jpnn.com - Emmanuel Macron terpilih kembali sebagai Presiden Prancis pada pemilu yang diselenggarakan Minggu (24/4).
Macron mengalahkan lawannya dari Partai Front Nasional, nasionalis garis kanan Marine Le Pen yang terkenal sebagai politikus anti-imigrasi, anti-Yahudi, dan anti-Islam.
BACA JUGA: Bersaing dengan Politikus Antijilbab, Macron Menang Pemilu Lagi
Seluruh dunia menyaksikan dengan H2C (harap-harap cemas) karena pertarungan head to head itu diperkirakan akan sangat ketat.
Macron akhirnya bisa menang dengan mengumpulkan suara 58 persen.
BACA JUGA: Prabowo Bertemu Presiden Macron di Elysee Palace, Ada Momen Rangkulan
Macron menang bukan karena rakyat Prancis menginginkannya menjadi presiden, tetapi lebih karena pemilih Prancis tidak ingin Le Pen menang.
Meski begitu, bukan berarti ancaman gerakan ekstrem sayap kanan berakhir.
BACA JUGA: Endus Rencana Jahat, Macron Tolak Jalani Tes COVID-19 di Rusia
Dengan mengumpulkan 11 juta suara, Le Pen bersumpah akan terus berjuang untuk menjadi presiden.
Dia sudah dua kali maju sebagai capres pada 2017 dan 2022.
Kemunculan Le Pen sama dengan kemunculan Donald Trump pada lanskap politik Amerika pada 2016.
Trump mengusung tema kampanye ‘’American First’’ yang mengutamakan kepentingan nasional Amerika.
Trump terang-terangan anti-imigran dan antagonistis terhadap Islam.
Le Pen lebih ekstrem dari Trump. Dalam kampanye, dia tegas menyatakan akan melarang praktik-praktik Islam di ruang publik, termasuk pemakaian hijab untuk perempuan muslim.
Dia juga anti-Yahudi dan anti-Eropa. Karena kampanye anti-Islam ini, para imigran Prancis yang jumlahnya mencapai 4 juta orang memilih Macron.
Pemilu kali ini adalah torehan sejarah baru bagi Front National sebagai sebuah partai anti-imigran dan anti-Uni Eropa.
Di bawah kepemimpinan Le Pen, partai yang dianggap rasis ini berusaha memperbaiki citranya dan terbukti dukungan dari publik meningkat.
Marine Le Pen mewarisi kepemimpinan dari bapaknya, Jean Marie Le Pen, pada 2002.
Akan tetapi bapak dan anak itu bermusuhan.
Sang anak kemudian memecat bapaknya sendiri dari partai.
Di bawah Marine Le Pen perolehan suara Front Nasional terus mengalami peningkatan.
Garis politik yang diambilnya sama dengan para pemimpin populis lainnya seperti Boris Johnson di Inggris yang membawa negaranya keluar dari persekutuan Eropa.
Andai terpilih sebagai presiden, Le Pen—yang sangat mengidolakan Putin--menjadi pemimpin perempuan populis sayap kanan pertama yang menjadi presiden di negara besar.
Perolehan suara untuk Le Pen di putaran pertama pemilu menunjukkan peningkatan di wilayah industri dan juga pedesaan.
Para buruh industri dan petani di desa yang merasa terancam oleh imigrasi dan globalisasi memilih Le Pen yang berjanji akan mementingkan orang-orang kulit putih Prancis.
Para buruh yang tersingkir dari pekerjaannya menjadi basis dukungan penting bagi Le Pen.
Bagi pemilih imigran muslim, keberadaan Macron dan Le Pen sebenarnya bukan pilihan yang ideal.
Dalam beberapa kebijakan Macron sering dianggap merugikan imigran muslim.
Macron dipilih karena dianggap sebagai ‘’the lesser evil’’ atau setan yang lebih kecil.
Macron mengakui hal itu. Dia mengaku beruntung karena banyak pemilih yang tidak menghendaki Le Pen menjadi presiden.
Kebijakan Prancis sebagai negara sekuler tetap menjadi sumber ketegangan politik yang tidak ada habisnya.
Posisi negara dengan agama sering mengalami ketegangan karena perbedaan persepsi dengan para pemeluk agama.
Dalam beberapa aspek, pengaturan agama di ruang publik sangat diperlukan untuk mengatur kehidupan masyarakat yang memiliki peran ganda agar tidak bias, yaitu sebagai warga negara sekaligus umat beragama.
Beberapa negara menerapkan sistem yang berbeda-beda untuk mengatur kehidupan agama warga negara.
Ada negara yang menerapkan sistem ‘’separation of state and religion’’ untuk memisahkan peran agama dalam kehidupan yang bersifat publik.
Ada pula negara yang menerapkan hubungan rekognisi (recognition of the state from religion) untuk memberikan pengakuan sekaligus mempertahankan pelestarian agama atau nilai agama di dalam sistem hukum dan politiknya
Prof Ahmet T Kuru melakukan survei terhadap tiga negara untuk melihat bagaimana negara menerapkan kebijakan terhadap kalangan agama.
Dalam ‘’Secularism and State: Policies Toward Religion’’, Kuru melakukan perbandingan antara sekularisme Prancis, Amerika Serikat, dan Turki.
Ketiga negara itu sama-sama sekular, tetapi menerapkan pendekatan yang berbeda.
Turki dan Prancis melakukan pendekatan sekular yang asertif, misalnya dengan melarang ekspresi agama di ruang publik.
Turki di bawah Kemal Pasha melarang pakaian Islam dan melarang penggunaan bahasa Arab dalam azan.
Prancis juga melarang ekspresi religius di ruang publik.
Memberi kebebasan kepada liberalisme secara total, sehingga muncul majalah Charlie Hebdo yang secara terbuka dan berkala membuat karikatur bergambar Nabi Muhammad.
Pemerintah Prancis tidak menganggap hal ini sebagai pelanggaran karena hal ini dianggap sebagai bagian dari kebebasan.
Karena kebijakan ini, muncul kekerasan dalam bentuk penyerangan dan pembunuhan terhadap awak redaksi majalah Charlie Hebdo.
Amerika Serikat menerapkan regulasi yang lebih toleran dan pasif terhadap agama dibanding dengan Turki dan Prancis.
Akan tetapi, di Amerika fundamentalisme Kristen tumbuh subur dengan munculnya Evangelisme yang sangat berpengaruh terhadap lanskap politik.
Kemenangan Donald Trump pada Pilpres 2016 adalah berkat dukungan kelompok Evangelis Kristen fundamentalis.
Sekularisme Amerika Serikat muncul sebagai hasil akhir dari konsensus pergolakan antara kelompok rasionalis yang tidak anti-agama dan evangelis yang terbuka untuk gagasan pemisahan gereja dan negara.
Kuru melihat masih terdapat kemungkinan akan ada perubahan dari sekularisme asertif menjadi pasif. Perjuangan ideologis selalu bersifat temporer, cair, dan dinamis.
Pembuat kebijakan dari masing-masing negara dapat saja berubah, sebab mereka bukanlah makhluk robotik. Akan ditemukan negosiasi di antara kekuatan politik itu untuk menemukan konsensus bersama.
Turki di bawah Tayep Erdogan sekarang bergerak ke arah kanan dengan memberi banyak konsesi kepada kalangan Islam.
Pendekatan Erdogan yang populis sebenaranya mirip dengan para pemimpin populis Amerika dan Eropa.
Erdogan juga membawa Turki lebih ke kanan dan bergeser dari garis sekularisme yang diperkenalkan oleh Mustafa Kemal Pasha.
Politik Erdogan mendapat penentangan keras dari kalangan nasionalis sekuler Kemalis.
Sampai sekarang tarik-menarik masih berlangsung dengan keras.
Erdogan melindungi kepentingan politiknya dengan kekerasan represif terhadap kalangan oposisi.
Ahmed T Kuru melihat hal ini sebagai proses. Erdogan tentu saja tidak bisa selama-lamanya memimpin Turki.
Pasca-Erdogan kemungkinan akan ada kompromi dan sintesa baru dari kekuatan nasionalis dan kalangan islamis.
Indonesia mempunyai problem yang berbeda dengan Prancis, Amerika, maupun Turki.
Indonesia bukan negara sekular tapi juga bukan negara agama.
Indonesia mempunyai Pancasila yang menjadi perpaduan antara ide-ide politik sekular dengan semangat religiusitas.
Sila ketuhanan menjadi sila utama yang memberi jaminan terhadap peran agama dalam politik nasional.
Sila ketuhanan menjadi spirit dan pengayom empat sila lain yang diambil dari gagasan-gagasan sekular seperti demokrasi, keadilan sosial, dan kesejahteraan ekonomi.
Sebagaimana di Amerika, Prancis, dan Turki, Indonesia juga mengalami ketegangan ideologis antara kelompok Islam dan nasionalis.
Saat ini rezim Indonesia lebih cenderung kepada ide-ide nasionalis-sekular dan berusaha membendung kebangkitan ide-ide islamis yang menginginkan kembalinya sistem negara Islam maupun sistem khilafah.
Ketegangan ini tidak bisa menjadi zero sum game dengan menghancurkan pihak lain yang tidak sejalan. Indonesia akan menemukan ekuilbrium baru yang bisa mengakomodasi kedua kekuatan itu dengan membentuk konsensus nasional yang disepakati bersama. (*)
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror