Luncurkan Buku, Ahli Kesehatan Gaungkan Gerakan Hidup Sehat Bebas BPA

Selasa, 30 Januari 2024 – 22:04 WIB
Para ahli kesehatan meluncurkan buku sebagai panduan gerakan hidup sehat bebas BPA. Foto: source for jpnn

jpnn.com, JAKARTA - Sejumlah ahli kesehatan meluncurkan buku panduan untuk membantu masyarakat belajar mengenali dan lebih awas terhadap produk-produk mengandung Bisfenol A (BPA).

Menurut para ahli, BPA pada kemasan pangan membawa risiko tersendiri pada kesehatan masyarakat dalam jangka panjang.

BACA JUGA: Dewan Periklanan Indonesia: Iklan Bebas BPA Tidak Boleh Asal Klaim

Salah satu penulis buku 'BPA Free: Perisai Keluarga dari Bahan Kimia Berbahaya', Prof. Adang Bachtiar menjelaskan, senyawa kimia itu kerap dipakai sebagai bahan baku pembuatan plastik keras dan resin epoksi.

Kata Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) ini, umumnya ada tiga jenis produk yang mengandung BPA, yakni plastik polikarbonat, resin, dan kertas thermal.

BACA JUGA: Isu Bebas BPA Beredar di Medsos, Ini Analisis Pegiat Literasi

Adapun resin merupakan material semi likuid/cair yang diperoleh dari tanaman atau diproduksi secara sintesis dan digunakan untuk berbagai keperluan rumah tangga, sedang kertas thermal adalah jenis kertas yang sensitif terhadap suhu panas.

"BPA bisa berada dalam (kandungan) botol air atau galon, botol susu bayi, piring dan gelas plastik, pelapis dalam kaleng makanan, sikat gigi, lensa kacamata, alat-alat kesehatan, dan masih banyak lagi," kata Adang, dalam keterangannya, Selasa (30/1).

BACA JUGA: Pakar IPB: Hati-Hati Klaim BPA Free, Ada Senyawa Berbahaya Lain yang Disembunyikan

Menurut Adang, banyak orang yang masih belum sadar kalau dalam kondisi tertentu, semisal terpapar panas dalam waktu yang lama, BPA pada kemasan pangan bisa luruh dan bermigrasi ke dalam makanan atau minuman.

Bila sampai terkonsumsi dalam jumlah yang melampaui ambang batas aman, efeknya bisa berupa gangguan kesehatan yang serius.

Dia mencontohkan banyak orang yang masih mengkonsumsi minuman dari kemasan kemasan polikarbonat yang sudah tua, banyak tergores dan kerap terpapar sinar matahari langsung.

"Kita tidak bisa menyalahkan masyarakat, tetapi ini menunjukkan lemahnya edukasi bahaya BPA dari tingkat hulu ke hilir, dari pemerintah hingga ke masyarakat," tuturnya.

Hal senada juga diungkap penulis lainnya, Dr. Dien Kurtanty. Dia menyebut salah satu kunci meningkatkan kesadaran masyarakat akan risiko BPA pada kesehatan adalah dengan penguatan regulasi atau kebijakan yang tegas dan terukur atas peredaran kemasan pangan berbahan plastik yang mengandung BPA.

"Sayangnya, dari penelusuran kami, belum ada regulasi yang mewajibkan produsen untuk melabelkan informasi ada atau tidaknya BPA pada kemasan produknya. Kita pun tidak tahu produk apa saja yang mengandung BPA atau bebas dari BPA," ujarnya.

Dien menyoroti migrasi BPA dalam wadah makanan dan minuman berdasarkan peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Nomor 20 Tahun 2019. Aturan itu menekankan ambang batas migrasi BPA pada kemasan pangan maksimum 0,6 mg/kg.

Regulasi itu, menurutnya, kalah dibanding negara lain yang sudah lebih berkomitmen terhadap perlindungan kesehatan. Misalnya, Uni Eropa yang mematok batas maksimum migrasi BPA pada kemasan pangan sebesar 0,05 mg/kg.

Begitu juga Malaysia, India, Kanada, Korea Selatan dan beberapa negara lain sudah melarang penggunaan BPA dalam wadah makanan atau minuman bayi dan anak di bawah 1-3 tahun. (jlo/jpnn)


Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler