Menurut dia, pemberian grasi bagi Ola mengundang banyak pertanyaan. Di antaranya, Mahkamah Agung (MA) sebagai pemegang kekuasaan kehakiman tertinggi ternyata tidak termasuk pihak yang ikut merekomendasikan pemberian grasi tersebut. Karena itu, patut diduga ada kekuatan yang turut berperan memengaruhi lembaga yang biasa memberikan masukan terkait dengan pemberian grasi.
"Kerja mafia itu tidak terlihat. Tapi, mereka bisa masuk ke mana-mana. Ke sana (Istana Negara, Red), ke lembaga kepolisian, pengadilan, kehakiman, dan lainnya," ujar Mahfud seusai menjadi pembicara dalam diskusi Penegakan Hukum dan Moralitas Bangsa di Kantor PB NU, Kramat Raya, Jakarta, kemarin (9/11).
Dia juga menilai, pemberian grasi untuk Ola merupakan sebuah kecerobohan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dinilai telah kecolongan. "Padahal, beliau kan terkenal sangat cermat dan berhati-hati dalam mengambil tindakan dan kebijakan," sindirnya.
Sebagaimana diketahui, grasi dari hukuman mati menjadi seumur hidup ternyata tidak membuat Ola kapok dan lebih baik. Belakangan, dia diketahui mengotaki upaya penyelundupan narkoba besar-besaran. Hal itu terungkap setelah NA, kurir narkoba yang ditangkap di Bandara Husein Sastranegara, Bandung, 4 November lalu, "menyanyi" dan mencokot Ola.
Terkait dengan rencana pemerintah mencabut kembali grasi itu, Mahfud menilai kurang tepat. Menurut dia, Ola langsung saja didakwa ulang atas upaya pengendalian peredaran narkoba dari balik jeruji penjara.
"Jaksa bisa kembali menuntut Ola dengan hukuman mati. Justru itu lebih mudah daripada meminta presiden untuk mencabut grasi yang sudah diberikan," tuturnya.
Di tempat terpisah, Mensesneg Sudi Silalahi menyesalkan pernyataan Mahfud tentang dugaan adanya jaringan mafia narkoba yang menembus Istana Negara. Dia menegaskan, pemberian grasi oleh presiden telah melalui proses panjang yang sistemik dan sesuai aturan. Bahkan, sebelum sampai di meja presiden, Mensesneg ikut memastikan semua proses pengajuan grasi sudah dilalui, termasuk pertimbangan dari pihak terkait.
Dalam kasus tertentu, lanjut dia, presiden bahkan langsung memimpin rapat untuk mengolah pertimbangan-pertimbangan yang masuk. Misalnya, permohonan grasi kasus narkoba, terorisme, atau kasus yang melibatkan warga negara asing. "Bila benar Saudara Mahfud M.D. mengatakan seperti itu, saya sangat keberatan. Suatu tuduhan yang sangat keji," tegas Sudi.
Menurut dia, pernyataan semacam itu mencemarkan nama dan lembaga kepresidenan. Sudi meminta ketua MK bisa memberikan penjelasan disertai bukti-bukti yang mendukung. "Saya berharap kita semua dapat menyelesaikan masalah ini secara terbuka, transparan, dan tuntas," katanya. (dyn/fal/c5/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dirdik Kejagung Tak Tahu Ada Tersangka Lain Divestasi KPC
Redaktur : Tim Redaksi