jpnn.com - JAKARTA – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mendesak pemerintah menuntaskan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu yang hingga kini banyak yang belum tuntas.
Meskipun pemerintah mendorong pembentukan tim rekonsiliasi untuk menyelesaikan semua kasus itu, yang penting bagaimana hak-hak korban pelanggaran HAM berat masa lalu bisa diutamakan, dan negara dapat hadir di antara mereka. Apalagi, usia korban HAM berat masa lalu saat ini banyak yang sudah senja.
BACA JUGA: Inilah Penjelasan Yusril soal Kasus Dahlan Iskan
Menurut Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai, di banyak negara kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu biasa diselesaikan melalui dua cara, yaitu jalur hukum melalui sidang pengadilan (yudisial) dan di luar pengadilan (non-yudisial).
"Namun, apapun cara yang dipilih penyelesaian itu hendaknya tidak sampai memberikan impunitas bagi para pelaku," kata Semendawai di Jakarta, Rabu (17/6).
BACA JUGA: Tersangka Pembunuh ANG akan Mempersunting Gadis Jawa, Rekan Kerja?
Semendawai mengatakan, kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sudah sepatutnya diungkap ke publik secara terang-benderang. Cara yang ditempuh bisa bermacam-macam, baik melalui pengadilan maupun komisi kebenaran.
Hanya saja, jika upaya penyelesaian yang dipilih melalui tim rekonsiliasi, hendaknya tim yang dibentuk tidak hanya berisikan aparatur negara, melainkan juga harus melibatkan lembaga non-pemerintah dan pastinya korban pelanggaran HAM berat masa lalu itu.
BACA JUGA: Menyesal, Mengenal Angeline setelah Dia Tiada
Karena di balik pengungkapan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, kata dia, ada hal penting lainnya yang mendesak diperhatikan, yakni hak-hak para korban.
Karena itulah, upaya dari pihak-pihak yang terlibat dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, sebisa mungkin jangan sampai berlarut-larut karena para korban menunggu kepastian. Dengan demikian, masalah ini tidak terkatung-katung, apalagi sampai memakan waktu hingga bertahun-tahun.
"Negara sendiri wajib hadir di antara korban pelanggaran HAM berat karena mereka sangat membutuhkan bantuan," katanya.
Hal itu jelas diatur dalam Undang-undang (UU) nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Korban dan Korban sebagaimana telah disempurnakan melalui UU nomor 31 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 13 tahun 2006.
"Beban pelanggaran HAM masa lalu diharapkan tidak berlangsung lama karena kita akan sulit untuk keluar dari permasalahan tersebut. Sementara, masih banyak permasalahan baru yang mesti diatasi," tutur dia.
Menurut Semendawai, berdasarkan mandat dari UU 13 tahun 2006 yang telah disempurnakan melalui UU 31 tahun 2014, LPSK tidak hanya bertugas memberikan layanan bagi saksi, tetapi juga korban.
"Salah satunya korban kasus pelanggaran HAM berat masa lalu," tegasnya.
Fungsi pelayanan dimaksud antara lain pemberian bantuan medis, rehabilitasi psikososial dan psikologis. LPSK menjadi motor tugas ini karena sebelumnya belum ada lembaga yang pernah melaksanakannya.
Seperti diberitakan, Tim Gabungan Rekonsiliasi yang tengah digagas pemerintah terdiri dari beberapa instansi, seperti Polri, Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Kejaksaan Agung, TNI, Badan Intelijen Negara (BIN) dan Kementerian Hukum dan HAM.
Mereka akan menyelesaikan tujuh berkas pelanggaran HAM yang kini berada pada Komnas HAM, yakni perkara Talang Sari, Wamena Wasior, penghilangan orang secara paksa, peristiwa penembakan misterius (petrus), G30S/PKI, kerusuhan Mei 1998, dan pelanggaran HAM di Timor Timur.(boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jenazah Angeline Diiringi Takbir, Tahlil, dan Tangis
Redaktur : Tim Redaksi