JAKARTA – Pihak Universitas Lampung (Unila) perlu segera menyikapi kasus Fajrian, mahasiswa yang diduga lulus tanpa skripsi. Sebab, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengancam membekukan jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unila.
Adalah Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Tinggi Kemendikbud Joko Santoso yang menegaskan hal itu ketika diwawancarai Radar Lampung kemarin. ’’Itu sanksi untuk universitas yang banyak meluluskan mahasiswa tidak sesuai prosedur dan standar,’’ tandasnya.
Seperti diketahui, kasus Fajrian sebenarnya bukan masalah baru yang mencoreng citra Unila. Namun, kedua setelah Sally Budi Utami dari fakultas teknik sipil.
Sally kala itu memalsukan ijazah untuk melamar CPNSD Pemkot Bandarlampung pada 2009. Setelah kasus ini diangkat Radar Lampung, Sally akhirnya mendapat penalti: status PNS dan kelulusannya dibatalkan. Ia bahkan sempat di penjara.
Sementara, sanksi untuk Fajrian jelas. Kemendikbud akan mencabut gelar kesarjanaannya sebagai sarjana ilmu komunikasi. Sebab, mahasiswa tidak bisa diwisuda tanpa skripsi, yang merupakan salah satu syarat wajib untuk mendapat gelar sarjana.
’’Jangankan tidak membuat skripsi, melakukan plagiat saja bisa dicabut gelar kesarjanaan,’’ tandas Joko yang ditemui usai rapat kerja dengan Komisi X DPR di Senayan, Jakarta, Rabu (22/5). Dia berjanji menyeriusi kasus ini dan mengklarifikasi pihak Unila.
Terpisah, anggota Majelis Rektor Indonesia (MRI) Prof. Bejo Suryanto ikut mengkritisi kebijakan rekannya, Rektor Unila Prof. Sugeng P. Harianto. Menurut Suryanto, langkah Sugeng melanggar aturan akademik.
Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu mengatakan, kebijakan yang diambil dalam membantu mahasiswa, harusnya tetap dalam koridor aturan akademik.
Dia mencontohkan, di UNJ diatur dalam peraturan akademik tentang proses wisuda tanpa membuat skripsi. Karenanya, lulusan UNJ diperbolehkan tidak membuat skripsi. Tapi, hal sama tidak dapat diberlakukan di Unila.
Bagaimana dengan alasan Sugeng yang menyatakan kebijakannya itu untuk meningkatkan angka partisipasi kasar (APK) sehingga meminimalisasi mahasiswa yang drop out (DO)? Menurut Suryanto, kebijakan tersebut bagus, namun harus dilakukan melalui cara-cara yang benar.
Ia mencontohkan, di UNJ mahasiswa yang sudah habis masa studinya bisa kembali melanjutkan asal kembali mendaftar ulang. Konsekuensinya jumlah mata kuliah hanya diambil 75 sampai 80 persen.
Pembantu Rektor III Prof. Sunarto yang membidangi masalah kemahasiswaan menjelaskan, perkara ini sudah di tangan Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dia berharap para pihak yang memiliki kepentingan untuk tidak mempergunakan mahasiswa, atas dasar ketidaksukaan kepada salah satu pihak. ’’Itjen kan sudah turun, jadi biarkan mereka bekerja jika memang ada kesalahan prosedur akademik dalam ijazah Fajrian,’’ sarannya. (kyd/gyp/p6/c3/ade)
Adalah Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Tinggi Kemendikbud Joko Santoso yang menegaskan hal itu ketika diwawancarai Radar Lampung kemarin. ’’Itu sanksi untuk universitas yang banyak meluluskan mahasiswa tidak sesuai prosedur dan standar,’’ tandasnya.
Seperti diketahui, kasus Fajrian sebenarnya bukan masalah baru yang mencoreng citra Unila. Namun, kedua setelah Sally Budi Utami dari fakultas teknik sipil.
Sally kala itu memalsukan ijazah untuk melamar CPNSD Pemkot Bandarlampung pada 2009. Setelah kasus ini diangkat Radar Lampung, Sally akhirnya mendapat penalti: status PNS dan kelulusannya dibatalkan. Ia bahkan sempat di penjara.
Sementara, sanksi untuk Fajrian jelas. Kemendikbud akan mencabut gelar kesarjanaannya sebagai sarjana ilmu komunikasi. Sebab, mahasiswa tidak bisa diwisuda tanpa skripsi, yang merupakan salah satu syarat wajib untuk mendapat gelar sarjana.
’’Jangankan tidak membuat skripsi, melakukan plagiat saja bisa dicabut gelar kesarjanaan,’’ tandas Joko yang ditemui usai rapat kerja dengan Komisi X DPR di Senayan, Jakarta, Rabu (22/5). Dia berjanji menyeriusi kasus ini dan mengklarifikasi pihak Unila.
Terpisah, anggota Majelis Rektor Indonesia (MRI) Prof. Bejo Suryanto ikut mengkritisi kebijakan rekannya, Rektor Unila Prof. Sugeng P. Harianto. Menurut Suryanto, langkah Sugeng melanggar aturan akademik.
Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu mengatakan, kebijakan yang diambil dalam membantu mahasiswa, harusnya tetap dalam koridor aturan akademik.
Dia mencontohkan, di UNJ diatur dalam peraturan akademik tentang proses wisuda tanpa membuat skripsi. Karenanya, lulusan UNJ diperbolehkan tidak membuat skripsi. Tapi, hal sama tidak dapat diberlakukan di Unila.
Bagaimana dengan alasan Sugeng yang menyatakan kebijakannya itu untuk meningkatkan angka partisipasi kasar (APK) sehingga meminimalisasi mahasiswa yang drop out (DO)? Menurut Suryanto, kebijakan tersebut bagus, namun harus dilakukan melalui cara-cara yang benar.
Ia mencontohkan, di UNJ mahasiswa yang sudah habis masa studinya bisa kembali melanjutkan asal kembali mendaftar ulang. Konsekuensinya jumlah mata kuliah hanya diambil 75 sampai 80 persen.
Pembantu Rektor III Prof. Sunarto yang membidangi masalah kemahasiswaan menjelaskan, perkara ini sudah di tangan Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dia berharap para pihak yang memiliki kepentingan untuk tidak mempergunakan mahasiswa, atas dasar ketidaksukaan kepada salah satu pihak. ’’Itjen kan sudah turun, jadi biarkan mereka bekerja jika memang ada kesalahan prosedur akademik dalam ijazah Fajrian,’’ sarannya. (kyd/gyp/p6/c3/ade)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tolak Pasien, Kepala Puskesmas Dicopot
Redaktur : Tim Redaksi