Ramonde Wong asal Selandia Baru tinggal di sebuah rumah kecil yang memiliki dua kamar di Sydney dan berbagi tempat dengan sembilan orang lainnya, yang kebanyakan adalah mahasiswa internasional.
Dalam laporan khusus milik SBS tahun 2018 lalu, Ramonde asal Selandia Baru mengatakan tiap kamar diisi sampai tiga orang.
BACA JUGA: Mengemudi di Bawah Pengaruh Alkohol, Seorang Hakim di Adelaide Dicabut SIM-nya
Sebuah ruangan di tengah, yang semestinya menjadi ruang televisi, juga dibuat menjadi sebuah kamar tidur untuk tiga orang dengan hanya ditutup pembatas ruangan buatan yang dilapisi kain putih. Photo: Sebenarnya banyak penyedia akomodasi mahasiswa terdaftar, namun belum diketahui pelajar internasional yang baru akan ke Australia. (Reuters: Jason Reed)
BACA JUGA: Rancangan Qanun Poligami di Aceh Diklaim Justru Akan Persulit Pria Berpoligami
Seperti inilah kebanyakan mahasiswa internasional tinggal di kota-kota besar, seperti di Sydney, karena mahalnya menyewa akomodasi yang dekat dengan kampus mereka.
Ramonde mengaku jika biaya menyewa tempat ini sekitar AU$ 200, atau lebih dari Rp 2 juta seminggu dan jika tidak berbagi maka harga sewa untuk dua kamar di pusat kota ada di kisaran AU$ 600-800, atau lebih dari Rp 6 hingga 8 juta seminggu.
BACA JUGA: Kita dan Mereka: Catatan Najwa di Melbourne Tanpa Kubu Sebelah
"Saya tidak mengeluh, karena sebenarnya ini adalah salah satu akomodasi yang terbaik yang pernah saya lihat," ujarnya kepada SBS.Eksploitasi mahasiswa internasional Photo: Kurang pahamnya pelajar internasional soal hukum di Australia menyebabkan mereka rentan menjadi korban eksploitasi pemilik dan penyalur akomodasi. (Reuters: China Daily)
Kurang tersedianya akomodasi bagi mahasiswa dengan harga yang terjangkau telah dimanfaatkan sejumlah pemilik akomodasi untuk mengeksploitasi mahasiswa internasional, menurut sebuah laporan terbaru.
Banyak mahasiswa internasional yang mencari akomodasi secara online sebelum tiba di Australia dan rela untuk membayar mahal untuk memastikan mereka mendapat tempat tinggal.
Sayangnya, pemilik akomodasi tidak bisa diverifikasi dan tidak ada bukti pembayaran serta kontrak perjanjian penyewaan seperti seharusnya.
Laporan 'No Place Like Home' yang dibuat lembaga Human Rights Clinic dari University of New South Wales (UNSW) juga menemukan para pemilik akomodasi seringkali tiba-tiba menaikkan harga sewa, tapi menolak membuat dokumen secara legal.
"Ketika mereka tiba di Sydney, keadaan akomodasi lebih buruk dari yang dicantumkan di iklan," ujar Maria Nawaz, dosen sekaligus supervisor di UNSW dalam sebuah pernyataan.
"Seringkali mahasiswa internasional tidak dilindungi secara hukum sebagai penyewa dan menghadapi kesulitan untuk mendapatkan bantuan." Photo: Para pengamat mengkhawatirkan masalah akomodasi bisa berdampak pada kesehatan mental dan akademis mahasiswa internasional. (ABC Riverland: Sowaibah Hanifie)
Jenis eksploitasi lainnya adalah pelecehan yang diterima dari pemilik akomodasi, bahkan diusir dari tempatnya menyewa.
Sejumlah pengamat mengkhawatirkan jika masalah-masalh ini dapat mempengaruhi kondisi kejiwaan mahasiswa internasional dan berujung pada akademis mereka.
Pemerintah Australia dan pemerintah di negara bagian New South Wales, serta pemerintah dewan lokal telah diminta untuk dapat mengatasi masalah ini segera, selain menyiapkan solusi jangka panjang dengan membangun akomodasi tambahan bagi mahasiswa.
Laporan terbaru ini berdasarkan hasil analisa data yang dikumpulkan dalam kurun waktu Oktober 2017 hingga Oktober 2018 dengan melibatkan mahasiswa internasional dari sejumlah universitas di Sydney, wawancara dengan lembaga bantuan hukum dan badan penasehat akomodasi untuk mahasiswa.
Di tahun 2018 diperkirakan adalah lebih dari 540 ribu pelajar internasional di Australia yang sedang menempuh studi di tingkat universitas, sekolah kejuruan, kursus bahasa Inggris dan sekolah lainnya.
Informasi soal studi dan kerja di Australia bisa Anda dapatkan hanya di situs ABC Indonesia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Waspada, WNI di Australia Nyaris Jadi Korban Penipuan Kantor Pajak Gadungan