jpnn.com, PNOM PENH - Kecuali ajal menjemput, Perdana Menteri Kamboja Hun Sen dipastikan kembali menjabat pada periode selanjutnya. Pasalnya, dia sudah tidak punya saingan, setelah partai oposisi CNRP resmi dibubarkan, Kamis (16/11).
Pembubaran itu diumumkan Mahkamah Agung (MA) Kamboja. Dengan demikian, partai yang digawangi Hun Sen, Cambodian People’s Party (CPP), akan menjadi satu-satunya partai besar pada pemilu tahun depan.
BACA JUGA: Tiga Dekade Berkuasa, Ogah Turun Takhta
’’MA telah memutuskan untuk membubarkan CNRP dan melarang 118 individu berpolitik selama lima tahun dimulai dari dibacakannya putusan ini,’’ ujar hakim saat membacakan putusan. Hakim kepala dalam sidang tersebut adalah anggota komite permanen CPP.
Para individu yang dilarang berpolitik itu tentu saja anggota CNRP. Separo legislator partai tersebut sudah melarikan diri ke luar negeri karena takut ditangkap Hun Sen.
BACA JUGA: Pelatih Kamboja: Terus Mengejar Bola Kami Kelelahan
PM terlama di dunia itu sudah memenjarakan pemimpin CNRP Kem Sokha pada 3 September lalu. Setelahnya, dia mengajukan pembubaran CNRP dengan tudingan bahwa partai tersebut berencana mengambil alih kekuasaan dengan bantuan dari Amerika Serikat (AS).
Kepada penduduk, PM yang sudah menjabat selama 32 tahun itu menegaskan bahwa pemilu tahun depan akan tetap berlangsung seperti biasa. Dengan hanya satu partai, Hun Sen tentu saja akan menjadi calon tunggal dan bisa menang mudah.
BACA JUGA: Milla Sebut Permainan Timnas Indonesia Terus Berkembang
Mantan komandan Khmer Merah itu juga menyerukan kepada anggota CNRP yang tidak dilarang berpolitik agar menyeberang saja dan bergabung dengan partainya.
’’Anda bahkan tidak bisa menyelamatkan partai Anda sendiri. Bagaimana Anda akan menyelamatkan diri?’’ tegas Hun Sen di sela ajakannya untuk bergabung.
Dia seakan mengancam akan menyapu bersih mereka yang tidak bergabung. Kursi parlemen milik CNRP akan diberikan ke partai-partai yang mendukung pemerintah.
CNRP sudah menduga bahwa MA akan membubarkan partai mereka. Sejak awal, CNRP tak mengirimkan pengacara untuk membela diri karena yakin tudingan yang diarahkan Hun Sen bermotif politik.
’’Putusan itu hanya akan membuat Hun Sen tidak pernah berhenti jika tidak ada orang yang (berani) menghentikannya,’’ kata Kem Monovithya, putri Kem Sokha.
’’Ini waktunya sanksi dari komunitas internasional dijatuhkan (pada Kamboja),’’ tambahnya.
Pembubaran partai CNRP itu langsung dikritik banyak pihak, baik dari dalam maupun luar negeri. Putusan MA dinilai tak adil karena hakim kepala dalam sidang tersebut adalah anggota komite permanen CPP.
Kingsley Abbot dari International Commission of Jurists menyatakan bahwa pengadilan telah disalahgunakan dan itu merupakan ancaman bagi HAM serta demokrasi. Human Rights Watch (HRW) menyebut itu adalah tanda matinya demokrasi di Kamboja.
’’Pembubaran CNRP oleh MA adalah puncak rencana tersembunyi Hun Sen untuk memastikan kemenangannya pada pemilu tahun depan,’’ tegas Wakil Direktur HRW untuk Asia Phil Robertson. Menurut HRW, pemilu tahun depan akan sia-sia karena sudah pasti Hun Sen pemenangnya.
Sampai berita ini ditulis, belum ada satu pun aksi protes menentang keputusan MA. Seang Menly, salah seorang sopir tuk-tuks, mengatakan bahwa orang-orang terlalu takut membicarakan tentang putusan tersebut.
’’Di lingkungan saya, orang-orang yang biasanya memberikan makanan dan uang ke CNRP kini tak berani melakukannya,’’ ujar Seang Menly.
Hun Sen dan para pendukungnya selalu menyatakan bahwa sang PM-lah yang bisa menjamin perdamaian di Kamboja. Sejak menjabat pada 1985, Hun Sen berhasil mengubah Kamboja dari negara terpuruk menjadi negara dengan berpendapatan menengah ke bawah.
Pertumbuhan ekonominya 7 persen per tahun dan angka harapan hidup naik dari 50 menjadi 70 tahun.
’’Putusan MA bukanlah akhir dari demokrasi, tapi untuk menghalau ekstremis dalam rangka melindungi penduduk dan negara dari kehancuran,’’ tegas Huy Vannak, menteri muda di Kementerian Dalam Negeri Kamboja.
Hun Sen memang berhasil menolong Kamboja dari keterpurukan. Tapi, di sisi lain, dia bertangan besi. Sebelumnya, media-media yang menentangnya diberedel dan orang-orang yang kontra sudah dipenjarakan PM yang dikenal diktator tersebut.
’’Kami tidak tahu siapa yang akan jadi korban berikutnya,’’ ujar editor stasiun radio Voice of Democracy. Radio itu ditutup Agustus lalu dan kini mereka hanya bisa on air lewat Facebook. (Reuters/AP/sha/c17/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Andik Vermansah: Kamboja Sekarang Sudah Berani Menyerang
Redaktur & Reporter : Adil