BEIRUT – Konflik berkepanjangan di Syria tidak hanya menelan banyak nyawa warga. Kehidupan anak-anak ikut pula terenggut akibat perang saudara di negara di tepi Laut Mediterania itu.
Organisasi nonpemerintah atau LSM Save the Children menyebut bahwa banyak anak direkrut agar terlibat perang oleh pihak yang bertikai. Selain ikut mengangkat senjata, anak-anak itu dijadikan mata-mata dan bahkan tameng hidup.
Lembaga yang berkantor pusat di London, Inggris, itu mengungkapkan bahwa banyak bocah mengalami trauma emosi berlapis-lapis dan tidak mudah untuk disembuhkan. Sebab, anak-anak Syria itu menjadi korban penembakan, penganiayaan, dan pemerkosaan selama dua tahun konflik tersebut berlangsung.
Dalam laporannya Rabu (13/3), Save the Children membeber bahwa dua juta anak Syria menghadapi ancaman malnutrisi, penyakit, pernikahan dini, dan trauma parah. Mereka menjadi korban tidak berdosa akibat konflik yang telah menelan lebih dari 90 ribu jiwa tersebut.
’’Perang (di Syria) membuat anak-anak dan perempuan menjadi korban terbesar,’’ terang Chief Executive Save the Children Justin Forsyth kepada Reuters di sela kunjungannya ke Lebanon. Di negara itu, 340 ribu pengungsi Syria saat ini menetap.
Menurut Forsyth, dirinya telah bertemu dengan seorang bocah 12 tahun yang menyaksikan sahabatnya tewas di luar sebuah toko roti. ’’Bocah itu ditembak tepat pada bagian jantungnya. Tapi, awalnya dia mengira bahwa temannya itu hanya bercanda karena tidak ada darah yang keluar dari tubuhnya. Baru disadari saat baju yang dikenakan korban dilepas,’’ kisahnya.
Laporan Save the Children mengutip penelitian terbaru atas anak-anak pengungsi konflik Syria yang dilakukan Universitas Bahcesehir di Turki. Mereka pun menemukan bahwa satu di antara tiga anak-anak pengungsi mengalami pemukulan, ditendang, dan ditembak.
Riset itu juga menyebutkan bahwa tiga di antara empat responden anak terpaksa hidup terpisah dari keluarganya akibat konflik. Para bocah itu pun mengaku menyaksikan anggota keluarga, teman, dan sahabat mereka tewas.
’’Anak-anak itu bercerita berdasar fakta dan Anda akan menyadari bahwa mereka mengalami trauma yang berlapis-lapis,’’ tutur Forsyth. Bahkan, para pengungsi menyatakan bahwa tentara loyalis Presiden Bashar al-Assad menjadikan anak-anak sebagai target langsung.
Forsyth mengaku telah bertemu seorang anak yang pernah dipenjara dalam satu sel bersama 150 tahanan lainnya. Ada sekitar 50 anak dalam sel tersebut. ’’Dia dikeluarkan setiap hari dan dimasukkan dalam roda raksasa hingga disundut rokok. Usianya masih 15 tahun. Trauma itu yang membuah anak-anak menderita,’’ paparnya.
Selain penyiksaan, lanjut Forsyth, banyak anak menjadi korban pemerkosaan di Syria. Sayangnya, dia tak menyebut angka atau data secara pasti. Dia hanya menyebut bahwa pemerkosaan sering diterapkan untuk menghukum orang. ’’Pada kebanyakan negara yang dilanda konflik, lebih dari 50 persen kasus pemerkosaan terjadi pada anak-anak. Saya yakin ini juga terjadi dalam konflik di Syria,’’ tandasnya. (RTR/cak/dwi)
Organisasi nonpemerintah atau LSM Save the Children menyebut bahwa banyak anak direkrut agar terlibat perang oleh pihak yang bertikai. Selain ikut mengangkat senjata, anak-anak itu dijadikan mata-mata dan bahkan tameng hidup.
Lembaga yang berkantor pusat di London, Inggris, itu mengungkapkan bahwa banyak bocah mengalami trauma emosi berlapis-lapis dan tidak mudah untuk disembuhkan. Sebab, anak-anak Syria itu menjadi korban penembakan, penganiayaan, dan pemerkosaan selama dua tahun konflik tersebut berlangsung.
Dalam laporannya Rabu (13/3), Save the Children membeber bahwa dua juta anak Syria menghadapi ancaman malnutrisi, penyakit, pernikahan dini, dan trauma parah. Mereka menjadi korban tidak berdosa akibat konflik yang telah menelan lebih dari 90 ribu jiwa tersebut.
’’Perang (di Syria) membuat anak-anak dan perempuan menjadi korban terbesar,’’ terang Chief Executive Save the Children Justin Forsyth kepada Reuters di sela kunjungannya ke Lebanon. Di negara itu, 340 ribu pengungsi Syria saat ini menetap.
Menurut Forsyth, dirinya telah bertemu dengan seorang bocah 12 tahun yang menyaksikan sahabatnya tewas di luar sebuah toko roti. ’’Bocah itu ditembak tepat pada bagian jantungnya. Tapi, awalnya dia mengira bahwa temannya itu hanya bercanda karena tidak ada darah yang keluar dari tubuhnya. Baru disadari saat baju yang dikenakan korban dilepas,’’ kisahnya.
Laporan Save the Children mengutip penelitian terbaru atas anak-anak pengungsi konflik Syria yang dilakukan Universitas Bahcesehir di Turki. Mereka pun menemukan bahwa satu di antara tiga anak-anak pengungsi mengalami pemukulan, ditendang, dan ditembak.
Riset itu juga menyebutkan bahwa tiga di antara empat responden anak terpaksa hidup terpisah dari keluarganya akibat konflik. Para bocah itu pun mengaku menyaksikan anggota keluarga, teman, dan sahabat mereka tewas.
’’Anak-anak itu bercerita berdasar fakta dan Anda akan menyadari bahwa mereka mengalami trauma yang berlapis-lapis,’’ tutur Forsyth. Bahkan, para pengungsi menyatakan bahwa tentara loyalis Presiden Bashar al-Assad menjadikan anak-anak sebagai target langsung.
Forsyth mengaku telah bertemu seorang anak yang pernah dipenjara dalam satu sel bersama 150 tahanan lainnya. Ada sekitar 50 anak dalam sel tersebut. ’’Dia dikeluarkan setiap hari dan dimasukkan dalam roda raksasa hingga disundut rokok. Usianya masih 15 tahun. Trauma itu yang membuah anak-anak menderita,’’ paparnya.
Selain penyiksaan, lanjut Forsyth, banyak anak menjadi korban pemerkosaan di Syria. Sayangnya, dia tak menyebut angka atau data secara pasti. Dia hanya menyebut bahwa pemerkosaan sering diterapkan untuk menghukum orang. ’’Pada kebanyakan negara yang dilanda konflik, lebih dari 50 persen kasus pemerkosaan terjadi pada anak-anak. Saya yakin ini juga terjadi dalam konflik di Syria,’’ tandasnya. (RTR/cak/dwi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Masyarakat Italia tak Berambisi Pengganti Paus dari Roma
Redaktur : Tim Redaksi