jpnn.com - JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) bebaskan mantan direktur utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) Sudjiono Timan. Permohonan Peninjauan Kembali (PK) atas perkara korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp 396 miliar yang dia ajukan dikabulkan sehingga terhindar dari 15 tahun penjara.
Putusan MA untuk perkara nomor 97 PK/Pid.Sus/2012 itu menyatakan mengabulkan PK. Pengadil terdiri atas lima hakim agung; Andi Samsan Nganro, H-AH-AL, Sophian Marthabaya, H-SRI, dan Suhadi. Diregistrasi sejak 17 April 2012 dan diputus pada 31 Juli 2013.
BACA JUGA: Hatta Tetap Capres PAN
Hakim agung Suhadi mengatakan di pengadilan tingkat pertama, tepatnya Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada 25 November 2002, Sudjiono divonis onslag alias bebas, lolos dari tuntutan jaksa yang meminta dia dikurung selama 8 tahun penjara.
Jaksa kemudian mengajukan kasasi ke MA sehingga lahir putusan baru. Para pengadil yang terdiri atas hakim agung Bagir Manan, Artidjo Alkostar, Parman Suparman, Arbijoto, dan Iskandar menjatuhkan vonis 15 tahun penjara serta denda Rp 50 juta dan membayar uang pengganti sebesar Rp 369 miliar, pada 3 Desember 2004.
BACA JUGA: Jamaah Haji Sedikit, Armina Longgar
Merasa tidak bersalah dan berbekal alat bukti baru (novum), melalui istrinya, Sudjiono mengajukan PK. "Terbukti (bersalah), tetapi sifatnya perdata. Dia pimpinan perusahaan. Uang itu digunakan sesuai dengan kewenangannya," ucap Suhadi saat dikonfirmasi, Kamis (22/8).
Uang yang dipersoalkan itu dipinjamkan oleh negara kepada BPUI dan pada tahun 1993, 1994, 1995, dan 1997, perusahaan yang dipimpin Sudjiono itu terus meraup keuntungan. Tetapi pada tahun 1998, BPUI termasuk perusahaan yang kena imbas krisis moneter sehingga merugi. "Rugi besar sehingga uang yang tadi sudah dipinjamkan itu sulit ditarik kembali. Pihak bank sulit menagih kembali." Jadi memang terbukti ada kerugian tetapi itu perdata," paparnya.
BACA JUGA: Ada Uang Selain dari Kernel Oil
Di tingkat kasasi, Sudjiono dihukum karena terbukti melakukan perbuatan melawan hukum (PMH). "Tetapi bukan PMH formal (PMH Formal dimaksud adalah melanggar Undang Undang, Red.). Tetapi PMH Material yaitu ketidakpatutan," terus Suhadi.
Pendapat majelis PK, ada kekeliruan yang nyata di dalam putusan MA di tingkat kasasi. PMH secara material itu menurut putusan Mahkamah Konstitusi (MK), kata Suhadi, tidak boleh lagi dijadikan landasan. "Yang namanya PMH secara material itu kan bisa melanggar ketidakpatutan, ketidakhatihatian. Nah oleh MK itu tidak boleh digunakan karena bertentangan dengan UUD 1945." Itu menjadi salah satu pertimbangan majelis," ulasnya.
Pertimbangan lainnya, di dalam putusan kasasi hanya terbukti PMH. Sementara unsur kerugian negara itu sendiri mengacu pada judex factie atau putusan pengadilan tingkat pertama. "Padahal di judex factie kan putusannya onslag karena perbuatan perdata." Kerugiannya belum bisa dikalkulasi berapa dan juga keuntungan yang dinikmati untuk diri sendiri (Sudjiono)." Karena itu kan sifatnya pinjaman," tuturnya.
Dalam dakwaan sejak pengadilan tingkat awal, Sudjiono dianggap merugikan uang negara senilai Rp 369,4 miliar dan USD 178,9 juta. Dalam dakwaan primer disebutkan, Sudjiono dalam kapasitasnya sebagai dirut BPUI mengalirkan dana ke beberapa. Di antaranya Kredit Asia Finance Limited (KAFL) berkedudukan di Hongkong, namun lebih banyak beroperasi di Jakarta. Transaksi pengaliran dana dengan cara penempatan dana pada promissory note KAFL namun menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 116,4 miliar dan USD 73,8 juta. "
Selanjutnya ke Festival Company Incoporated (FCI) yang berkedudukan di British Virgin Island senilai USD 79,9 juta. FCI didirikan bersama Prajogo Pangestu untuk membeli saham-saham di luar negeri, terutama saham Philippine Global Communication (Philcom). Keuntungan pembelian saham yang diperoleh berdasarkan informasi dari sahabat Sudjiono Timan, Roberto V Ongpin, mantan menteri Filipina, kemudian dibagi bersama. Dalam kaitan ini kerugian negara ditaksir USD 25,1 juta.
Dalam surat dakwaan bernomor PDS-03/JKTSL/F.3.1/11/2001 juga menyebutkan bahwa PT BPUI mengajukan surat ke Menkeu untuk memperoleh fasilitas pendanaan subordinasi dari Rekening Dana Investasi (RDI) senilai Rp250 miliar pada 15 Desember 1997. Dana itu disebutkan untuk program stabilitasi pasar modal dan uang, namun ternyata untuk membayar utang Medium Term Notes (MTN) senilai Rp190,5 miliar. Sisanya didepositokan dan untuk membeli saham lain. Namun kenyataannya justru djadikan sebagai penyertaan modal pemerintah.
Anggota Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Juntho mengatakan vonis bebas Sudjiono merupakan musibah dan preseden buruk bagi upaya pemberantasan korupsi." "MA juga dapat dianggap tidak peka pemberantasan korupsi. Selain itu koruptor akan menjadikan langkah Sudjiono Timan sebagai contoh bagi upaya koruptor menghindari proses hukum yang berjalan," ujarnya, kemarin.
Vonis bebas Sudjiono di tingkat PK, menurutnya, layak dicurigai mengingat pada tingkat kasasi divonis bersalah dan dihukum 15 tahun penjara. "Sikap pengadilan yang menerima permohonan PK yang diajukan para koruptor yang melarikan diri (DPO) juga dipertanyakan. Dalam SEMA Nomor 6 tahun 1988 yang ditandatangani Ali Said, mantan Ketua MA dan diperbarui pada tahun 2012 melalui SEMA No 1 Tahun 2012, menyebutkan bahwa Pengadilan supaya menolak atau tidak melayani Penasehat hukum atau Pengacara yang menerima kuasa dari terdakwa/terpidana yang tidak hadir (in absentia) tanpa kecuali. Artinya permohonan dan atau pemeriksaan di persidangan harus dilakukan sendiri oleh pemohon/terdakwa," tegasnya.(gen)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Nama-Nama Petinggi PKS Muncul di Sidang Fathanah
Redaktur : Tim Redaksi