"Anggarannya memang sangat terbatas," kata Djoko kemarin (25/8). Bahkan, kata dia, di tahun-tahun awal seleksi ad hoc pada 2009, tidak ada anggaran khusus untuk seleksi hakim tipikor sehingga dicarikan dari anggaran-anggaran lainnya.
Karena itu, Djoko memaklumi salah satu penyebab jeleknya hasil seleksi ini lantaran kurangnya anggaran. Menurutnya, alokasi anggaran yang paling besar adalah digunakan untuk iklan perekrutan di surat kabar. "Bayangkan sekali mengiklan di koran nasional saja bisa sampai Rp 200 juta," imbuhnya.
Nah, karenanya kata dia, dalam tahun ketahun penelusuran rekam jejak calon hakim ad hoc pun mengalami kekurangan dana. Jadi, penelusuran tersebut tidak bisa maksimal. Padahal penelusuran rekam jejak merupakan aspek paling penting untuk menyaring hakim yang benar-benar bersih.
Namun saat disinggung berapa anggaran yang dibutuhkan untuk Djoko tidak bisa membeberkan. Dia mengaku tidak bisa menentukan berapa angka yang dibutuhkan. "Penentuan anggaran harus diperhitungkan secara serius oleh beberapa pihak, tapi yang jelas Rp 2 miliar lebih," ujar pria yang kini menjadi juru bicara MA itu.
Alumni Hukum UGM terserbut lantas berharap agar Indonesia Corruption Watch (ICW) bisa benar-benar menjalankan tugasnya untuk menelusuri rekam jejak para calon hakim ad hoc. Memang, kali ini MA menggandeng LSM antikorupsi untuk mencari tahu latar belakang puluhan orang yang ikut seleksi.
Djoko pun sadar bahwa banyak sekali para calon itu yang sekedar mencari pekerjaan. Apalagi yang berlatar advokat. "Saya harap jangan sampai orang-orang yang hanya bermotif ekonomi bisa terpilih. Seharusnya menjadi hakim, apalagi hakim tipikor adalah orang yang benar-benar terpanggil untuk ikut memberantas korupsi," imbuhnya.
Penelusuran rekam jejak ternyata tidak hanya diserahkan sepenuhnya ke ICW. Djoko mengaku dirinya juga ikut langsung turun mencari rekam jejak para calon. Bahkan dia mengaku pada tahap seleksi awal, Djoko telah mencoret puluhan nama pelamar yang ternyata tidak berkualitas. Rata-rata, nama yang dicoret Djoko adalah orang-orang pensiunan hakim karir, panitera yang sewaktu bertugas dulu diduga berwatak korup.
Selain itu, kata Djoko juga ada beberapa pelamar yang sebelumnya menjabat sebagai hakim tipikor pengadilan negeri kini melamar sebagai hakim tipikor tingkat banding dan kasasi lantaran mengejar gaji lebih besar. "Mereka menyembunyikan latar belakanya (hakim tipikor PN), apa itu tidak kurang ajar," ujarnya dengan nada tinggi. (kuh/agm)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengungsi Rohingya ke Indonesia Bukan Cari Suaka
Redaktur : Tim Redaksi