jpnn.com, JAKARTA - Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Adjie Alfaraby memberkan temuan riset yang dilakukannya terkait data golput di Pilkada 2024.
Menurut Adjie, data golput di hajatan lima tahunan ini mengalami kenaikan di tujuh provinsi besar pada Pilkada 2024 ini.
BACA JUGA: 42 Persen Pemilih Golput di Pilgub Jakarta 2024, Terbanyak Memilih saat Anies vs Ahok
"Data quick count LSI menunjukkan bahwa rata-rata angka golput di tujuh provinsi ini 37,63 persen. Jadi ini dibikin rata-rata dari golput di tujuh provinsi ini," kata Adjie Alfaraby saat konferensi pers, Rabu (4/12).
Adjie memaparkan perbandingan angka golput di tujuh provinsi besar. Seperti di Jakarta, pada Pilkada sebelumnya persentase angka golput sebesar 20,5 persen. Sedangkan, di tahun ini naik jauh mencapai 46,91 persen.
BACA JUGA: Polres Rohul Menggelar Pamong Menyapa Spesial Antisipasi Golput Pada Pilkada 2024
Selanjutnya si Banten, sebelumnya 36,1 persen, kini menjadi 37,78 persen. Untuk Jawa Barat, angka golput naik signifikan dari 29,7 persen sebelumnya, menjadi 36,98 persen.
Kemudian, Jawa Tengah turun sedikit dari pilgub sebelumnya 32,36, menjadi 29,48 persen. Angka golput di Jawa Timur naik dari 33,08 persen persen, kini menjadi 34,68 persen.
Selanjutnya di Sumatera Utara dari 38,22 persen naik signifikan menjadi 46,41 persen. Provinsi Sulawesi Selatan dari 29,84 persen, kini menjadi 31,14 persen.
"Tren rata-rata kenaikan golput pada Pilkada 2024 sekitar 6,23 persen," tuturnya.
Adjie menyatakan hasil riset LSI Denny JA ditemukan kombinasi empat hal faktor yang menyebabkan angka golput tinggi.
Pertama, kelelahan pemilu. Perhatian dan energi sudah terkuras dalam Pilpres dan Pileg 2024.
"Jadi, pertarungan Pilkada 2024 menjadi kurang daya tariknya," katanya.
Kedua, kandidat yang bertarung dianggap kurang pesonanya. Terutama di Jakarta dan Sumatera Utara. Kandidat yang lebih favorit di daerah itu, seperti Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama di Jakarta, terhambat maju secara politik.
Ketiga, makin tak yakin seberapa besar kepala daerah ke depannya bisa mengubah hidup masyarakat setempat.
"Makin ada keyakinan keputusan penting yang berdampak dalam hidup mereka lebih ditentukan pemerintah pusat," ungkapnya.
Selanjutnya, faktor keempat, bertambahnya apatisme politik. Isu polarisasi politik, korupsi di kemewahan hidup sebagian pejabat negara.
"Hal ini membuat apatisme politik meninggi," paparnya.
Adjie menerangkan golput juga memperkuat polarisasi. Demokrasi berubah menjadi pertarungan antar kelompok kecil, bukan arena konsensus bersama. Lebih buruk lagi, rendahnya partisipasi mendorong politik elitisme.
Adjie berpesan hajatan pilkada perlu kembali digairahkan.
Kampanye edukasi politik harus dilakukan berkesinambungan, menggunakan pendekatan kreatif seperti media sosial, drama, atau influencer. (mcr10/jpnn)
"Pesan utamanya adalah: setiap suara adalah investasi untuk masa depan," pungkas Adjie.
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul