Lubang – Lubang Diasapi, Den Baguse Keluar, Masuk Perangkap

Selasa, 12 Maret 2019 – 08:45 WIB
Noto Susilo, 54, petani Desa Jogorejo, Sendangsari, Minggir, Sleman menunjukkan tikus hasil tangkapannya Sabtu (9/3). Foto: ELANG KHARISMA DEWANGGA/RADAR JOGJA

jpnn.com - Para petani di wilayah barat Sleman, Yogyakarta, sudah menerapkan berbagai cara untuk menangkal serangan hama tikus, yang oleh penduduk setempat disebut Den Baguse. Memelihara burung hantu (tyto alba), mina padi, hingga memasang jebakan dengan trap barrier system (TBS).

Namun cara itu dinilai membutuhkan biaya mahal. Sehingga para petani tetap mempertahankan cara menangkal tikus secara tradisional.

BACA JUGA: Tahan Imbang Madura United, Persija Tetap Puncaki Klasemen

Sejauh ini gropyokan tikus dinilai sebagai langkah paling efektif. Dilakukan serentak. Melibatkan puluhan petani. Di satu kawasan luas lahan pertanian.

Sekali gropyok saja bisa dapat ribuan ekor tikus. Gropyokan tikus dilakukan dengan mengasapi lubang-lubang tanah. Lubang itulah yang menjadi akses Den Baguse. Tak berapa lama tikus-tikus akan keluar.

BACA JUGA: Ada Lagi Dugaan Percobaan Culik Anak, Polisi tak Mau Gegabah

Di depan lubang itu petani memasang semacam alat jebakan. Berupa keranjang dari kawat besi. Dalam satu lubang saja bisa terdapat puluhan ekor tikus.

Itulah kenapa petani, khususnya di wilayah barat Sleman, masih mentradisikan gropyokan tikus. Dianggap sebagai cara paling jitu untuk menekan populasi tikus.

BACA JUGA: Sukses Cegah Tawuran, Kakak Hasto Jadi Caleg PDIP di Sleman

BACA JUGA: 24 PNS Sudah Dipecat, tak Berhak Terima Dana Pensiunan

“Kalau sudah diserang Den Baguse, bisa dibilang petani gagal total. Meski ada yang bisa dipanen, jumlahnya tak seberapa,” ungkap Noto Susilo, 54, petani di Padukuhan Jogorejo, Sendangsari, Minggir, Sleman akhir pekan lalu.

Sawah milik Noto seluas 7.700 meter persegi yang digarap bersama dua petani lain tidak luput dari serangan tikus. Beruntung dia telah menerapkan teknologi TBS. "Kami masih bisa panen 3 ton beras," ujarnya.

TBS memang butuh biaya. Untuk menyiapkan peralatannya saja Noto harus merogoh kocek sekitar Rp 1,5 juta. Namun, hasil yang didapat cukup sebanding. Setiap hari petani juga harus mengecek kondisi plastik yang dipakai untuk menutupi tanaman padi.

Petani juga harus rutin mengecek bubu atau perangkap tikus. Untuk melihat ada tidaknya tikus yang terperangkap. Itulah sistem TBS. Yang oleh sebagian petani tak hanya dianggap mahal. Tapi juga ribet.

Tahun lalu, kata Noto, serangan tikus sangat parah. Noto bahkan harus memasang 9 bubu di lahan miliknya. Hasilnya, setiap bubu bisa memerangkap sedikitnya 36 tikus. Bahkan bisa lebih. "Ada kalau 2.500-an tikus yang tertangkap," ungkapnya.

Di wilayah Minggir juga telah dikembangkan budidaya tyto alba. Keberadaan burung hantu dinilainya hanya sedikit membantu petani. Sebab, jumlah tikus dan burung hantu tidak seimbang. Itu makanya keberadaan burung hantu dicap tak efektif menangkal tikus. "Kan makan burung hantu juga terbatas," ujarnya.

Belum lagi jika ada pemburu liar. Tak jarang Noto mendengar suara senapan pemburu liar yang membuat takut burung hantu. Populasi burung hantu pun terus berkurang karena diburu manusia.

Cara lain menangkal tikus adalah sistem tanam mina padi. Seperti yang telah dicanangkan Pemkab Sleman. Sejak beberapa tahun lalu. Metode ini dilakukan dengan membuat parit mengelilingi area sawah.

Parit diisi air untuk memelihara ikan. Kendati sudah dicangkan, sistem mina padi juga tak berjalan efektif. Meskipun tak ada kendala air yang mengalir setiap saat.

BACA JUGA: Honorer K2 Ditarik Iuran Rp 500 Ribu per Orang untuk Silatnas

Kendala utamanya, menurut Nono, kondisi geografis. Mina padi tak bisa diterapkan di seluruh area sawah. Di sisi lain, petani harus merelakan sebagian lahannya untuk dibuat kolam ikan. Itu pun, kata Noto, belum menjamin sawah terbebas dari tikus. “Tikus bisa berenang. Perawatan mina padi juga lebih repot dari TBS," bebernya.

Sawah yang diserang tikus sepintas memang tak kelihatan. Hewan pengerat itu biasanya menyerang tanaman padi siap panen dari bagian tengah sawah. Sehingga petani akan tak menyangka jika sawahnya telah puso. Saat itulah para petani baru melakukan gropyokan tikus.

Tikus biasanya menyeramg tanaman padi berusia 30-40 hari. "Kalau sudah agak tua tikus tidak suka," ungkap Noto.

Setiap tahun ulah Den Baguse kian merajalela. Data Dinas Pertanian, Pangan, dan Perikanan Sleman menunjukkan, pada 2018 sedikitnya 3.535 hektare sawah diserang Den Baguse. Dari luasan tersebut, 56 ha di antaranya gagal panen karena puso.

Sementara 55 ha lainnya rusak berat, 368 ha rusak sedang, dan 3.056 ha rusak ringan. Serangan tikus meningkat drastis dibanding 2017. Saat itu serangan Den Baguse mengakibatkan 1.499 ha sawah rusak ringan, 121 ha rusak sedang, dan 7 ha rusak berat. Sedangkan 31 ha puso.

Serangan tikus terparah di wilayah barat Kabupaten Sleman. Di area yang dikenal dengan sebagai lumbung pangannya Sleman. Serangan Den Baguse meluas ke area sawah yang berbatasan dengan wilayah barat Sleman. Seperti Sedayu, Bantul dan Nanggulan, Kulonprogo.

Bahkan sejak tiga tahun terakhir tak kurang 69 hektare sawah di wilayah Moyudan, Sleman tak ditanami padi. Karena petani tak mau terus-terusan merugi. Akibat gagal panen.

Ketua Gapoktan Rejeki Mulia Sumberagung, Moyudan Edi Wasito mengatakan, lahan produktif seluas 25 ha yang dikelola kelompoknya tiga kali puso. Saat ini menjadi lahan tidur. “Sebelum ditanami lagi kami akan terus gropyokan tikus sampai 17 Maret mendatang,” katanya.

Menurut Edi, serangan Den Baguse menyebabkan hasil panen merosot tajam. Turun drastis hingga 80 persen. Dibanding tahun-tahun sebelumnya. ”Petani paling banyak hanya bisa membawa pulang 25 persen hasil panen,” sesalnya.

Kalaupun ada yang berhasil panen, jumlahnya bisa dihitung jari. Hasilnya pun, kata Edi, tak cukup untuk menutup biaya operasional. Kondisi itu menyeluruh hampir merata se-Moyudan.

Askoto, 57, petani lain asal Jetis Depok, Sendangsari, Minggir, punya pengalaman lain tentang Den Baguse. Dia pasrah saat Den Baguse menyerang. Menurutnya, setiap petak sawah seluas 600 meter persegi bisa menghasilkan 3-4 kuintal beras.

Akibat serangan tikus, hasil panen tak pernah lebih dari satu kuintal. Askoto mengaku tak menyukai sistem mina padi. Selain ribet, ada persoalan pembagian air. Susah dibagi rata untuk setiap petaknya. “Mau diapakan juga tikus selalu ada,” keluhnya.

Diceritakannya, wilayah Jetis Depok pernah bebas dari serangan tikus. Selama dua tahun. Tapi itu dulu. Setelah salah seorang petani mengambil air dari Candi Tikus di Jawa Timur. "Air itu kan jumlahnya terbatas. Hanya dua tangki. Lalu dicampur air biasa untuk menyiram tanaman. Selama dua tahun itu aman," ungkapnya.

Askoto sebenarnya tak percaya mistis. Namun realita itu terjadi. Kawanan tikus itu tidak takut dengan keberadaan manusia. Tahun ketiga setelahnya tikus kembali menyerang. Bahkan lebih ganas. Menghabiskan hampir seluruh lahan.

"Wis panganen kabeh. Iso panen piro wae tak tampa (Sudah makan saja semuanya, bisa panen berapa pun saya terima)," ucapnya.

Dikatakan, pemerintah setempat kerap menyarankan petani untuk menanam padi secara bersamaan. Cara itu diyakini mampu untuk menekan serangan tikus. Namun cara itu, menurut Askoto, sulit dilakukan. "Tanam bersamaan, pembagian airnya susah," keluhnya.

Kepala Dinas Pertanian, Pangan, dan Perikanan Kabupaten Sleman Heru Saptono menyatakan, hama tikus tak bisa dihindarkan. Itu menjadi tantangan utama pemerintah untuk menangkalnya. Sebab, tak sedikit petani yang kerap gagal panen enggan lagi bertani. “Mereka alih profesi. Pilih kerja di indistri kecil,” ungkapnya.

Heru membenarkan, gropyokan tikus menjadi cara tradisional yang paling memungkinkan bagi petani. Namun, sistem TBS lebih disarankan. Juga mina padi. Juga sistem tanam padi dengan metode tajarwa. Alias tanam jajar legawa. (har/cr7/yog)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengin Urus E-KTP Cepat, Bayar Rp 150 Ribu


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler