24 Maret 2019 – 16:00 WIB
Hasil pengamatan citra satelit dan survei lapangan di Sentani. Foto: Ditjen PDASHL

jpnn.com, SENTANI - Banjir bandang yang menerjang wilayah di Sentani membuka mata banyak kalangan, perlunya tata ruang yang memadai agar meminimalisir pemukiman warga dari potensi bencana alam.

Apalagi, jika salah urus, hutan selalu menjadi tertuduh saat banjir dan longsor datang menerpa. Menurut Saparis Soedarjanto, Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian DAS pada Ditjen PDASHL KLHK, masyarakat sering lupa, konfigurasi bentang alam Indonesia memang menyediakan ruang-ruang tertentu untuk “rumah air”.

BACA JUGA: Update Banjir Sentani: 104 Warga Meninggal Dunia

Kondisinya subur, banyak air, relatif datar dan sering disebut dengan dataran banjir (flood plain), sehingga menjadi pilihan manusia untuk bermukim dan beraktivitas.

Namun, kondisi dan pemilihan pemukiman yang salah bisa berdampak manusia menjadi korban saat terjadi bencana alam.

BACA JUGA: Belasan Anjing Pelacak Dikerahkan Cari Korban Banjir Bandang Sentani

"Jika terjadi hujan maka air akan menuju ke situ dengan membawa berbagai material terangkut yang dilewatinya. Semakin banyak hujan, semakin banyak air dan material terangkut menuju tempat tersebut. Jika demikian, sudah menjadi kodrat alam, banjir akan melanda. Hantaman dari material terangkut, berupa batu, batang pohon rubuh yang terbawa banjir akan melipatgandakan daya rusaknya," tutur pria yang akrab disapa Toto itu dalam keterangan persnya.

BACA JUGA: Ini Dugaan Fadli Zon Tentang Penyebab Banjir Bandang di Sentani

Saparis Soedarjanto, Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian DAS pada Ditjen PDASHL (kanan). Foto: Natalia/JPNN

 

Toto menjelaskan, pergerakan air di lahan akan dihambat baik oleh hutan, bendungan ataupun berbagai fitur alami maupun buatan.

Jika kemampuan daya redam air tersebut terlampui, maka banjir-pun akan terjadi. Apalagi jika lereng terjal, batuannya kedap air serta tanahnya tipis.

"Seperti itulah yang terjadi di cagar alam Pegunungan Cycloop di atas Sentani," imbuh Toto.

Dia mengatakan, hutan Cycloop cukup bagus dan rapat, tapi karena faktor lereng dan sifat tanahnya, daerah itu mudah longsor dan membentuk bendung alami.

Di selatan Cycloop dijumpai sesar yang menimbulkan gempa dan meningkatkan ketidakstabilan lereng dan bendung. Ini sekaligus menampik pemberitaan yang menyebut gunung itu hencur karena perambahan hutan berlebihan.

Data stasiun hujan bandara Sentani pada 16 Maret 2019 menunjukkan terjadinya hujan sangat deras, yaitu 240 mm/hari, jauh di atas kondisi normal sebesar 75 mm/hari.

Kombinasi berbagai hal tersebut menyebabkan jebolnya bendung, sehingga terjadi air bah menuju kota Sentani dengan daya rusak yang dahsyat.

Toto yang selama beberapa hari berada di lokasi di Sentani mengatakan karakter mudah longsor dan menimbulkan banjir bandang juga dijumpai di belahan utara Cycloop.

"Namun karena tidak menimbulkan korban, maka miskin perhatian publik. Di Daerah Tangkapan Air (DTA) titik banjir seluas 15.000 ha tidak semuanya hutan, ada 2.400 ha berupa permukiman dan pertanian lahan kering. Namun posisinya di daerah bawah dan relatif datar, sehingga tidak memengaruhi longsor dan banjir," paparnya.

Di seluruh wilayah Cycloop dijumpai lahan terbuka seluas 3.000 ha, sebagian di antaranya savana dengan tanah pasir yang tipis, sehingga mustahil menyebabkan longsor.

Lokasi bencana adalah dataran banjir Citra satelit SPOT 6 pada 15 Maret 2019 menunjukkan hutan masih bagus. Titik banjir di belahan selatan menimbulkan banyak korban di Sentani

Hasil pengamatan citra satelit dan survei lapangan menunjukkan kesalahan fatal terjadi karena pemanfaatan ruang di dekat lereng tersebut.

Perumahan Doyo Barat dan Rumah Sakit Yowari dibangun persis di daerah tekuk lereng (break of slope) dan dikelilingi perbukitan sangat terjal dengan kemiringan di atas 40%.

"Di berbagai sisi lereng dijumpai titik-titik longsor dan membentuk bendung-bendung alam yang labil. Jebolnya bendung alam akan menghantam perumahan dan Rumah Sakit tersebut dengan dahsyat dan menimbulkan korban cukup besar. Bongkahan batu besar dan batang pohon beserta akarnya yang berserakan di lokasi tersebut setelah banjir bandang semakin menguat- kan sinyalemen kekurang- jelian pemilihan ruang," jelasnya.

Itu semua adalah hasil telaah Kementerian LHK, sebagai stakeholder utama tata kelola bentang alam.

Kami juga berusaha untuk mencari solusi yang diinisiasi berdasarkan fakta dan kejujuran. Hal itu dilakukan agar tata kelola yang diformulasikan terarah dan tepatguna.

Penataan permukiman dan peninjauan kembali tata ruang, (termasuk skema-skema adaptasi) dalam pengurangan resiko bencana direkomendasikan melalui koordinasi multipihak.

"Rehabilitasi lahan terbuka tetap dilakukan, bahkan ditingkatkan dari semula 1.000 ha menjadi 2.500 ha," tuturnya.

Selain itu, KLHK memantapkan kawasan cagar alam juga menjadi keharusan melalui rekonstruksi batas cagar alam yang berbatasan dengan areal aktivitas manusia agar terdapat kejelasan tata kelolanya.

Pembentukan satgas penanganan dan posko informasi bencana Sentani menjadi instrumen pengendalian dan pemutakhiran strategi pengurangan resiko bencana serta pengawalan agar rencana aksi yang telah didesain dapat terlaksana dengan baik. Intervensi bangunan

Konservasi Tanah dan Air (KTA) seperti Saluran Pembuangan Air (SPA) dilakukan untuk meningkatkan stabilitas lahan di titik-titik rawan longsor.

Kontinyuitas proses penegakan hukum dalam kerangka Gerakan Nasional Penyelamatan Sumberdaya Alam (GNPSDA) dengan supervisi KPK dan penyelesaian tata kelola perizinan selalu didorong untuk memperkecil peluang penyimpangan tata kelola yang berdampak merugikan.

"Itu semua merupakan upaya penyesuaian agar bencana tak terulang. Pada dasarnya bencana hanya ada di persepsi manusia, alam hanya mencari kestabilan," pungkasnya. (flo/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tak Ada Pembalakan Liar di Cycloop Sentani


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler