jpnn.com - Lili Pintauli Siregar, anggota KPK (Komisi Pemberantas Korupsi) mengundurkan diri sebagai pimpinan KPK karena diduga menerima gratifikasi.
Kasusnya tidak terungkap dengan jelas karena Lili terlebih dahulu mengundurkan diri sebelum diadili oleh Dewan Pengawas.
BACA JUGA: Lili Pintauli Mundur, Sidang Etik Gugur
Kasus Lili Pintauli membuka borok yang terjadi di KPK.
Sebagai lembaga anti-rasuah, KPK seharusnya diisi oleh orang-orang bersih dari korupsi.
BACA JUGA: Komisi III Pertanyakan Dasar Hukum Dewas KPK Hentikan Kasus Gratifikasi Lili Pintauli
Seharusnya orang-orang yang duduk sebagai komisioner di dalamnya menjadi duta anti-korupsi yang memberi teladan kepada publik.
Ibarat sapu yang dipakai untuk membersihkan lantai, harus bersih dulu sebelum membersihkan lantai.
BACA JUGA: Lili Cabut dari KPK, MAKI Desak Proses Pidana Dilanjutkan
Kalau sapu kotor terkena air comberan maka seluruh lantai akan bau.
Lili diadukan ke Dewan Pengawas KPK karena dicurigai menerima gratifikasi tiket dan akomodasi untuk menonton balapan MotoGP di Mandalika Maret lalu.
Sebelumnya, Lili juga sudah diadili karena diduga berhubungan dengan seorang tersangka kasus korupsi, mantan Wali Kota Tanjung Balai M. Syahrial.
Lili diduga menyodorkan nama seorang pengacara untuk membantu memudahkan urusan tersangka. Lili juga diduga mempergunakan pengaruhnya untuk kepentingan seorang kerabatnya yang menjadi ASN di Tanjung Balai.
Dalam kasus lain, Lili diduga dihubungi seorang calon kepala daerah yang berkepentingan agar lawan politiknya segera dieksekusi KPK untuk memuluskan jalan memenangkan pilkada. Kasus ini terjadi di pilkada Labuhan Batu, yang mana salah satu calon diduga punya kasus korupsi.
Kasus-kasus yang menjerat Lili menunjukkan bahwa secara moral dan etika Lili sangat tidak layak untuk menduduki kursi terhormat sebagai komisioner KPK.
Kasus yang berhubungan dengan dua pilkada bisa dikategorikan sebagai ‘’kasus berat’’, dan dua kasus gratifikasi tiket MotoGP dan bantuan untuk kerabat bisa masuk dalam kategori ‘’kasus ringan’’. Akan tetapi, hal ini justru menunjukkan bahwa mentalitas Lili korup, karena kasus-kasus berat sampai kasus receh pun dia langgar.
Standar moral yang diterapkan KPK sangat tinggi, dan publik juga sudah mematok standar yang sangat tinggi bagi komisioner KPK. Banyak cerita yang berkembang bagaimana komisioner KPK menolak pemberian suvenir kecil dalam sebuah acara.
Para anggota KPK tidak bersedia dijemput oleh panitia acara untuk menjaga integritas. Akan tetapi, standar tinggi itu kelihatannya tidak berlaku bagi Lili Pintauli.
Sungguh sulit dibayangkan bagaimana seorang anggota KPK meminta tiket kepada panitia balapan MotoGP dan minta disediakan akomodasi.
Bagaiamana mungkin seorang anggota KPK merasa tidak bersalah ketika dengan terang-terangan meminta tiket sebuah perhelatan olahraga.
Betapa memprihatinkannya patokan standar moral semacam ini.
Dewan Pengawas KPK yang semestinya punya tugas mengawasi para komisioner KPK terlihat tidak menjalankan fungsinya secara maksimal.
Dalam kasus yang berhubungan dengan M. Syahrial, Dewan Pengawas sudah melakukan sidang etika terhadap Lili dan menemukan kesalahannya.
Sanksi yang dijatuhkan adalah pemotongan gaji.
Sanksi disiplin semacam ini lebih cocok dijatuhkan kepada karyawan pabrik yang kedapatan sering membolos kerja.
Sanksi semacam ini terbukti tidak mengefek ketika diterapkan kepada komisioner KPK seperti Lili.
Sanksi ini sama sekali tidak memberi efek jera, terbukti Lili tidak kapok dan malah makin nekat dengan menerima gratifikasi tiket dan hotel gratis.
Lili mangkir dalam sidang etik pertama. Rupanya Lili belajar dari taktik para koruptor yang menjadi pasien KPK.
Banyak di antara mereka yang mengulur waktu dengan tidak menghadiri pemanggilan KPK.
Lili menerapkan taktik yang sama dengan mangkir dari sidang etik oleh Dewan Pengawas.
Sidang dijadwal ulang, tetapi Lili tetap mangkir.
Tidak ada mekanisme jemput paksa seperti yang diterapkan oleh KPK terhadap tersangka.
Lili mengulur waktu tetapi pressure publik makin keras.
Akhirnya, Lili memilih tidak menghadiri sidang dan mengajukan pengunduran diri.
Dewan Pengawas merasa tugasnya sudah selesai setelah Lili mundur.
Banyak yang kecewa oleh perkembangan ini. Para pegiat anti-korupsi mendesak Dewan Pengawas untuk tetap menggelar sidang etik untuk mengungkap siapa pemberi suap dan apakah Lili terbukti menerima suap.
Kalau semuanya terbukti, kasusnya bisa dinaikkan sebagai kasus pidana yang bisa ditangani oleh lembaga penegak hukum lain.
Sayangnya, Dewan Pengawas menganggap kasus sudah selesai dan tidak punya hak lagi untuk mengadili Lili. Case closed.
Akibatnya, kasusnya menjadi gelap dan tidak terungkap secara jelas kepada publik.
Maunya, Dewan Pengawas ingin melindungi muruah KPK, tetapi para pegiat anti-korupsi justru menganggap Dewan Pengawas telah mencoreng muruah KPK.
Integritas KPK dipertanyakan sejak lama. Kasus dugaan gratifikasi pernah menjarat ketua KPK Firli Bahuri yang diduga mendapat diskon khusus untuk mempergunakan fasilitas helikopter dalam kunjungan yang bersifat pribadi.
Diketahui bahwa salah satu petinggi perusahaan persewaan helikopter itu pernah dipanggil KPK sebagai saksi dalam sebuah kasus korupsi.
Firli mengaku membayar sewa kepada perusahaan persewaan helikopter itu.
Akan tetapi, biaya sewa yang disodorkan Firli jauh di bawah harga normal, selisihnya mencapai Rp 140 juta. Hal ini menjadi indikasi adanya gratifikasi. Firli juga menunjukkan gaya hidup hedonis yang tidak selayaknya dipamerkan oleh seorang ketua KPK.
Dewan Pengawas tidak menganggap hal itu sebagai pelaggaran etika yang serius, dan hanya menyebutnya sebagai pelanggaran ringan. Kasus ini dilaporkan juga ke polisi tetapi tidak ada pemeriksaan terahdap Firli berkaitan dengan kasus itu.
Definisi korupsi menjadi sempit karena hanya dikaitkan dengan suap-menyuap dan aktivitas yang merugikan keuangan negara. Dalam bahasa Yunani, korupsi disebut sebagai ‘’coruptio’’ yang berarti pembusukan.
Semua tindakan yang menyebabkan pembusukan sistem masuk dalam kategori korupsi. Tindakan-tindakan yang melanggar etika bisa masuk dalam kategori korupsi moral.
Firli menjadi sorotan lagi karena memberi penghargaan kepada istrinya sendiri yang menciptakan lagu mars KPK. Filri menganggap hal itu sebagai sesuatu yang wajar dan tidak melanggar aturan apa pun.
Akan tetapi, ada prinsip nepotisme yang dipertanyakan dalam kasus itu. Memberi penghargaan kepada istri sendiri sangat dipengaruhi oleh unsur subjektivitas dan potensial memunculkan nepotisme.
Beberapa waktu belakangan Firli sering mengutip salam ‘’FBI’’ dalam tulisan-tulisannya di media sosial. Hal ini memunculkan kritik dari beberapa pengamat yang menganggap Firli bermain politik.
Di beberapa daerah, sempat muncul spanduk bertuliskan FBI, singkatan dari ‘’Firli Bahuri untuk Indonesia’’ lengkap dengan foto Firli.
Ada dugaan Firli punya ambisi politik untuk maju pada perhelatan Pemilihan Presiden 2024.
Salam FBI dianggap sebagai bagian dari pencitraan untuk tujuan politik.
Firli menyanggah dan mengatakan tidak ada yang salah dengan salam itu.
Dia menciptakannya sebagai ekspresi kebanggaan terhadap KPK.
Firli sempat berbicara mengenai presidential threshold, ambang batas pencalonan kepresidenan 20 persen yang tengah ramai menjadi perbincangan politik.
Menurut Firli, ambang batas itu menjadi salah satu pintu masuk kasus-kasus korupsi yang melibatkan beberapa kepala daerah.
Firli diduga punya kepentingan politik pribadi dengan pernyataannya itu.
Rangkaian kejadian ini menunjukkan wajah KPK yang banyak berubah. Diawali dengan pelemahan melalui revisi undang-undang KPK oleh DPR.
Firli kemudian memberhentikan tim buser, buru sergap, para raja OTT (operasi tangkap tangan) di bawah kepemimpinan penyidik Novel Baswedan.
Pemberhentian ini dengan memakai mekanisme tes wawasan kebangsaan ini diragukan objektivitasnya.
KPK sudah kehilangan taji dan wajahnya sudah banyak dipermak.
KPK sebagai hasil dari perjuangan Reformasi 1998 telah kehilangan wajah aslinya. (*)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror