Bertahannya rekor 34 gol Peri Sandria yang dicetaknya pada musim 1996/1997 merupakan gambaran keterpurukan sepak bola nasional. Buruknya pembinaan dan serbuan pemain asing diyakini Peri menjadi penyebab. Sayang, karirnya sebagai pelatih terhambat dana.
M. Ali Mahrus - Novi
SUATU kali saat melatih di Stadion Siliwangi, Bandung, yang berada di kompleks Kodam III/Siliwangi, pelatih Bandung Raya Henk Wullems punya ide iseng. Dia meminta dua anjing herder milik Pembinaan Jasmani Kodam dibawa ke lapangan.
Dua anjing itu akan diadu dengan pemain tercepat di tim asuhannya, Peri Sandria. Hasilnya? "Waktu lomba pertama, saya sudah unggul, tapi saya yang dikejar sama herdernya. Akhirnya saya minggir karena takut digigit. Pada balapan kedua, ganti saya yang mengejar anjing itu sambil berteriak dan kemudian melewatinya saat mau finis," kenang Peri sembari terbahak saat ditemui Jawa Pos pekan lalu.
Ketika itu dia baru saja menerima penghargaan uang tunai Rp 10 juta dari PT Retower Asia dan Prakarsa Atma Sabda Swara XII (PASS XII) di Jakarta. Salah satu kenangan semasa membela klub juara Liga Indonesia (diputar mulai 1994 dengan menggabungkan klub Galatama dan Perserikatan, Red) II (1996/1996) itu cukup menggambarkan salah satu kelebihan Peri sebagai striker: cepat.
Itu masih ditambah fisik yang kukuh, body balance yang terjaga, kaki kanan-kiri yang sama-sama hidup, dan tentu saja insting. Adonan semua kelebihan itu bermuara pada rekor yang belum terpecahkan di pentas Liga Indonesia (Ligina) hingga kini, yakni top scorer satu musim.
Rekor 34 gol itu tercatat saat dia membela Bandung Raya di Liga Indonesia yang pertama. Torehan gol itu membawa Bandung Raya ke babak 8 besar sebelum menjadi juara semusim berikutnya.
Yang bisa mendekati rekornya selama ini hanyalah Cristian Gonzales yang mencetak 32 gol saat berkostum Persik Kediri pada musim 2006/2007. Saking gemasnya, Peri pun berjanji memberikan Sepatu Emas (hadiah untuk top scorer) yang dimilikinya kepada pemain lokal (tak termasuk naturalisasi) yang bisa memecahkan rekornya.
"Saya sangat ingin melihat ada pemain yang bisa memecahkan rekor saya itu. Jika ada, saya akan mendatangi pemain itu dan menyerahkan langsung Sepatu Emas yang selama ini saya rawat dengan baik," ujarnya.
Kesuburan Peri di depan gawang itu pula yang membawanya ke timnas, mulai level junior hingga senior. Di level junior, Peri tiga kali merasakan gelar juara pelajar Asia.
Adapun di level senior, pemain yang total mengoleksi 71 gol selama tiga tahun berkostum Bandung Raya itu adalah anggota timnas SEA Games 1991 yang sukses merebut emas.
Itulah emas sepak bola terakhir Merah Putih di ajang olahraga antarnegara Asia Tenggara. Ini sekaligus memperlihatkan tak kunjung membaiknya persepakbolaan tanah air.
Keterpurukan itu juga tergambar lewat masih awetnya rekor Peri hingga kini, hampir dua dekade sejak Liga Indonesia bergulir. "Saya sungguh gemas melihat sepak bola kita saat ini," kata pemain yang mengakhiri karir sebagai pemain pada 2004 itu.
Dengan suara bergetar, pria yang kemarin genap berusia 43 tahun itu mengatakan, dirinya miris tak hanya karena konflik dualisme yang tak kunjung berakhir. Dia juga cemas karena semakin tergerusnya kualitas para pemain lokal saat ini.
Tak heran, Bambang Pamungkas yang sudah berkepala tiga pun tetap menjadi andalan di lini depan. Timnas juga selalu kesulitan mencari pemain bertipe playmaker setelah era Ansyari Lubis dan Fachri Husaini yang terakhir membela timnas di SEA Games 1997.
Menurut Peri, selain pembinaan dan kompetisi usia muda yang tidak berjalan, hal itu disebabkan serbuan pemain asing ke Liga Indonesia. Bayangkan, setiap klub bisa memainkan lima pemain asing.
Praktis, banyak bakat muda yang kesulitan mendapatkan tempat di tim utama. Dualisme kepengurusan yang terjadi beberapa tahun terakhir ini semakin memperburuk keadaan.
Faktor lain yang turut memperparah kekadaan, di mata Peri, adalah minimnya dedikasi pemain untuk timnas. Ini, lanjut ayah satu anak tersebut, berbeda sekali dari para pemain di eranya. Tanggung jawab dan rasa nasionalisme pemain saat itu sangat besar. "Bukan uang yang kami kejar, tapi kebanggaan untuk negeri ini," lanjut Peri.
Sayangnya, dedikasi besar kepada timnas itu pula yang nyaris mengakhiri karir Peri sebagai pemain lebih dini. Gara-garanya, perhatian PSSI yang buruk.
Ceritanya, dalam sebuah uji coba menjelang SEA Games 1997 melawan Bandung Raya, dia cedera lutut kanan. Cedera itu cukup parah dan mestinya dioperasi.
Namun, karena tidak ada uang dan bantuan dari PSSI, sampai saat ini pun Peri tidak pernah melakukan operasi. Padahal, operasi itu membutuhkan dana puluhan juta rupiah. "Selama ini saya hanya mencoba menyembuhkannya dengan pengobatan alternatif. Tapi, ya begini hasilnya. Tidak bisa sembuh sampai sekarang," ungkapnya lirih.
Karena cedera yang tak pernah dioperasi itu pula, performa Peri Sandria di lapangan hijau menurun. Padahal, saat itu pria kelahiran Binjai, Sumatera Utara, tersbeut masih dalam usia emas, 28 tahun.
Secara perlahan karirnya pun meredup."Namun, karena tuntutan dapur, dengan lutut yang tak 100 persen fit, dia harus terus bermain. Dari Bandung Raya, dia kemudian berkostum Persib (1998-1999), lalu Persikabo (1999). Karirnya berlanjut ke Persitara, Persid Jember, dan Persipasi (2003).
Karena tuntutan untuk memenuhi nafkah keluarga, meski cedera lututnya sering kambuh, Peri bahkan sempat bermain di divisi III bersama Persipo Purwakarta pada musim 2004. "Saat itu saya juga merangkap sebagai pemain dan menjadi top scorer dengan enam gol. Juga rekor sebagai pemain tertua yang mencetak gol di Divisi III," kenang Peri yang saat itu berusia 35 tahun.
Tersandungnya karir pemain Diklat Ragunan (1986-1989), Kramayudha Tiga Berlian (1989-1991), Assyabaab Salim Grup (1991-1993), dan Putra Samarinda (1993-1994) ini ternyata berlanjut di jenjang kepelatihan. Persoalannya sama, kurangnya dana.
Peri meraih lisensi pelatih B nasional pada 2008. Karena tidak cukup uang untuk mengikuti kursus lisensi A AFC, Peri harus puas dengan lisensi B yang dikantonginya. Lisensi itu tidak cukup untuk memegang klub kompetisi tertinggi tanah air.
Karena usianya sudah 43 tahun, dia tidak bisa lagi mengambil lisensi pelatih A nasional maupun AFC. Sebab, batasan A AFC adalah 40 tahun. Itu yang membuatnya resah. "Saya sebenarnya punya niat untuk ikut kursus lisensi A. Tapi, karena tabungan yang ada terbatas, saya pilih tabungan itu untuk biaya sekolah anak semata wayang saya," beber putra pasangan Sayuti dan Tukiyem (alm) ini.
Padahal,"Peri sebenarnya punya bakat menjadi pelatih jempolan. Pada musim kompetisi 2009-2010, pengagum Karl Heinz Rumenigge dan Heri Kiswanto ini dipercaya menangani PS Siak yang berkompetisi di divisi II. Peri pun berhasil membawa tim asal Riau itu lolos ke divisi I dengan rekor tak terkalahkan dalam 14 laga.
Hanya semusim, Peri kemudian dipinang Persipon Pontianak klub divisi I. Ketika itu dia gagal mengantarkan timnya lolos ke divisi utama. Meski demikian, hal itu tak menyurutkan niat PS Siak untuk kembali menggunakan jasanya.
Tampil di Divisi I Liga Prima Indonesia Sportindo (LPIS), PS Siak berhasil promosi ke divisi utama bersama tiga tim lainnya, Persibangga Purbalingga, Persekap Kota Pasuruan, dan Persipon Pontianak.
Ganjalan dalam karir kepelatihan memaksa penyuka sambal teri kacang itu menengok sektor lain. Saat ini dia membantu usaha sang istri berbisnis baju muslim dan menjadi distributor keset. "Saya hanya bantu-bantu," katanya.
Karirnya di lapangan hijau juga dipastikan tidak ada penerusnya. Sebab, dia hanya memiliki satu putri. Yaitu, Peni Leonita Sandria.
Namun, Peni tetap bisa membuat Peri bangga. Sebab, cewek kelahiran Bandung, 12 Agustus 1990 itu sukses di cabang olahraga lain. Yaitu, squash. Peni menekuni olahraga ini sejak duduk di kelas satu SMA.
Sebelum menekuni olahraga asal Inggris itu, sebenarnya Peni menyukai bulu tangkis. Sejak kelas tiga SD dia bermain tepok bulu itu. Dia juga sempat tercacat sebagai salah satu pebulu tangkis klub Jaya Raya Jakarta. Bahkan, Peni juga berhasil masuk Pelatda DKI Jakarta.
Setelah masuk pelatda, dia merasakan ketidakcocokan. Salah satunya sistem di pelatda yang penuh dengan intrik dan sogok-menyogok. Merasa tidak tahan lagi, Peni sengaja menurunkan performanya. Alhasil, dia dikeluarkan dari pelatda karena prestasinya tidak baik.
"Saya sengaja bermain buruk agar pelatda mengeluarkan saya karena dianggap tidak layak. Sebab, jika keluar sendiri, saya harus membayar penalti atau ganti rugi," jelasnya.
Setelah keluar dari bulu tangkis itulah dia berkenalan dengan squash. Olahraga itu dikenalnya melalui dosen Universitas Negeri Jakarta yang merupakan teman pelatihnya. "Waktu itu saya dikasih tahu kalau squash lagi butuh orang. Ya, saya coba," ujarnya.
Setelah satu tahun berlatih dia mengikuti seleksi pelatda dan akhirnya terjaring untuk membela DKI Jakarta di PON 2008. Di PON yang diselenggarakan di Kalimantan Timur itu dia menyumbangkan perunggu lewat nomor beregu. Prestasi tersebut semakin meningkat karena pada PON 2012 ini dia meraih perak.
Prestasinya di squash tersebut tak lepas dari dukungan penuh sang ayah. Di mata Peni, ayahnya adalah sosok yang disiplin dan tanggung jawab. Dia mengungkapkan bahwa ayahnya jarang marah. "Papa selalu membebaskan saya untuk memilih apa pun, asal tanggung jawab terhadap akibatnya dan konsekuen," jelasnya.
Dari kacamata gadis 22 tahun itu sang ayah mempunyai jiwa nasionalisme tinggi. Selain itu, Peri adalah sosok yang dekat dengan para pemain.
"Ya, Papa adalah sosok guru juga teman. Tanggung jawab dan dedikasi terhadap profesinya patut jadi panutan," ujarnya. (*/c2/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Hadiri Penghormatan Obama untuk Jawara WNBA
Redaktur : Tim Redaksi