Lihat Nih, Megahnya Kampung Pedagang Warteg di Tegal, Semua Rumah Mewah!

Rabu, 29 Juli 2015 – 06:14 WIB
Rumah mewah milik penjual warteg yang merantau di Jakarta. FOTO: RADAR TEGAL

jpnn.com - Warung Tegal atau yang biasa disebut warteg sudah menjamur di kota-kota besar. Rata-rata, pedagang warteg yang merantau di kota besar berasal dari Desa Sidakaton dan Desa Sidapurna, Dukuhturi, Kabupaten Tegal. 

YERRY NOVEL, Tegal 

BACA JUGA: Diana Fitria Anggraeni, Anak Penyortir Kertas Roti yang Lolos Masuk UGM Tanpa Tes dan Bebas Biaya Kuliah

ORANG yang baru menginjak di Desa Sidakaton dan Desa Sidapurna, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, pasti akan berdecak kagum. Di dua desa tersebut, hampir semua bangunan rumah warga megah dan mewah. 

Halamannya pun luas dan dilengkapi taman. Sayangnya, rumah itu kerap kosong dan hanya dihuni orang tua yang sudah berumur. Ya, kebanyakan rumah mewah itu milik para pedagang warteg yang merantau di kota-kota besar. 

BACA JUGA: Curhatan Victor Igbonefo, Cinta Arema, Tapi Pilih Liga Thailand

''Ramainya kalau Lebaran saja. Sekarang sudah sepi lagi,'' kata Faizin, salah seorang pedagang warteg, kemarin. 

Kepala Desa Sidapurna, Kecamatan Dukuhturi, itu menuturkan, selama ditinggal merantau, rumah-rumah mewah tersebut hanya dihuni orang tua atau saudara si empunya rumah. Tidak sedikit pula rumah mewah yang dibiarkan kosong hingga rumput liar tumbuh subur di halamannya. 

BACA JUGA: Empat Siswa Cerdas Itu Pamit kepada Ibu Risma

''Sebagian kecil sertifikat rumah mewah itu dijaminkan untuk pinjaman di bank,'' ujar Faizin.

Menurut dia, sertifikat rumah-rumah itu biasanya dijadikan jaminan di bank karena kondisi pedagang warteg sedang paceklik. Kondisi itu diawali dari harga sewa bangunan untuk warteg di Jakarta yang mencapai Rp 25 juta-Rp 30 juta per tahun. 

Selain harga sewa bangunan yang terus melambung, pedagang warteg kewalahan mencari karyawan (pembantu masak). ''Sidakaton dan Sidapurna adalah dua desa yang bergandengan dan dikenal sebagai kampung warteg,'' ucapnya.

Sejak 1970-an, lanjut Faizin, warga di dua desa itu merantau ke Jakarta untuk membuka warung kecil-kecilan. Saat itu, warga perantau hanya menjual makanan kecil dan gorengan. 

''Belum menyediakan nasi lengkap dengan sayur dan lauknya,'' ujar Faizin.

Warteg, ungkap dia, mengalami kejayaan pada 1980-1990. Sebab, harga sewa warung dan upah karyawan saat itu masih murah. 

Hingga kini, di antara sekitar 10 ribu warga Desa Sidapurna, 50 persen masih menekuni usaha warteg di Jakarta. Pedagang yang tergolong sukses mendapat penghasilan kotor Rp 3 juta-Rp 5 juta per hari.

Dengan besarnya penghasilan itu, sebagian pedagang warteg bisa membangun rumah di kampung. Biaya yang dihabiskan rata-rata Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar. 

''Sebanyak 500 di antara 2.000 rumah di Sidapurna adalah rumah mewah,'' terang Faizin. 

Ketua Umum Pusat Koperasi Warung Tegal (Puskowarteg) Jaya Sastoro saat dihubungi menambahkan, pedagang warteg di Jakarta saat ini tertekan mahalnya harga-harga kebutuhan pokok setelah kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi pada 2014. 

''Kami tidak bisa asal menaikkan harga menu. Sebab, pelanggan warteg itu rakyat kecil,'' jelasnya. 

Sistem pengelolaan warteg juga termasuk unik. Ada yang setiap tiga bulan hingga empat bulan dikelola secara bergantian.

Hanya, yang mengelola tersebut masih ada hubungan keluarga. Sehingga, rezeki masih berputar di antara mereka. 

Makanan yang ditawarkan cukup sederhana karena seperti masakan rumahan. Ada sayur lodeh, sup, tumis, tahu, tempe, telor goreng atau rebus dan juga ayam goreng. 

Sementara, minumannya teh manis, es teh, maupun es jeruk paling banyak dijumpai. Belum lagi ada pisang goreng maupun tahu isi. 

Selain mampu membangun rumah mewah, beberapa pemilik warteg di Jakarta bisa juga menjalankan ibadah haji. Namun, biasanya, mereka itu sudah melakoni bisnis tersebut sudah lama. 

Mayoritas warga Jakarta yang memang berasal dari kampung merupakan satu alasan banyaknya pengunjung warteg. Sehingga, bisnis warteg dianggap sebuah hal yang menjanjikan untuk mengais rupiah. 

Sayang, bisnis warteg belum merambah ke kota lain. Mereka masih berkutat di Jakarta. 

Di ibu kota, jumlahnya bisa mencapai ribuan dan tersebar di berbagai pelosok. Bahkan, tak ada 100 meter, sudah berdiri warung sejenis. 

Sementara, di kota besar lainnya seperti Surabaya (Jawa Timur), Medan (Sumatera Utara) maupun Makassar (Sulawesi Selatan) kurang berkembang. (*/fat/JPG/c5/diq)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Persiapan Siswa Peraih Beasiswa Pertukaran ke Luar Negeri


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler