jpnn.com, JAKARTA - Pimpinan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) telah melaporkan temuannya terkait kasus karangkeng manusia di Langkat, Sumatera Utara, kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu menuturkan setidaknya ada tiga hal pokok yang disampaikan kepada Menko Polhukam.
BACA JUGA: Oknum TNI Terlibat Kasus Kerangkeng Manusia, Siapa Dia? Komnas HAM Bilang...
Pertama, kata dia, mempertimbangkan peristiwa yang telah berlangsung selama sepuluh tahun terakhir dengan banyaknya korban, serta diduga kuat melibatkan banyak pihak.
Edwin mendorong Kemenko Polhukam dapat memproses penegakan hukum yang berorientasi pemenuhan hak-hak korban.
BACA JUGA: Uang Zakat ASN Rp 1,1 Miliar Ditilap, Astagfirullah, Pelakunya Ternyata
“LPSK menyampaikan informasi kepada Kemenko Polhukam, temuan kerangkeng manusia di kediaman Bupati Langkat Terbit Rencana Paranginangin pada 18 Januari 2022 ketika KPK hendak melakukan penangkapan kepada yang bersangkutan. Namun, hingga saat ini belum didapat informasi tentang tindak pidana dan tersangka atas peristiwa temuan kerangkeng tersebut,” kata Edwin dalam siaran pers, Kamis (3/3).
Kedua, lanjut Edwin, atas proses hukum yang berjalan, Kemenko Polhukam perlu mengoordinasikan dan melakukan pemantauan, termasuk juga asistensi terhadap pihak-pihak terkait atas kepastian hukum dan pasal yang akan dikenakan.
BACA JUGA: Tengah Malam Prajurit TNI AL Menggerebek Rumah Milik RR, Ada Puluhan Pria dan Wanita
Menurutnya, hal itu penting agar pihak yang terlibat dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan tetap mengedepankan dan mengakomodasi hak-hak korban. Termasuk saksi serta siapa pun yang memiliki informasi penting guna pengungkapan perkara.
“Perlu didalami dugaan terjadinya penganiayaan, perampasan kemerdekaan dan perdagangan orang, serta pembiaran terhadap peristiwa yang diduga telah berlangsung selama sepuluh tahun ini,” ujar Edwin.
Ketiga, sambung Edwin, Kemenko Polhukam perlu mendorong ketegasan dan percepatan penegakan hukum dalam pengungkapan perkara.
Tujuannya, agar masyarakat kembali optimistis dan berani menyampaikan kebenaran dan menuntut hak sesuai ketentuan yang berlaku.
“Semua korban kerangkeng berhak atas restituti,” tegas Edwin.
Dari investigasi dilakukan, LPSK mendapatkan 25 temuan, yaitu pengondisian masyarakat untuk mendukung keberadaan sel, tidak semua tahanan merupakan pecandu narkoba, tidak semua tahanan berasal dari Kabupaten Langkat, tidak ada aktivitas rehabilitasi, dan tempat tinggal tidak layak.
Kemudian, pembatasan kunjungan, tidak diperbolehkannya membawa alat komunikasi, perlakuan orang dalam kerangkeng sebagai tahanan, mereka tinggal di kerangkeng dalam keadaan terkunci, dan kegiatan peribadatan dibatasi.
Selain itu, tim LPSK juga menemukan para tahanan dipekerjakan tanpa upah di perusahaan sawit, ada dugaan pungutan, ada batas waktu penahanan selama satu tahun enam bulan, ada yang ditahan sampai dengan empat tahun, pembiaran yang terstruktur, dan adanya pernyataan tertulis tidak akan menuntut bila sakit atau meninggal.
Selain itu, LPSK juga menemukan ada informasi dugaan korban tewas tidak wajar, dugaan adanya kereng III (sel ketiga), adanya keterlibatan anak bupati dan orang-orang dari organisasi tertentu, dan adanya keterlibatan oknum TNI.
“Setidaknya ada lima oknum TNI yang terlibat. Nama, pangkat dan kesatuan sudah ada di tangan LPSK,” beber Edwin.
Temuan lain, adanya tim pemburu bagi mereka yang melarikan diri, hukuman badan, dugaan adanya kekerasan seksual terhadap mereka yang ditempatkan dalam kerangkeng.
LPSK berharap temuan dan informasi yang disampaikan para korban, tidak hanya berakhir sebagai konsumsi publik.
"Peristiwa ini seharusnya berujung kepada proses hukum untuk menindak siapa pun pelakunya dan menghadirkan keadilan bagi para korbannya, termasuk pemenuhan ganti rugi," katanya. (tan/jpnn)
Redaktur : Rah Mahatma Sakti
Reporter : Fathan Sinaga