Lulusan D3 Kuliah 3 Tahun di Taiwan dapat Gelar S2

Sabtu, 12 Januari 2019 – 05:59 WIB
Toga wisuda. Ilustrasi: pixabay

jpnn.com, TAIWAN - Tidak hanya mahasiswa Indonesia program Industry Academia Collaboration (IAC) saja yang mengalami masalah di Taiwan.

Mahasiswa peserta program fast track juga diliputi kekhawatiran. Mereka khawatir jika nanti ijazah S2 (master) dari perguruan tinggi di Taiwan tidak diakui di Indonesia atau negara lainnya.

BACA JUGA: Isu Kerja Paksa, Ini Pengakuan Mahasiswa Indonesia di Taiwan

Salah satu perguruan tinggi Taiwan yang membuka program fast track ada di Kaohsiung, Taiwan bagian selatan. Program ini menyasar lulusan D-3 asal Indonesia.

Jika mengikuti program ini, dalam tempo tiga tahun sudah bisa mendapatkan gelar S2 sekaligus. Perinciannya satu tahun untuk short term dan dua tahun untuk master.

BACA JUGA: PPI Taiwan: Ada Pelanggaran, tapi Bukan Kerja Paksa

Jawa Pos pada Selasa malam lalu (8/1) menemui salah satu mahasiswa peserta program fast track, dia tidak mau identitas dan nama kampusnya disebut. Sebab khawatir akan berdampak pada proses fast track yang dia tempuh saat ini.

"Saya memang tidak sampai mengalami kasus kuliah dan magang atau magang tidak linier seperti teman-teman saya di Tainan," kata narasumber lulusan D-3 di UNS Solo itu.

BACA JUGA: Taiwan Tanggapi Kabar Kerja Paksa Mahasiswa Indonesia

Namun yang menjadi ganjalannya saat ini adalah, apakah nanti ijazah S2 yang dia dapat dari kampus di Taiwan akan diakui di Indonesia. Pasalnya ketika program short term selesai, dia tidak mendapatkan ijazah S1.

"Saya hanya dapat selembar sertifikat short term dari kampus di Taiwan dan surat keterangan bahwa telah mengikuti program sort term dari UNS Solo," jelasnya.

Dia sempat menanyakan apakah selembar sertifikat tersebut kekuatannya setara dengan ijazah, kepada pihak UNS Solo. Ternyata tidak. Dia menanyakan hal tersebut ke UNS Solo, karena berangkat ikut program fast track melalui informasi di Taiwan Center yang berada di UNS Solo.

Saat itu dia datang di Taiwan sejak Maret 2018. Biaya yang dia keluarkan untuk mendaftar hingga sampai ke Taiwan mencapai kurang lebih Rp 10 juta.

Dia menegaskan saat ini tidak ada persoalan dengan kampus. Bahkan mendapatkan perlakuan baik. Dia hanya berharap kepada agensi yang mempromosikan program ini di Indonesia, dapat menyampaikan informasi seluruhnya secara detail. Termasuk informasi bahwa peserta program short term tidak mendapatkan ijazah S1. "Informasinya harus utuh disampaikan. Jangan ada yang dilebih-lebihkan atau dikurangi," jelasnya.

Dia mengungkapkan Fabruari nanti informasinya kemungkinan akan datang mahasiswa baru program short term asal Indonesia. Ia berharap para mahasiswa angkatan baru itu mendapatkan sosialisasi secara utuh dari pihak agensi di tanah air.

BACA JUGA: Isu Kerja Paksa, Ini Pengakuan Mahasiswa Indonesia di Taiwan

Kepada pemerintah, dia juga berharap ijazah S2 mahasiswa program fast track (D3 ke S2) di Taiwan bisa diakui. Meskipun logikanya, ijazah S2 baru diakui jika yang bersangkutan memiliki ijazah S1.

Sementara mahasiswa peserta program fast track ini tidak mendapatkan ijazah S1 di Taiwan. "Saya takut ijazah saya dianggap bodong," tuturnya. (wan)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mahasiswa Indonesia Kerja Paksa di Taiwan, Ini Langkah Nasir


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler