SELAMA ini menciptakan motor kustom hanya sebagai sarana pemenuhan keinginan pemilik dan builder. Lulut Wahyudi telah membuktikan bahwa menjadi builder motor kustom membawa nama baik bangsa.
----------
TRI MUJOKO BAYUAJI, Jogjakarta
----------
Bila seorang modifikator hanya melakukan sejumlah perubahan pada motornya, seorang builder (pembuat motor kustom) dituntut menciptakan motor, mulai kerangka, suku cadang, hingga bodi.
Itulah yang dilakoni Lulut sejak belum mendirikan workshop kustom yang diberi nama Retro Classic Cycles. Pria 36 tahun itu menyatakan, dirinya sejak usia SMP diperkenalkan pada motor klasik oleh bapaknya.
"Bapak saya membelikan motor klasik asalkan saya tidak nakal," ujar Lulut saat ditemui Jawa Pos di kantornya Selasa (8/1) lalu.
Motor yang dibelikan sang ayah bukanlah Harley-Davidson (HD) seperti impian Lulut, melainkan motor tua BMW R27 keluaran 1962. Sayangnya, motor pertama milik Lulut itu sering mogok dan bermasalah. Berkali-kali dia harus pergi ke bengkel untuk menyerviskan motor tersebut.
"Saya ke bengkel ini, tapi diberi spare parts jelek. Ke bengkel lain juga ditipu dengan modus sama," kata Lulut..
Perasaan jengkel karena ditipu itu yang memicu Lulut untuk lebih mengenal mesin motor pertamanya. Lulut pun mulai sering menemui orang-orang bengkel, menggali pengetahuan, hingga kuliah di teknik mesin. Lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Akademi Perindustrian Jogjakarta itu lalu mendirikan outlet Retro Classic Cyles pada 2002.
Bapak tiga anak itu bercerita, Retro Classic Cycles awalnya hanya membuat replika suku cadang motor-motor klasik. Replika tersebut tidak hanya untuk konsumen Indonesia. "Konsumen saya ada juga yang orang Australia," ujarnya.
Workshop-nya itu semula mengajukan aplikasi sebagai penyedia suku cadang HD langsung dari Amerika. Namun, apa daya, pada 2002 dampak krisis ekonomi masih menghantui usaha di Indonesia.
"Indonesia waktu itu di-blacklist oleh sejumlah negara. Kartu kredit susah, banyak penipuan, pokoknya macam-macam alasannya," ujar Lulut.
Hambatan itu tak membuat Lulut patah semangat. Dia pun mengambil risiko dengan mendepositkan dana sekitar USD 15 ribu untuk bisa membeli parts langsung dari HD. Lulut membeli sejumlah parts senilai depositnya itu dalam kurun waktu satu tahun.
"Saya anggap waktu itu sebagai sikap harakiri, nekat. Eh, ternyata gara-gara itu saya mendapat kepercayaan untuk promosi merek lain," tuturnya.
Suplai parts itu memudahkan Lulut berkreasi. Karya pertama yang membuahkan hasil adalah pada 2005. Motor milik konsumennya, Ardian, hasil desain kustomnya mendapat penghargaan Bike of The Month oleh sebuah situs komunitas HD.
Termasuk motor karyanya bernama King Bee yang meraih Chopper of The Month pada Juni 2008 oleh situs clubchopper.com.
Namun, karya pertama yang benar-benar diakui adalah karya Lulut yang diikutkan dalam World Custom Championship Asia Region di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 2007. "Karya saya Earthquake memenangkan runner up untuk Asia," kata Lulut.
Motor karya Lulut sengaja tidak diberi nama untuk mengenang terjadinya gempa Jogja pada 2006. Ada kenangan pahit dari penghargaan resmi itu karena money prize senilai USD 5 ribu tidak pernah dibagikan.
"Padahal, sudah disiapkan nomor rekening dan dijanjikan ditransfer, namun tidak pernah ada," ujarnya.
Kemenangan itu membuka mata internasional atas kemampuan builder Indonesia melalui Lulut. Kebetulan, karya Lulut mengalahkan kreasi Keiji Kawakita, builder asal Jepang yang kemudian mengundang Lulut untuk berpartisipasi dalam kontes kustom di Jepang. "Saya pikir ajakannya cuma bercanda, e" ternyata bukan basa-basi," ceritanya lantas tersenyum.
Benar saja, Keiji mengundang Lulut untuk ikut dalam kontes kustom Cool Breaker di Jepang, April 2010. Lulut bersama kru membawa motor modifikasi Kyai Perkoso yang berbasis mesin HD Sportster. Motor itu dikustom dengan ornamen batik dan pahatan Candi Prambanan di bagian blok mesin.
Kyai Perkoso merupakan nama pemberian raja Keraton Jogjakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X sebelum motor kustom itu berangkat ke Jepang.
Sri Sultan ketika itu memberikan tiga nama sebagai alternatif. Yakni, Kyai Gagah, Kyai Perkoso, dan Kyai Gagah Perkoso. Lulut memilih nama Kyai Perkoso sesuai dengan simbol yang terukir di motor kustom buatannya.
"Kyai Perkoso itu cuma dibuat satu setengah bulan untuk ide, satu setengah bulan untuk pembuatan, karena dikasih tahu mendadak," paparnya. Dalam ajang itu Kyai Perkoso dinobatkan sebagai Best People Choice.
Cool Breaker 2010 menjadi momentum bagi karya Indonesia melalui tangan dingin Lulut agar mendapat perhatian internasional. Setahun berikutnya, Lulut mengikuti ajang Mooneyes Hot Rod Custom Show, sebuah kontes kustom tahunan yang selalu digelar di Yokohama, Jepang.
Builder dari negara asal kustom, seperti Jimmy Shine (So Cal Speed Shop), Cool Foster-Salinas Boys (USA), Danny Schneider-Hard9 Choppers (Switzerland), Bean Bandits Landspeed Racer (USA), Shinya Kimura (Japan-USA), Jeff Decker, Harpoon, Grant Peterson (Born Free Organizer) ikut mewarnai pameran.
Di ajang ke-20 Mooneyes itu, Lulut mengirimkan karya bernama Buelton. Motor itu berbasis mesin Buell, namun menggunakan rangka dan bodi yang terinspirasi Norton. Buelton mendapat apresiasi karena seluruh bodinya terbuat dari aluminium dan dengan ukiran khas keraton yang terbuat dari kuningan.
"Membuat bodi dengan aluminium lebih sulit karena tidak sekuat baja," ujarnya.
Pada event itu Lulut mendapat penghargaan sebagai Guest of Honor Mooneyes 2011 yang diserahkan langsung oleh Presiden Mooneyes Shige Shuganuma.
Ciri khas karya Lulut adalah kombinasi kultur budaya Indonesia, dalam hal ini Jawa, dengan teknologi. Saat membuat Buelton, misalnya. Lulut mengaku sengaja memilih aluminium sebagai bahan baku ditambah ornamen khas keraton untuk memberikan daya tarik bagi pengunjung.
Menurut Lulut, berbagai ajang yang dia ikuti membuat mata dunia kaget atas kemampuan builder Indonesia. Selama ini media internasional hanya mengetahui Bali sebagai ikon wisata Indonesia. Mereka memberikan apresiasi karena Indonesia juga memiliki builder kustom yang tidak kalah oleh builder kawakan dari Amerika, Eropa, maupun Jepang.
"Kalau atlet membawa nama Indonesia lewat olahraga, saya bisanya membawa Indonesia lewat dunia saya ini," ujarnya meyakinkan.
Lulut juga senang karena perwakilan Kedutaan Besar RI di Jepang memberikan apresiasi dengan ikut mendampingi Lulut sejak berpartisipasi di Cool Breaker.
Puncak dari apresiasi internasional kepada Lulut adalah pada Desember 2012. Pasca menghadirkan Buelton, Lulut belum berniat memasukkan karyanya lagi untuk ajang Mooneyes ke-21 itu. Namun, dua minggu sebelum hajatan besar itu digelar, Lulut mendapat telepon dari panitia Mooneyes Jepang. "Saya ditelepon oleh panitia, apa saya mau ke Jepang lagi?" ujarnya.
Setelah menyampaikan hal itu, panitia menyatakan bahwa sudah ada trofi yang siap diberikan kepada Lulut, termasuk meminta kesediaannya menjadi juri tamu di Mooneyes ke-21.
"Saya kaget. Tapi, saya iya saja. Bukan atas nama pribadi, tapi bangganya orang Indonesia jadi juri kontes terbesar di luar Amerika," ungkap Lulut.
Hanya dalam dua minggu, Lulut meminta bantuan asistennya, Aan Fikriyan, untuk mem-booking tiket dan mendapatkan visa ke Jepang. Di ajang Mooneyes ke-21 itu, Lulut berdiri sejajar sebagai juri bersama builder lain, seperti Cole Foster (Salinas Boys), Jeff Decker (Hippodrome Studio), Grant Peterson (Freedom Machinery & Acc), The Harpoon (Kustom Painter), dan Collins (Old Gold Garage), Keith Weesner (Weesner Studio), Max Grundy, Trophy Queen, Jeff Holt (Hot Bike Magazine), dan Shawn Donahue (Bronsonville Customs).
Meski sudah mendapat apresiasi di dunia internasional, Lulut tergelitik dengan ironi atas rendahnya apresiasi pemerintah terhadap industri otomotif mikro. Menurut dia, jika pemerintah memberikan dukungan terhadap perfilman Indonesia, dunia olahraga, dan musik, ada baiknya juga menyokong industri mikrootomotif di Indonesia.
"Karena sekarang mayoritas kebutuhan warga untuk bertransportasi kan menggunakan motor," ujarnya.
Lulut mencontohkan bertebarannya bengkel yang menjual suku cadang buatan Thailand. Jika untuk satu motor umum ber-cc kecil, suku cadang Thailand itu menghabiskan dana sekitar Rp 300 ribu, tidak terhitung berapa devisa negara yang tersedot ke Thailand. "Kenapa pemerintah tidak tergerak men-support ini?" ujarnya dengan nada bertanya.
Lulut menyatakan, industri mikro seperti builder motor kustom yang bertebaran di sejumlah kota memiliki kemampuan lebih baik dalam membuat suku cadang.
Yang dibutuhkan para builder bukan dukungan dana, melainkan peralatan produksi, serta proteksi harga biaya bahan baku. Transfer ilmu kepada khalayak bisa dilakukan dari para builder di sejumlah kota besar yang sudah berpengalaman di bidang ini.
"Dukungan pemerintah ini untuk parts saja. Ini tidak akan menggoyang industri otomotif secara makro," ujarnya.
Lulut optimistis, jika pemerintah mampu mendukung dua hal mendasar itu, banyak industri mikro bidang otomotif yang bermunculan. "Intinya cobalah, mbok kami ingin melihat hasilnya," tandasnya. (*/c2/ari)
----------
TRI MUJOKO BAYUAJI, Jogjakarta
----------
Bila seorang modifikator hanya melakukan sejumlah perubahan pada motornya, seorang builder (pembuat motor kustom) dituntut menciptakan motor, mulai kerangka, suku cadang, hingga bodi.
Itulah yang dilakoni Lulut sejak belum mendirikan workshop kustom yang diberi nama Retro Classic Cycles. Pria 36 tahun itu menyatakan, dirinya sejak usia SMP diperkenalkan pada motor klasik oleh bapaknya.
"Bapak saya membelikan motor klasik asalkan saya tidak nakal," ujar Lulut saat ditemui Jawa Pos di kantornya Selasa (8/1) lalu.
Motor yang dibelikan sang ayah bukanlah Harley-Davidson (HD) seperti impian Lulut, melainkan motor tua BMW R27 keluaran 1962. Sayangnya, motor pertama milik Lulut itu sering mogok dan bermasalah. Berkali-kali dia harus pergi ke bengkel untuk menyerviskan motor tersebut.
"Saya ke bengkel ini, tapi diberi spare parts jelek. Ke bengkel lain juga ditipu dengan modus sama," kata Lulut..
Perasaan jengkel karena ditipu itu yang memicu Lulut untuk lebih mengenal mesin motor pertamanya. Lulut pun mulai sering menemui orang-orang bengkel, menggali pengetahuan, hingga kuliah di teknik mesin. Lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Akademi Perindustrian Jogjakarta itu lalu mendirikan outlet Retro Classic Cyles pada 2002.
Bapak tiga anak itu bercerita, Retro Classic Cycles awalnya hanya membuat replika suku cadang motor-motor klasik. Replika tersebut tidak hanya untuk konsumen Indonesia. "Konsumen saya ada juga yang orang Australia," ujarnya.
Workshop-nya itu semula mengajukan aplikasi sebagai penyedia suku cadang HD langsung dari Amerika. Namun, apa daya, pada 2002 dampak krisis ekonomi masih menghantui usaha di Indonesia.
"Indonesia waktu itu di-blacklist oleh sejumlah negara. Kartu kredit susah, banyak penipuan, pokoknya macam-macam alasannya," ujar Lulut.
Hambatan itu tak membuat Lulut patah semangat. Dia pun mengambil risiko dengan mendepositkan dana sekitar USD 15 ribu untuk bisa membeli parts langsung dari HD. Lulut membeli sejumlah parts senilai depositnya itu dalam kurun waktu satu tahun.
"Saya anggap waktu itu sebagai sikap harakiri, nekat. Eh, ternyata gara-gara itu saya mendapat kepercayaan untuk promosi merek lain," tuturnya.
Suplai parts itu memudahkan Lulut berkreasi. Karya pertama yang membuahkan hasil adalah pada 2005. Motor milik konsumennya, Ardian, hasil desain kustomnya mendapat penghargaan Bike of The Month oleh sebuah situs komunitas HD.
Termasuk motor karyanya bernama King Bee yang meraih Chopper of The Month pada Juni 2008 oleh situs clubchopper.com.
Namun, karya pertama yang benar-benar diakui adalah karya Lulut yang diikutkan dalam World Custom Championship Asia Region di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 2007. "Karya saya Earthquake memenangkan runner up untuk Asia," kata Lulut.
Motor karya Lulut sengaja tidak diberi nama untuk mengenang terjadinya gempa Jogja pada 2006. Ada kenangan pahit dari penghargaan resmi itu karena money prize senilai USD 5 ribu tidak pernah dibagikan.
"Padahal, sudah disiapkan nomor rekening dan dijanjikan ditransfer, namun tidak pernah ada," ujarnya.
Kemenangan itu membuka mata internasional atas kemampuan builder Indonesia melalui Lulut. Kebetulan, karya Lulut mengalahkan kreasi Keiji Kawakita, builder asal Jepang yang kemudian mengundang Lulut untuk berpartisipasi dalam kontes kustom di Jepang. "Saya pikir ajakannya cuma bercanda, e" ternyata bukan basa-basi," ceritanya lantas tersenyum.
Benar saja, Keiji mengundang Lulut untuk ikut dalam kontes kustom Cool Breaker di Jepang, April 2010. Lulut bersama kru membawa motor modifikasi Kyai Perkoso yang berbasis mesin HD Sportster. Motor itu dikustom dengan ornamen batik dan pahatan Candi Prambanan di bagian blok mesin.
Kyai Perkoso merupakan nama pemberian raja Keraton Jogjakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X sebelum motor kustom itu berangkat ke Jepang.
Sri Sultan ketika itu memberikan tiga nama sebagai alternatif. Yakni, Kyai Gagah, Kyai Perkoso, dan Kyai Gagah Perkoso. Lulut memilih nama Kyai Perkoso sesuai dengan simbol yang terukir di motor kustom buatannya.
"Kyai Perkoso itu cuma dibuat satu setengah bulan untuk ide, satu setengah bulan untuk pembuatan, karena dikasih tahu mendadak," paparnya. Dalam ajang itu Kyai Perkoso dinobatkan sebagai Best People Choice.
Cool Breaker 2010 menjadi momentum bagi karya Indonesia melalui tangan dingin Lulut agar mendapat perhatian internasional. Setahun berikutnya, Lulut mengikuti ajang Mooneyes Hot Rod Custom Show, sebuah kontes kustom tahunan yang selalu digelar di Yokohama, Jepang.
Builder dari negara asal kustom, seperti Jimmy Shine (So Cal Speed Shop), Cool Foster-Salinas Boys (USA), Danny Schneider-Hard9 Choppers (Switzerland), Bean Bandits Landspeed Racer (USA), Shinya Kimura (Japan-USA), Jeff Decker, Harpoon, Grant Peterson (Born Free Organizer) ikut mewarnai pameran.
Di ajang ke-20 Mooneyes itu, Lulut mengirimkan karya bernama Buelton. Motor itu berbasis mesin Buell, namun menggunakan rangka dan bodi yang terinspirasi Norton. Buelton mendapat apresiasi karena seluruh bodinya terbuat dari aluminium dan dengan ukiran khas keraton yang terbuat dari kuningan.
"Membuat bodi dengan aluminium lebih sulit karena tidak sekuat baja," ujarnya.
Pada event itu Lulut mendapat penghargaan sebagai Guest of Honor Mooneyes 2011 yang diserahkan langsung oleh Presiden Mooneyes Shige Shuganuma.
Ciri khas karya Lulut adalah kombinasi kultur budaya Indonesia, dalam hal ini Jawa, dengan teknologi. Saat membuat Buelton, misalnya. Lulut mengaku sengaja memilih aluminium sebagai bahan baku ditambah ornamen khas keraton untuk memberikan daya tarik bagi pengunjung.
Menurut Lulut, berbagai ajang yang dia ikuti membuat mata dunia kaget atas kemampuan builder Indonesia. Selama ini media internasional hanya mengetahui Bali sebagai ikon wisata Indonesia. Mereka memberikan apresiasi karena Indonesia juga memiliki builder kustom yang tidak kalah oleh builder kawakan dari Amerika, Eropa, maupun Jepang.
"Kalau atlet membawa nama Indonesia lewat olahraga, saya bisanya membawa Indonesia lewat dunia saya ini," ujarnya meyakinkan.
Lulut juga senang karena perwakilan Kedutaan Besar RI di Jepang memberikan apresiasi dengan ikut mendampingi Lulut sejak berpartisipasi di Cool Breaker.
Puncak dari apresiasi internasional kepada Lulut adalah pada Desember 2012. Pasca menghadirkan Buelton, Lulut belum berniat memasukkan karyanya lagi untuk ajang Mooneyes ke-21 itu. Namun, dua minggu sebelum hajatan besar itu digelar, Lulut mendapat telepon dari panitia Mooneyes Jepang. "Saya ditelepon oleh panitia, apa saya mau ke Jepang lagi?" ujarnya.
Setelah menyampaikan hal itu, panitia menyatakan bahwa sudah ada trofi yang siap diberikan kepada Lulut, termasuk meminta kesediaannya menjadi juri tamu di Mooneyes ke-21.
"Saya kaget. Tapi, saya iya saja. Bukan atas nama pribadi, tapi bangganya orang Indonesia jadi juri kontes terbesar di luar Amerika," ungkap Lulut.
Hanya dalam dua minggu, Lulut meminta bantuan asistennya, Aan Fikriyan, untuk mem-booking tiket dan mendapatkan visa ke Jepang. Di ajang Mooneyes ke-21 itu, Lulut berdiri sejajar sebagai juri bersama builder lain, seperti Cole Foster (Salinas Boys), Jeff Decker (Hippodrome Studio), Grant Peterson (Freedom Machinery & Acc), The Harpoon (Kustom Painter), dan Collins (Old Gold Garage), Keith Weesner (Weesner Studio), Max Grundy, Trophy Queen, Jeff Holt (Hot Bike Magazine), dan Shawn Donahue (Bronsonville Customs).
Meski sudah mendapat apresiasi di dunia internasional, Lulut tergelitik dengan ironi atas rendahnya apresiasi pemerintah terhadap industri otomotif mikro. Menurut dia, jika pemerintah memberikan dukungan terhadap perfilman Indonesia, dunia olahraga, dan musik, ada baiknya juga menyokong industri mikrootomotif di Indonesia.
"Karena sekarang mayoritas kebutuhan warga untuk bertransportasi kan menggunakan motor," ujarnya.
Lulut mencontohkan bertebarannya bengkel yang menjual suku cadang buatan Thailand. Jika untuk satu motor umum ber-cc kecil, suku cadang Thailand itu menghabiskan dana sekitar Rp 300 ribu, tidak terhitung berapa devisa negara yang tersedot ke Thailand. "Kenapa pemerintah tidak tergerak men-support ini?" ujarnya dengan nada bertanya.
Lulut menyatakan, industri mikro seperti builder motor kustom yang bertebaran di sejumlah kota memiliki kemampuan lebih baik dalam membuat suku cadang.
Yang dibutuhkan para builder bukan dukungan dana, melainkan peralatan produksi, serta proteksi harga biaya bahan baku. Transfer ilmu kepada khalayak bisa dilakukan dari para builder di sejumlah kota besar yang sudah berpengalaman di bidang ini.
"Dukungan pemerintah ini untuk parts saja. Ini tidak akan menggoyang industri otomotif secara makro," ujarnya.
Lulut optimistis, jika pemerintah mampu mendukung dua hal mendasar itu, banyak industri mikro bidang otomotif yang bermunculan. "Intinya cobalah, mbok kami ingin melihat hasilnya," tandasnya. (*/c2/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Elvera Nuriawati Makki, Buka Gerbang Literasi Anak-Anak PAUD Indonesia Timur
Redaktur : Tim Redaksi