Madiba .

Senin, 16 Desember 2013 – 12:41 WIB

Nelson Rolihlala Mandela (atau dikenal dengan “Madiba”) telah tutup usia, seluruh dunia larut dalam kesedihan.

Bagi siapa saja yang belajar di Inggris, Eropa atau Amerika Serikat pada tahun 1970-an dan 80-an, Mandela adalah tokoh yang melejit dan melegenda – sosok yang menolak apapun kecuali kebebasan berdemokrasi penuh untuk rakyat Afrika Selatan.

BACA JUGA: Thailand .

Sebagai seorang mahasiswa jurnalis, saya pernah dengan geram berdebat tentang Apartheid. Namun saya kesusahan untuk bersikap objektif, saya meneriakkan “Free Nelson Mandela” sebelum melangkah ke dalam forum debat.

Anda bisa membayangkan betapa gembiranya saya ketika bertahun-tahun kemudian saya bisa bertemu dan mendengarkan langsung tokoh yang saya kagumi ini. Pada saat itu, saya akan menjadi pengacara, dengan bepergian melintasi Samudera Hindia ke Johannesburg, Cape Town dan Durban.

BACA JUGA: Saya adalah Pemimpi

Tahun 1994 ketika saya mengunjungi Madiba, ia baru saja dilantik. Setelah dipenjara selama dua puluh tujuh tahun dan dibebaskan pada tahun 1990, sosoknya sudah melegenda di panggung internasional –personifikasi dari peristiwa ini sangat menarik tapi sangat bermasalah dengan 52 juta penduduknya.

Mandela sangat berarti bagi banyak orang: militan anti-apartheid, tahanan, presiden, figur seorang bapak, pemenang Nobel dan ikon yang terkenal di abad ke-20. Tapi di masa kejayaannya, ia tidak akan menjadi seperti demikian jika bukan seorang yang penuh semangat.

BACA JUGA: Maluku .

Sebagai Wakil Presiden Kongres Nasional Afrika (ANC) pada tahun 1952, Madiba muda disukai banyak orang karena ia lebih mengedepankan aksi daripada kata-kata. Gayanya yang berapi-api menuntunnya untuk merenungkan perlawanan bersenjata.

Ia pergi sejauh ia bisa belajar tentang taktik perang gerilya sebelum ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup selepas menyampaikan pidatonya (Rivonia Trail) tahun 1964.

Berada di balik sel penjara selama 27 tahun, rekan baiknya dan juga sesama penerima Nobel Uskup Agung Desmond Tutu mengatakan bahwa kurun waktu percobaan tersebut telah membentuk Mandela.

Tokoh besar yang muncul di tahun 1990 ini sudah tak lagi muda, lebih bijaksana dan memiliki kewibawaan moral.

Ia adalah orang yang dikaruniai kekuatan luar biasa untuk memaafkan. Hebatnya, ia juga bisa menahan godaan untuk membalas dendam terhadap lawan-lawannya dulu.

Ia menunjukkan kepada dunia bahwa memaafkan adalah hal yang sangat mungkin dilakukan namun tidak pernah melupakan konsekuensinya – mengajarkan kepada kita tentang arti ketabahan, prinsip-prinsip dan keberanian.

Namun Presiden Mandela juga seorang politikus yang sempurna. Ia memiliki bakat sebagai seorang negarawan – seperti gestur dan insting alami untuk menangkap imajinasi negaranya.

Singkatnya, ia adalah seorang pria dengan mimpi.

Pada tahun 1995, ia mendirikan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), salah satu simbol kuat dari keyakinannya bahwa sikap memaafkan dapat hidup berdampingan dengan kritikan moral.

Memang, KKR adalah komisi yang unik di masanya sebab ia memberikan korban dan pelaku sebuah suara tanpa mengesampingkan salah satu di antara keduanya.

Meskipun banyak kritik tentang ketidakefektifannya, KKR mengijinkan kesetaraan dan keseimbangan eksekusi kepada pelaku Apartheid.

Memang, penerus Mandela pasti dan harus mengatasi masa-masa sulit yang ada sebelumnya. Warisan yang ditinggalkan Mandela adalah ide yang artikulasinya terdengar indah yaitu “Rainbow Nation”.

Sayangnya, mimpi ini masih membutuhkan esktra kerja keras untuk diraih, karena ketidaksetaraan dan kebencian masih tumbuh akibat penerus kekayaan Afrika Selatan masih di tangan para elit negara, baik kulit hitam dan kulit putih.

Pemilu berikutnya di Afrika Selatan sekitar April-Juli 2014 akan menjadi perjuangan yang paling intens. Kongres Nasional Afrika (ANC) yang masih dominan akan menghadapi kekuatan oposisi dari Democratic Alliance (DA) dan kebangkitan kembali Congress of the People (COPE).

Dugaan korupsi dan salah manajemen terhadap ANC tidak diragukan lagi akan menjadi masalah di pemilu nanti.

Afrika Selatan saat ini berada di persimpangan lagi, seperti ketika hari-hari di tahun 1994: ada keraguan, namun juga optimisme yang hati-hati, ibaratnya demokrasi yang masih belia ini terus menemukan jalan tanpa cahaya penuntun dari ayahnya.

Seperti yang pernah Mandela ucapkan: “Kematian adalah sesuatu yang tak bisa dielakkan. Ketika seorang pria telah melakukan apa yang ia anggap sebagai tugasnya untuk rakyat dan negerinya, ia bisa beristirahat dengan damai.”

Kebesaran Mandela tak perlu ditanyakan.

Perjuangan terakhirnya –dan ujian tertinggi dari warisannya- akan terus diperjuangkan di Afrika Selatan meskipun ia tidak lagi ada di sana.(***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Saya pernah ke Tacloban


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler