JAKARTA -- Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Imparsial meminta pelaku penembakan delapan anggota TNI di Papua segera ditangkap dan wajib di proses hukum.
"Penembakan TNI wajib di proses, bahkan kekerasan sebelum ini, dan banyak kasus kekerasan di Papua harus dibongkar oleh kepolisian daerah Papua, itu harus dijalankan," ujar Direktur Penelitian Imparsial, Al Araf, di Jakarta, Kamis (28/2).
Selain itu, Al meminta operasi milter supaya dihentikan. Menurutnya lebih baik dilakukan dengan membangun ruang dialog baru agar tidak lagi menimbulkan korban jiwa. Ia menilai, tingkat konflik di Papua masih dapat ditangani melalui operasi penegakan hukum, tanpa harus melakukan operasi militer.
"Saya kira konflik di Papua masih bisa ditangani melalui operasi penegakan hukum, dimana polisi masih tetap menjadi garda di depan untuk mengatasi persoalan konflik di Papua," paparnya.
Sehingga, sambung Al, jika diperlukan perbantuan dari pihak militer harus sesuai dengan ketentuan dalam memperdayakan TNI gangguan kemanan selain perang.
"Perbantuan itu sifatnya harus dan semestinya harus didasarkan pada putusan presiden sesuai pasal 7 ayat 3 UU TNI, sesuai persetujuan atau legitimasi politik," pungkasnya.
Seperti diketahui, aksi penembakan dari orang tak dikenal kembali terjadi di wilayah Kabupaten Puncak Jaya dan dan Kabupaten Puncak, Papua. Pada Kamis lalu (21/2). Sebanyak delapan anggota TNI tewas tertembak. Delapan anggota TNI itu tertembak di dua tempat berbeda, yakni satu orang di wilayah Tinggi Nambut, Kabupaten Puncak Jaya dan tujuh orang lainnya di Distrik Sinak, Kabupaten Puncak.
Peristiwa penembakan di Tinggi Nambut, Kabupaten Puncak Jaya terjadi pada pukul 09.30 WIT. Saat itu, Pos TNI yang terletak di Tinggi Nambut, Kabupaten Puncak Jaya, diserang orang tak dikenal yang mengakibatkan, Pratu Wahyu Wibowo, dari Yonif 753 tewas dan rekannya Lettu Reza dari Yonif 753 tertembak di lengan. "Mereka ditembak dari ketinggian depan Pos TNI yang jaraknya sekitar 300 meter," kata Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih, Letkol Infantri Jansen Simanjuntak di Kota Jayapura, Kamis (21/2).
Sedangkan peristiwa kedua terjadi pada pukul 10.30 WIT di Distrik Sinak, Kabupaten Puncak. Saat itu ada 12 orang anggota TNI dari Koramil 1714 Sinak menuju Bandara Ilaga, yang berjarak sekitar kurang lebih tiga kilometer. Para prajurit TNI ini hendak mengambil alat komunikasi, tapi di tengah perjalanan yang kondisinya mendaki, mereka diadang dan ditembaki sekelompok orang bersenjata dari atas bukit.
Dari kejadian ini, tujuh anggota TNI tewas di tempat, yakni Pratu Mustofa dan Sertu M Udin, dari Koramil Sinak 1714 PJ. Lima orang lainnya dari Batalion 753 Nabire, yakni Sertu Ramadhan, Sertu Frans, Pratu Edi, Praka Jojo Wiharjo dan Praka Wempi. "Dari dua kasus penyerangan itu, baik di Kabupaten Puncak Jaya dan Kabupaten Puncak, tak ada senjata yang dirampas oleh kelompok penyerang, semua senjata masih ada pada tempatnya," tuturnya.
Menurut Jansen, kelompok yang menyerang dipastikan kelompok berjumlah pasukan besar. Jika tidak, mereka tak berani melakukan penyerangan. "Tapi berapa pasti jumlahnya, motifnya apa, kelompok siapa dan jenis senjata yang digunakan dalam kasus, kami belum ketahui. Ini baru bisa terungkap jika sudah ada olah tempat kejadian perkara," tutup Jansen. (chi/jpnn)
"Penembakan TNI wajib di proses, bahkan kekerasan sebelum ini, dan banyak kasus kekerasan di Papua harus dibongkar oleh kepolisian daerah Papua, itu harus dijalankan," ujar Direktur Penelitian Imparsial, Al Araf, di Jakarta, Kamis (28/2).
Selain itu, Al meminta operasi milter supaya dihentikan. Menurutnya lebih baik dilakukan dengan membangun ruang dialog baru agar tidak lagi menimbulkan korban jiwa. Ia menilai, tingkat konflik di Papua masih dapat ditangani melalui operasi penegakan hukum, tanpa harus melakukan operasi militer.
"Saya kira konflik di Papua masih bisa ditangani melalui operasi penegakan hukum, dimana polisi masih tetap menjadi garda di depan untuk mengatasi persoalan konflik di Papua," paparnya.
Sehingga, sambung Al, jika diperlukan perbantuan dari pihak militer harus sesuai dengan ketentuan dalam memperdayakan TNI gangguan kemanan selain perang.
"Perbantuan itu sifatnya harus dan semestinya harus didasarkan pada putusan presiden sesuai pasal 7 ayat 3 UU TNI, sesuai persetujuan atau legitimasi politik," pungkasnya.
Seperti diketahui, aksi penembakan dari orang tak dikenal kembali terjadi di wilayah Kabupaten Puncak Jaya dan dan Kabupaten Puncak, Papua. Pada Kamis lalu (21/2). Sebanyak delapan anggota TNI tewas tertembak. Delapan anggota TNI itu tertembak di dua tempat berbeda, yakni satu orang di wilayah Tinggi Nambut, Kabupaten Puncak Jaya dan tujuh orang lainnya di Distrik Sinak, Kabupaten Puncak.
Peristiwa penembakan di Tinggi Nambut, Kabupaten Puncak Jaya terjadi pada pukul 09.30 WIT. Saat itu, Pos TNI yang terletak di Tinggi Nambut, Kabupaten Puncak Jaya, diserang orang tak dikenal yang mengakibatkan, Pratu Wahyu Wibowo, dari Yonif 753 tewas dan rekannya Lettu Reza dari Yonif 753 tertembak di lengan. "Mereka ditembak dari ketinggian depan Pos TNI yang jaraknya sekitar 300 meter," kata Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih, Letkol Infantri Jansen Simanjuntak di Kota Jayapura, Kamis (21/2).
Sedangkan peristiwa kedua terjadi pada pukul 10.30 WIT di Distrik Sinak, Kabupaten Puncak. Saat itu ada 12 orang anggota TNI dari Koramil 1714 Sinak menuju Bandara Ilaga, yang berjarak sekitar kurang lebih tiga kilometer. Para prajurit TNI ini hendak mengambil alat komunikasi, tapi di tengah perjalanan yang kondisinya mendaki, mereka diadang dan ditembaki sekelompok orang bersenjata dari atas bukit.
Dari kejadian ini, tujuh anggota TNI tewas di tempat, yakni Pratu Mustofa dan Sertu M Udin, dari Koramil Sinak 1714 PJ. Lima orang lainnya dari Batalion 753 Nabire, yakni Sertu Ramadhan, Sertu Frans, Pratu Edi, Praka Jojo Wiharjo dan Praka Wempi. "Dari dua kasus penyerangan itu, baik di Kabupaten Puncak Jaya dan Kabupaten Puncak, tak ada senjata yang dirampas oleh kelompok penyerang, semua senjata masih ada pada tempatnya," tuturnya.
Menurut Jansen, kelompok yang menyerang dipastikan kelompok berjumlah pasukan besar. Jika tidak, mereka tak berani melakukan penyerangan. "Tapi berapa pasti jumlahnya, motifnya apa, kelompok siapa dan jenis senjata yang digunakan dalam kasus, kami belum ketahui. Ini baru bisa terungkap jika sudah ada olah tempat kejadian perkara," tutup Jansen. (chi/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tokoh Islam Serahkan Video Kekerasan Polisi ke Kapolri
Redaktur : Tim Redaksi