jpnn.com, FAKFAK - Kuasa Hukum lima marga pemilik tanah ulayat di Fakfak, Papua Barat, Pieter Ell mengatakan, pembangunan Bandara Siboru yang terletak di Kampung Siboru, Distrik Wartutin, Fakfak, Papua Barat, masih terganjal ganti rugi yang belum diselesaikan.
Menurutnya, ada enam marga pemilik 700 ribu meter persegi yang digunakan untuk pembangunan Bandara Siboru.
BACA JUGA: 15 Kabupaten di Papua Masuk Zona Hijau
Masing-masing Marga Uss, Pattipi, Patiran, Amor/Komor, Ginuni, dan Hombore.
Lima marga mempercayakan proses hukum pada Pieter, sementara satu marga lain yaitu Hombore, tidak.
BACA JUGA: Seorang Bule Asal Ukraina Terjebak 6 Hari di Tempat Penampungan Air, Begini Kondisinya
Pieter mengatakan, kepemilikan tanah ulayat dimaksud telah dilegalisasi oleh notaris. Selain itu, juga ada dokumen pendukung.
Antara lain, surat pengakuan hak ulayat tanah adat tertanggal 14 Mei 2020.
BACA JUGA: Suparmin Pinjam Mobil Tetangga, Tak Kunjung Dikembalikan, Oh Ternyata
Surat keterangan saksi tertanggal 14 Mei 2020. Lalu lembaran pengesahan wilayah hak ulayat tanah adat Muhni Wani.
Daftar hadir musyawarah adat Wuhni Manda dan daftar nama dukungan pelurusan hak ulayat Bandara Siboru Kampung Siboru.
"Total nilai yang harus dibayar sebesar Rp 105 miliar yang akan dibagikan kepada 220 kepala keluarga dan para ahli waris. Baik yang ada di Fakfak maupun di perantauan," ucapnya.
Pieter menambahkan, sejumlah pertemuan yang difasilitasi pemerintah daerah telah dilakukan. Namun, belum ada titik terang penyelesaian.
"Pak bupati mengarahkan agar menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan dengan Marga Hombore. Namun, belum ada titik temu," ucapnya.
Lebih lanjut Pieter mengatakan, pihaknya akan menempuh proses hukum jika tidak ada pembayaran ganti rugi.
"Selama proses hukum berlangsung maka semua aktivitas di atas lokasi tanah adat kami dihentikan sampai ada keputusan yang berkekuatan hukum tetap," katanya.
Pembangunan Bandara Siboru diketahui saat ini telah memasuki tahap pengerjaan oleh dinas PUPR Fakfak.(gir/jpnn)
Redaktur & Reporter : Ken Girsang