Saya pernah ke Tacloban

Selasa, 19 November 2013 – 12:09 WIB

PADA 8 November 2013, Topan Haiyan menerjang Filipina Tengah dan menyebabkan kerusakan parah yang tak terduga. Ketika saya melihat liputan di TV, saya baru menyadari bahwa saya pernah ke Tacloban, kota pusaran bencana.

Sekitar tiga atau empat tahun lalu, saya menyambangi Filipina untuk meliput pemilu presiden. Saya juga berhasil mewawancarai saingan terberat yang patut diperhitungkan, Benigno “NoyNoy” Aquino III, yang kemudian memenangi pemilu.

BACA JUGA: Cerita Keberhasilan Pulau Bali

Bahkan, saya dijanjikan waktu ‘eksklusif’ selama saya bisa menjamin bahwa saya di Tacloban saat jadwal kandidat di Leyte selesai.

Saat itu, saya benar-benar tidak tahu dimana Tacloban, dan saya hanya membeli tiket lalu berangkat, tiba di ibukota provinsi Leyte sehari sebelum interview. Untungnya, saya ditemani oleh asisten, seorang perempuan bernama Fatimah yang memiliki ayah asli warga lokal yang berprofesi sebagai pembuat perabotan.

BACA JUGA: Pulang

Barangay atau desanya terletak beberapa kilo dari kota yang berdiri sendirian di tepi pantai, tdak jauh dari monumen memorial yang merayakan kejayaan Jenderal MacArthur kembali ke Filipina tahun 1945.

Keluarga besar Fatimah sangat Visayan. Suasana di rumah ini sangat ramah, hangat dan menyenangkan. Bahkan ia mengakui bahwa orang Visayan lebih ‘Latino’ dari orang Filipina, dimana kemudian ia menambahkan dengan malu-malu, “ya, kami suka pesta”.

BACA JUGA: Bima Arya

Suasana disini lebih rileks dan lebih ‘manana’ dibandingkan Pulau Luzon atau di Metro Manila. Sungguh, saya harus mengakui dalam rangkaian jadwal peliputan pemilu yang saya pegang, saya cenderung menghindari Mindanao dan Luzon Utara, dan lebih menyukai Pulau Harapan di Visayas serta mengunjungi Cebu dan Bohol sesering mungkin!

Maka pada hari kedatangan saya di tengah-tengah keluarga Fatimah, sedikit ada pesta besar penyambutan – mereka memotong babi, memasang karaoke dan bir melimpah ruah. Saya menikmati sore yang menyenangkan bersama paman dan sepupunya di dalam pesta, meski saya hanya bisa melahap ayam gorengnya, namun saya tahu makanannya semua lezat, seiring nyanyiannya menjadi semakin sumbang ketika malam menjemput.

Tacloban sendiri adalah tempat yang tenang dan melenakan. Saya tinggal di sebuah hotel yang kecil, sedikit menjorok ke bawah yang dibangun di antara rumah kuno penduduk Visayan. Terdapat perabotan kayu ukir dengan potongan-potongan yang solid, putus-putus di keseluruhan properti. Sedangkan di dinding terpenuhi oleh foto-foto kota di masa kejayaan yang tergambar di lokasi kembalinya MacArthur – tahun pasca-perang ketika Amerika datang menjadi pengunjung biasa.

Di era Marcos, Tacloban diasumsikan menjadi kota yang akan bersinar, karena disinilah kampung halaman First Lady, Imelda Marcos. Bahkan saat Imelda remaja, ia dijuluki “Rose of Tacloban”. Kehadirannya menarik perhatian banyak orang, sehingga tak terelakkan jika kemudian kecantikannya justru membawanya menjauh dari jalanan Tacloban yang sepi.

Keluarga Imelda, Romualdez masih mempertahankan kekuatan politik lokal, dan pemandangan yang menarik adalah istana yang Imelda bangun untuk keluarganya. Dipenuhi dengan ballroom yang luas, tangga rumah yang flamboyan, dan tak terhitung ruang salon dan ruang tunggu di segala penjuru. Rumah ini adalah cara yang aneh bagi siapa saja untuk menikmati waktu di Tacloban.

Saat ini, penampakan istana yang rapi bertolakbelakang dengan hasil interview saya dengan anak dari musuh bebuyutan Marcos, Ninoy Aquino. Ia merepresentasikan ekses terburuk rezim Marcos. Keesokan hari, ketika saya berjumpa dengan kandidat lain yang kutu buku dan suka menonjolkan diri, saya tidak bisa menyangkal bahwa Tacloban, dengan segala koneksi rezim Marcos merupakan tempat yang sempurna untuk pertemuan.

Tiga tahun kemudian memori saya tentang Tacloban kembali menyeruak. Ia memang bukan kota yang terlalu istimewa, namun ia memiliki pesona keintiman yang sangat personal dan keunikan tersendiri, disimpulkan dengan kehadiran museum Santo Niño Shrine.

Namun, saya sekarang di Jakarta dan tidak tahu apa yang terjadi dengan Fatimah dan keluarganya. Barangay adalah daratan rendah dan dekat dengan laut. Bangunan rumah-rumah mereka kuat, namun tidak akan menahan kekuatan benturan Haiyan.

Tetapi mengingat energi bawaan dan kelincahan orang Visayan, saya yakin mereka akan cepat pulih dan segera lepas dari dampak bencana.(***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sekretariat Gabungan (Setgab)


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler