'Mahar' Calon Walikota Rp4 Miliar

Senin, 24 September 2012 – 07:39 WIB
BOGOR-Jual-beli dukungan parpol terhadap calon walikota semakin fulgar. Politik transaksional dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada)  bukan lagi rahasia umum. Tradisi itu menjadi tantangan tersendiri bagi calon walikota (cawalkot) Bogor untuk manggung dalam pesta demokrasi menuju F1.

Tradisi ´mahar´ memang kerap menjadi pemandangan lazim saat Pilkada. Menjelang Pilkada Kota Bogor, beberapa kandidat disebut-sebut telah menyiapkan ´mahar´ miliaran rupiah untuk parpol yang akan menjadi kendaraannya.    

Jual-beli dukungan parpol terjadi karena Undang-undang Pemerintahan Daerah Nomor 32/2004 menuntut para cawalkot harus diusung oleh parpol dengan dukungan 15 persen dari kursi legislatif atau 15 persen dari akumulasi suara sah dalam pemilihan legislatif (pileg).

Selain parpol, cawalkot juga bisa saja melalui jalur non parpol atau independen, tapi cost politik untuk menghimpun dukungan langsung dari bawah membutuhkan waktu lama dan biaya cukup besar. Karenanya, sebagain besar kandidat calon mengambil jalan pintas dengan meminang parpol.

Berawal dari situasi itu, transaksi dimulai. Cawalkot dan parpol mulai ´main mata´. Mereka saling pincut sebelum tawar-menawar dilakukan.

"Dari mulai parpol gurem, papan tengah, hingga papan atas pasang tarif. Semakin besar parpol, semakin mahal," kata Peneliti Politik Daerah dari Fakultas Ekologi Manusia IPB, Sofyan Sjah kepada Radar Bogor (Grup JPNN), kemarin.

Dari penelusuran Radar Bogor, tarif ´mahar´ mencapai miliaran rupiah. Sebuah parpol papan tengah sempat membandrol dukungannya hingga Rp4 miliar pada Pilkada lalu. Sistem pembayaran bisa dicicil dua kali dengan uang muka 50 persen dan pelunasan 50 persen.

Tarif Rp4 miliar memang terbilang mahal saat itu. Pasalnya, pada Pilakada lalu, pasaran parpol papan tengah sekitar Rp1 miliar untuk partai gurem. Menurut Sofyan, pada 2012 ini, penelitian kualitatif di sejumlah daerah menunjukkan dua pola aliran biaya ´mahar´ dari pengurus cabang, wilayah, hingga pusat. "Tiap parpol punya aturan main tersendiri. Bisa 40 persen untuk pengurus cabang, 30 persen untuk wilayah, dan 30 persen untuk pusat. Pola lainnya, untuk cabang 50 persen, sisanya untuk wilayah dan pusat masing-masing 25 persen," bebernya.

´Mahar´ memang menyedot cost politik hingga sekitar 50 persen untuk Pilkada sekelas Kota Bogor. Itu hanya untuk mendapatkan surat sakti atau rekomendari dari pengurus pusat parpol bersangkutan, sehingga proses administrasi di Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) bisa dilalui lewat "jalan tol".

"Dengan ´mahar´ itu, cost politik jadi mahal, inilah tanda sistem demokrasi kapitalis. Siapa punya uang, bisa berkuasa. Seorang pasangan calon bisa mengeluarkan Rp2–3 miliar untuk bertarung dalam Pilkada," tegas Sofyan.

Kandidat Calon Walikota, Doddy Rosadi membenarkan adanya praktik tawar-menawar ´mahar´. Politik tranksasional itu dialami mantan Sekretaris Daerah Kota Bogor itu ketika maju dalam pilwalkot  2008 lalu. "Yang cukup memakan biaya, ya ´mahar´ itu. Tujuannya memang untuk mendapatkan dukungan 15 persen," ucapnya.

Doddy mengatakan, ketika dia maju dalam pilwalkot 2008, dirinya sempat ditawari kendaraan oleh salah satu parpol dengan catatan Doddy harus membayar mahar Rp4 miliar.  Tetapi, Doddy tidak sanggup memenuhi tawaran tersebut karena tidak memiliki dana sebanyak itu (Rp4 M).

Menurut dia, biaya untuk memuluskan turunnya rekomendasi dari pengurus pusat memang tidak sedikit. Apalagi mekanismenya dilakukan secara berjenjang dari meja ke meja. "Kalau biaya terjun ke pemilih tidak masalah bagi saya, itung-itung untuk silaturahmi dan saling berbagi. Terlepas dari menang atau kalah, saya ikhlas," terang mantan pasangan calon Erik Suganda itu.

Saat ditanya menuvernya untuk Pilkada mendatang, Doddy menjawab dengan santai. "Saya sudah punya pengalaman. Sekarang bisa tanpa mahar, parpol dengan suara minoritas sudah bersedia bergandengan tangan dengan saya untuk terjun ke bawah langsung," ujarnya, tersenyum.

Sementara itu, Ketua KPUD Kota Bogor, Agus Teguh mengatakan, surat rekomendasi pengusungan dari parpol memang dibutuhkan. Tapi, aturannya hanya dari pengurus daerah, bukan dari pengurus pusat. "Terkait dibutuhkannya surat rekomendasi dari pengurus pusat, itu hanya bersifat internal parpol," terangnya.

Lantas, apa kata parpol" Ketua DPD Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Jajat Sudrajat menampik tradisi ´mahar´ di tubuh partai yang kini tengah diterpa isu transaksional paska Pilgub DKI Jakarta. "Biaya memang ada. Dana itu dipakai untuk menggerakkan mesin parpol, seperti biaya sosialisasi dan iklan di media massa," tegasnya.

Lain halnya dengan Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD Kota Bogor, Atmaja. Menurut dia, tidak ada keharusan untuk membayar ´mahar´. "Yang menentukan rekomendasi dukungan dari Partai Golkar bukan dari tradisi itu (mahar), tapi hasil survey publik terhadap cawalkot," terangnya.

Hal senada dikatakan Sekretaris DPC PDI-Perjuangan, Slamet Wijaya. Menurut dia, partai berlambang banteng gemuk bermoncong putih lebih mengutamakan kader terbaik dari internal, sehingga tak perlu mahar. "Seperti Jokowi, buat apa ada ´mahar´," tegasnya.

Sementara itu, Fungsionaris Badan Pemenangan Pemilu (Bapilu) DPC Partai Demokrat Kota Bogor, Mamah Herman mengatakan, parpol dengan penguasaan kursi sekitar 30 persen di gedung parlemen Kota Bogor itu tidak mengenal tradisi ´mahar´. "Pilkada lalu, kami mengusung cawalkot bukan dari politisi mapan. Saat itu, Partai Demokrat mendukung Iis-Ahani dari kalangan pendidikan dan kesehatan," katanya.

Maman mengatakan, cost politik muncul berdasarkan kebutuhan cawalkot, seperti biaya kampanye dan operasional saksi. "Itu bertujuan untuk mengawal proses demokrasi. Besarannya pun disesuaikan dengan kemampuan cawalkot," tandasnya. (cr2)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 30 Persen Suara PKS Beralih ke Jokowi

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler