Listyo Sigit Calon Tunggal Kapolri, LPSK Singgung Kasus Laskar FPI & Djoko Tjandra

Minggu, 17 Januari 2021 – 18:39 WIB
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Edwin Partogi Pasaribu. Foto: ANTARA/HO-Humas LPSK

jpnn.com, JAKARTA - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memiliki catatan khusus untuk calon tunggal Kapolri pilihan Presiden Joko Widodo (Jokowi), yakni Komjen Listyo Sigit Prabowo.

LPSK berharap calon yang diusulkan oleh Presiden Ketujuh RI itu memiliki keberanian seperti Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Jenderal TNI Andika Perkasa dalam menindak anggotanya yang melakukan brutalitas kepada rakyat sipil.

BACA JUGA: 3 Kelompok Penolak Komjen Listyo Sigit Prabowo, Terakhir Paling Berbahaya

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengatakan, tugas kapolri yang baru harus memiliki mekanisme penegakan hukum yang tegas dalam menyikapi kasus penyiksaan yang dilakukan oknum anggota Korps Bhayangkara.

Praktik penyiksaan, Kata Edwin, hingga kini masih menjadi catatan masyarakat sipil. Tindak brutalitas oknum polisi merujuk data KontraS sepanjang periode Mei 2019-Juni 2020, terdapat 62 kasus penyiksaan. Pelakunya dominan oknum polisi dengan jumlah 48 kasus.

BACA JUGA: Dedengkot Jawara Banten Bongkar Sepak Terjang Komjen Listyo Sigit, Begini Kesaksiannya

Dari keseluruhan kasus yang terdata, terdapat 220 orang korban, dengan rincian 199 korban luka dan 21 korban tewas.Catatan LPSK pada 2020, terdapat 13 permohonan perlindungan perkara penyiksaan, sementara di 2019 lebih tinggi yakni 24 permohonan.

Artinya, kata Edwin, terjadi penurunan sebesar 54 persen perkara penyiksaan pada 2020 dibanding 2019. Namun, bila merujuk jumlah terlindung, pada 2020, terdapat 37 terlindung LPSK dari peristiwa penyiksaan.

BACA JUGA: Yulken Simamora Kantongi Rp 900 Juta dari Dua Calon Polisi, Nih Tampangnya

"Peristiwa terakhir yang menarik perhatian, dikenal dengan Peristiwa KM 50, yang menewaskan enam orang laskar FPI. Rekomendasi Komnas HAM, meminta agar peristiwa itu diproses dalam mekanisme peradilan umum pidana," ujar Edwin dalam keterangan yang diterima, Minggu (17/1).

"Sebaiknya kapolri mencontoh Kasad yang dengan tegas memproses hukum oknum TNI di peristiwa Intan Jaya," lanjut pria yang pernah menjadi tim pembela kasus aktivis HAM Munir ini.

Menurut Edwin, umumnya kasus penyiksaan diselesaikan dengan mekanisme internal etik atau disiplin dibandingkan proses peradilan pidana.

"Publik mempertanyakan, equality before the law dan efek jeranya. Memang, penyiksaan masih memiliki problem regulasi, karena tidak ada di KUHP sehingga disamakan dengan penganiayaan," jelas Edwin.

Kedua, bagaimana kapolri menyikapi penyebaran hoaks dan ujaran kebencian yang terus meningkat beberapa tahun terakhir.

Polda Metro Jaya pada 2020 melansir telah menangani 443 kasus hoaks dan hate speech. Sebanyak 1.448 akun media sosial telah dilakukan takedown, sedangkan 14 kasus dilakukan penyidikan hingga tuntas.

"Yang sering muncul menjadi pertanyaan publik atas perkara ini adalah sejauh mana Polri bertindak imparsial tanpa melihat afiliasi politik dari para pelakunya," ucap Edwin mempertanyakan.

Ketiga, mantan Kadiv Investigasi KontraS ini menanyakan pendekatan restorative justice yang akan dikembangkan Polri. Sebab, sudah menjadi rahasia umum bahwa kondisi penjara over capacity.

Dia memaparkan bahwa jumlah napi yang masuk, tak berbanding lurus dengan kapasitas lembaga pemasyarakatan. Besaran jumlah napi yang masuk dengan keluar amat tidak berimbang.

"Situasi ini sebaiknya disikapi Polri menggunakan pendekatan restorative justice sebagai alternatif penyelesaian tindak pidana," kata Edwin.
 
Keempat, Edwin juga menanyakan bagaimana upaya Kapolri memerangi korupsi di jajarannya.

Mantan penyelidik Ad hoc Peristiwa Petrus 1983-1985 ini membeberkan kasus surat palsu Djoko Tjandra yang tidak terlepas dari praktik suap, telah menempatkan dua jenderal polisi sebagai terdakwa.

Dia menyampaikan apresiasi kepada Polri yang menindak oknum jenderal pada tindak pidana ini. Namun demikian, praktik suap dan pungli masih kerap dikeluhkan masyarakat ketika berhadapan dengan polisi.

"Menjadi tugas kapolri agar pelayanan dan proses hukum di tubuhnya bersih dari praktik transaksional yang dapat menghilangkan kepercayaan publik," tegas Edwin.

Kelima, kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan masih menjadi keprihatinan nasional. Pada masa pandemi, catatan LPSK di 2020 terdapat 245 permohonan atas kasus ini, menurun 31,75 persen dibandingkan 2019.

Model yang berkembang dalam kejahatan dari grooming hingga pemerasan. Namun, banyak pelaku disebabkan terpengaruh konten pornografi di sosial media.

"Polri dituntut aktif melakukan patroli siber untuk memerangi konten pornografi di dunia maya," imbuh Edwin.

Keenam, Edwin menanyakan strategi kolaborasi dan sinergi Polri dalam penegakan hukum bersama LPSK, KPK, dan Kejaksaan Agung.

Koordinasi dan sinergi adalah situasi yang diharapkan agar tercapai kolaborasi bagi kepentingan penegakan hukum. Namun, praktiknya tidak mudah karena ego sektoral selalu jadi penghambatnya.

"Kapolri diharapkan mampu membangun koordinasi dan sinergi, tidak berhenti menjadi slogan,” kata Edwin.

Terakhir, dia mempertanyakan bagaimana strategi Polri meningkatkan keamanan di daerah zona terorisme di Sulawesi Tengah dan kelompok kekerasan bersenjata di Papua, yang berpotensi jatuhnya korban dari masyarakat.

Di sisi lain, Polri harus meningkatkan perhatian kepada anggota yang bertugas zona merah, dengan memberikan reward, perlengkapan teknologi, kendaraan dan waktu penugasan dengan mempertimbangkan situasi psikologis anggota yang berdinas di zona merah.(tan/jpnn)

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler